Mohon tunggu...
J Ernawanti
J Ernawanti Mohon Tunggu... -

Guru bagi Ibu Pertiwi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mewujudkan Generasi Cinta Baca

9 Agustus 2018   18:00 Diperbarui: 10 Agustus 2018   19:25 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS.com/Labib Zamani)

Dr. Seuss, pengarang dan kartunis ternama Amerika, suatu kali mengatakan bahwa semakin banyak membaca semakin banyak yang diketahui, semakin banyak yang dipelajari semakin banyak tempat yang dapat dikunjungi. 

Ungkapan Dr. Seuss senada dengan apa yang dikatakan oleh seorang sastrawan Perancis penerima Nobel, Franois Charles Mauriac. Ia mengatakan membaca adalah pintu terbuka bagi cakrawala dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa membaca memberikan manfaat yang besar dalam hidup seseorang. Setidaknya ada dua alasan mengapa membaca itu sangat penting. Yang pertama, membaca menjadi faktor yang sangat penting dalam kesuksesan pendidikan seseorang. 

Membaca membuat siswa mendapatkan nilai yang lebih baik di semua mata pelajaran dan memiliki wawasan yang lebih luas dibandingkan mereka yang tidak suka membaca (Krashen 1993; Cunningham and Stanovich 1991; Stanovich and Cunningham 1993). 

Hal ini sangat mungkin karena membaca  memampukan siswa untuk mendapatkan informasi tentang dunia, masyarakat, dan berbagai kejadian dan ini dapat membantu cara berpikir dalam mengerjakan bahkan menganalisa sesuatu. Orang yang sukses dalam pendidikan mendapatkan kesempatan besar untuk menjadi sukses dalam hidup.  Yang kedua adalah membaca memungkinkan orang untuk lebih bijaksana dalam bertindak. 

Orang yang banyak membaca akan lebih banyak paham dan lebih berhati -- hati dalam mengambil keputusan serta tidak mudah percaya begitu saja dengan informasi yang beredar, akan tetapi dengan kritis mencari kebenarannya.

Sayangnya, kebanyakan generasi muda sekarang ini tidak begitu suka membaca dan lebih mengerjakan hal ini sehingga mereka kehilangan dua manfaat besar membaca seperti yang disampaikan di atas. Studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di  Britania Baru menemukan bahwa minat baca orang Indonesia menempati berada di peringkat 60 dari 61 negara (The Jakarta Post, Maret 2016). 

Ini tidak mengherankan karena kebanyakan orang Indonesia memilih menggunakan media sosial daripada membaca buku. Ini dapat dibuktikan ketika Indonesia menempati posisi 4 besar pengguna Instagram terbanyak di dunia, dan hampir menyamai negara maju, Amerika Serikat (The Statistic Portal, Juli 2018). 

Lebih dari 50 juta penduduk Indonesia menggunakan Instagram. Lebih miris lagi, survei penelitian yang dilakukan oleh perusahaan research market dunia, TNS, mengatakan bahwa mayoritas pengguna aktif Instagram di Indonesia adalah mereka yang masih aktif belajar di bangku sekolah (Tribuntechno, 15 Januari 2016). Mengapa minat baca generasi Indonesia begitu rendah sedangkan minat menggunakan sosial media begitu tinggi?

Setidaknya ada dua alasan mengapa minat baca generasi muda Indonesia rendah. Yang pertama, membaca tidak dijadikan sebagai gaya hidup atau kebiasaan. Keluarga tidak menjadikan membaca buku sebagai aktifitas yang menyenangkan di rumah. Akibatnya, televisi dan smartphone menjadi hal yang lebih menyenangkan. Ketika ada hal yang lebih menyenangkan, membaca menjadi sesuatu yang membosankan. 

Ketika anak masuk sekolah dan menemui banyak bacaan, mereka pun menjadi kesulitan sehingga belajar sama dengan membaca, sama -- sama membosankan. Yang kedua, akses mendapatkan buku yang berkualitas tidak begitu mudah. Sebagai contoh, bangunan perpustakaan tetap ada di sekolah namun tidak diperlengkapi dengan buku dan pustakawan yang berkualitas. 

Buku yang terdapat di pustaka adalah buku yang sudah using bahkan berdebu. Penjaga pustaka juga adalah orang yang tidak kompeten di bidangnya sehingga siswa tidak begitu tertarik masuk ke perpustakaan.

Perkembangan zaman dalam satu dekade saja begitu pesat. Teknologi informasi komunikasi berkembang begitu cepat sehingga dalam waktu yang singkat saja, satu teknologi dengan cepat digantikan oleh teknologi lain. 

Sebagai contoh, Blackberry Messengers dengan cepat ditiggalkan dan beralih ke Line dan Whatsapp, kemudian Facebook mulai ditinggalkan dan beralih ke instagram, twitter, snapchat, dll. Tidak hanya itu, media cetak sudah mulai beralih ke portal media online. Informasi ada di dalam gadget.

Banyak orang berlomba -- berlomba untuk memperkenalkan dirinya di media sosial untuk mendapatkan pengakuan. Tidak terkecuali dengan generasi muda. Mereka melakukan hal yang sama bahkan cenderung berlebihan. 

Elbert Hubbard seorang penulis Amerika yang terkenal suatu kali mengatakan persiapan yang terbaik untuk masa depan adalah melakukan hal yang positif pada hari ini. Kutipan ini sepertinya tidak begitu berlaku bagi kebanyakan remaja Indonesia yang tidak dapat mengendalikan diri dalam menggunakan media sosial, Instagram. Tidak heran apabila Instagram menempati posisi tertinggi sebagai media "Cyber- bullying"(BBC News, 19 Juli 2017).

Masa puberitas yang berdampak pada emosi dan relasi sosial generasi muda sering membuat mereka jatuh dalam perilaku negatif. Kepekaan terhadap teknologi ini tidak diiringi dengan kepekaan terhadap kualitas diri. 

Banyak generasi ini menghabiskan waktu menggunakan teknologi ini dan kehilangan minat baca. Kehilangan minat baca sangat memungkinkan mereka akan gagal menghadapi tantangan global dan kalah bersaing dengan negara-negara lain. 

Generasi yang kehilangan minta membaca ini kelak akan menjalankan negara ini, itu artinya generasi dengan minat baca rendah dapat membahayakan bangsa ini.Tetapi tidak ada masalah yang tidak ada solusinya, sebelum terlambat terlalu jauh, harus ada usaha-usaha yang dilakukan untuk membangkitkan minat baca generasi muda.

Usaha-usaha untuk memperbaiki minat baca siswa sudah dilakukan antara lain berupa naungan payung hukum di bawah UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Pencanangan Gerakan Membaca. 

Disusul dengan Permendikbud No. 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti, bentuk implementasinya berupa penggunaan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran. Program pemerintah ini sangat baik sekali, hanya saja tidak banyak sekolah yang melakukannya dengan berbagai alasan. 

Harus diakui, kebijakan hanya akan menjadi kebijakan saja apabila sekolah tidak mengerjakannya. Perkembangan teknologi dan media informasi begitu cepat sekarang ini, jika sekolah masih tetap mempertahankan cara konvensional untuk mengajari siswa, maka siswa akan tetap pada cara berpikirnya, bahwa membaca itu sama dengan belajar yaitu membosankan. 

Jika sekolah-sekolah menghasilkan siswa yang memiliki minat baca yang rendah, maka dalam 10 tahun ke depan, bangsa ini akan dipimpin oleh orang -- orang  yang memiliki minat baca rendah. Hanya dalam 10 tahun, hoax atau berita palsu masih akan diterima begitu saja karena ketidakmampuan untuk mengkaji dan mengkritisi sesuatu akibat minat baca yang rendah.

Sebenarnya sekolah tidak dapat bekerja sendiri dalam meningkatkan minat baca generasi muda, keluarga dan masyarakat harus berperan aktif dalam meningkatkan minat baca generasi muda. 

Sayangnya, kebanyakan keluarga dan masyarakat ternyata dibesarkan dalam lingkungan yang ternyata tidak memiliki minat baca yang baik sehingga keteladanan dalam membaca sulit sekali ditemukan. Maka tidak heran, apabila Kantor Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat 90 persen penduduk usia tidak suka membaca buku.

Itulah sebabnya, untuk sementara waktu peningkatkan minat baca dibebankan ke sekolah dengan cara menjadikan sekolah menjadi sekolah literasi. Menjadikan sekolah literasi dimulai dari kelas-kelas belajar. Program pemerintah yang mencanangkan 15 menit membaca buku selain buku pelajaran itu baik. Sekolah dapat meminta siswa membaca buku yang disukai untuk dibawa ke sekolah. 

Mungkin akan banyak siswa yang tidak memiliki buku karena keterbatasan akses dan biaya. Solusinya adalah sekolah dapat perlu inisiatif dari sekolah untuk memetakan buku -- buku yang digemari dan sesuai dengan kebutuhan siswa beberapa bulan sebelum tahun pembelajaran dimulai agar buku dapat diperlengkapi di perpustakaan terlebih dahulu sehingga ketika tahun pembelajaran dimulai siswa sudah dapat meminjamnya. 

Ilustrasi (KOMPAS.com/Labib Zamani)
Ilustrasi (KOMPAS.com/Labib Zamani)
Biaya Operasional Sekolah dapat digunakan dengan bijaksana sehingga buku tersebut dapat dibeli. Cara yang lain apabila biayanya tidak cukup adalah sekolah dapat bekerja sama dengan perpustakaan daerah setempat untuk dapat menyediakan buku -- buku yang didaftarkan tadi. Kerjasama dengan lembaga-lembaga masyarakat dapat dilakukan juga untuk membantu menyediakan buku yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan anak. 

Sebagai pembaca pemula, siswa akan suka sekali membaca buku yang tampilannya menarik dan sederhana. Siswa menengah pertama dan atas harus diperkenalkan karya sastra dengan bahasa yang menarik. Seiring dengan perjalanan waktu, siswa akan mulai terbiasa membaca buku yang lebih kompleks sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. 

Guru harus memberikan teladan yang baik dalam membaca dan menciptakan atmosfir yang nyaman untuk membaca. Setiap akhir minggu, guru dan siswa dapat membagikan apa yang dibacanya atau boleh juga diadakan lomba menulis resume buku antar kelas dengan hadiah yang cukup menarik.

Perpustakaan menjadi tempat yang seharusnya sangat disukai oleh siswa. Alasannya adalah di sana terdapat banyak buku dan suasananya juga menyenangkan. Tidak ada paksaan untuk mengejarkan apapun selain membaca. Karena itu, sekolah perlu memikirkan untuk mendesain perpustakaan menjadi ruang membaca yang menyenangkan. 

Mendesain perpustakaan supaya terlihat menarik dan indah tidak sulit bagi sekolah memiliki anggaran yang cukup. Mereka mendesain perpustakaannya dengan seperti ruang baca di rumah sendiri. Ada lukisan-lukisan yang tertempel indah di sudut ruangan. Tentu saja sekolah -- sekolah punya caranya sendiri untuk membuat perpustakaan tampak bagus dan nyaman.

Namun, yang paling penting adalah perpustakaan harus selalu bersih dan rapi supaya setiap pengunjung dapat merasakan kenyamanan ketika membaca. Perpustakaan seharusnya dibuka setidak -- tidaknya 30 menit sebelum kelas dimulai dan 2 jam setelah kelas selesai supaya anak -- anak yang datang ke sekolah lebih cepat ataupun yang pulang lebih lama dapat menghabiskan waktu dengan membaca. 

Perpustakaan harus juga dapat mengikuti zaman dan memakai teknologi yang baru. Bukan hanya daftar buku dan tempatnya yang dapat diakses melalui komputer, tetapi ringkasan singkat tentang isi buku supaya siswa lebih mudah memilih buku. 

Itulah sebabnya yang mengelola perpustakaan seharusnya menamatkan kuliah dari jurusan ilmu perpustakaan atau sains informasi, atau setidak-tidaknya guru yang melek dengan literasi apabila sarjana perpustakaan belum ada. Pustakawan tidak hanya menjaga perpustakaan, namun juga berfungsi sebagai pemberi informasi terbaik dari buku yang dibaca. Minat baca siswa akan meningkat apabila pustakawan dapat membuat mereka penasaran untuk membaca buku tersebut.

Perpustakaan bukanlah tempat satu -- satunya untuk membaca, sekolah dapat memikirkan sudut -- sudut baca. Komitmen untuk menggunakan sudut baca harus dimulai dari guru. Apabila guru memakai waktu istirahatnya untuk membaca di sudut baca, pasti ada banyak siswa yang akan mengikutinya. Ide yang bagus juga untuk menumbuhkan minat baca apabila ada waktu-waktu tertentu dalam satu hari digunakan untuk kegiatan literasi. 

Kebanyakan sekolah di Indonesia sudah menerapkan full day school sehingga mereka hanya belajar di hari Senin  sampai dengan Jumat, itu artinya hari Sabtu dapat digunakan untuk kegiatan literasi atau bisa juga di hari sekolah dengan memastikan bahwa materi di kelas tidak terhambat. Festival Literasi adalah hal yang sangat menarik untuk dilakukan di sekolah. Kegiatan ini bisa diisi dengan lomba menulis, pementasan, dan dapat juga mengundang penulis buku untuk menginsipirasi siswa.

Memang tidak ada metode yang terbaik untuk meningkatkan minat baca, akan tetapi tiga hal di atas diharapkan dapat menolong untuk menciptakan minat baca siswa. Ada hal yang tidak dapat dilupakan oleh sekolah, bahwa literasi juga harus tetap dilakukan di setiap pelajaran. 

(sumber: wonderopolis.org)
(sumber: wonderopolis.org)
Siswa harus terbiasa membaca teks, memahami, dan menganalisanya. Bukankah Kurikulum Nasional mewajibkan sekolah untuk memperlengkapi peserta didik dengan keterampilan berpikir tinggi atau yang dikenal dengan HOTS (High Order Thinking Skill)? Jika siswa tidak dibiasakan membaca, maka akan sulit memperlengkapi keterampilan tersebut. 

Pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris adalah pelajaran yang paling banyak menggunakan. Karena itu, mereka guru -- guru yang mengajar pelajaran ini harus menstimulasi siswa untuk tertarik membaca teks yang atau novel yang tebal sekalipun. Tidak ada strategi terbaik untuk membuat siswa tertarik untuk membaca, akan tetapi Nation di dalam bukunya Teaching ESL/EFL Reading Writing, memperkenalkan tiga tahap dalam membaca yaitu Pre, Whilst, dan Post Reading. 

Dalam tahap Pre atau sebelum membaca, siswa dapat mempredikis teks atau buku dari judulnya, atau bisa mengenal penulis buku, dan latar belakang penulisan teks terlebih dahulu. Di tahap Whilst atau selama membaca siswa diberi waktu beberapa lama dan diberi pertanyaan untuk memahami teks atau buku lebih dalam. 

Di tahap Post atau selesai membaca, siswa diberi kesempatan menarik kesimpulan dan pesan moral dari teks atau buku tersebut. Guru harus banyak berinovasi untuk dapat meningkatkan minat baca siswa, itu artinya guru pun harus banyak membaca.

Sekolah tidak boleh lupa bahwa zaman terus berkembang, itu artinya tantangan pun akan semakin besar. Sekolah butuh meningkatkan dan memperlengkapi diri untuk tidak tertinggal jauh. 

Siswa sangat menyukai teknologi informasi terbaru, itu artinya sekolah harus menguasai itu demi minat baca anak-anak. Ada banyak teknologi yang digunakan untuk menolong siswa membaca melalui aplikasi tertentu atau dengan menggunakan buku digital. Yang paling penting adalah membuat kesepakatan dengan siswa untuk mematuhi aturan aturan yang berlaku untuk kepentingan mereka.

Kalau sekolah memiliki komitmen seperti ini, maka tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, generasi muda akan cinta membaca. Mereka akan menggemari buku baik buku cetak maupun digital. Generasi yang cinta baca ini menjadi cerdas, tanggap, dan bijaksana. 

Dengan demikian, Indonesia dalam 10 tahun ke depan akan dipimpin oleh generasi yang cinta baca. Generasi tua tidak perlu lagi khawatir karena negara ini akan aman di tangan orang -- orang yang bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun