Untuk anakku,
Hari itu, tanggal 18 juli 2016, adalah salah satu hari yang telah lama kami tunggu. Salah satu hari dimana engkau akhirnya memasuki tahapan baru dalam hidupmu, hari pertama engkau memasuki dunia baru diluar lingkungan keluarga, hari pertama masuk sekolah.
Setahun setelah engkau lahir, kami telah menyiapkan biaya untukmu. Kami ajak engkau menjelajah alam, agar engkau tertarik dan akhirnya suka belajar banyak hal.
Kami ajarkan padamu aneka ketrampilan tangan, agar kau tahu belajar itu menyenangkan. Tak lupa, kami siapkan engkau agar mampu mengurus keperluan dirimu sendiri, seperti pergi toilet, memakai baju sendiri, agar kelak engkau mandiri saat harus seharian berada di sekolah.
Untuk alasan menyiapkan kamu bersekolah pula, kami selalu ingatkan engkau untuk tidak lupa berkata “Maaf”, “Tolong” dan “Terima kasih”.
Kini ketika engkau memasuki usia 7 tahun, dan kami lihat engkau telah mampu membawa diri, kami pun mantap untuk memasukkanmu ke sekolah dasar.
Kami bahagia, karena engkau begitu bersemangat untuk pergi kesana. Kami bahagia karena engkau terlihat antusias mempersiapkan semua keperluan sekolahmu. Meski tertatih belajar menyampul buku, engkau tetap semangat menyelesaikan semua, tanpa mengeluh.
Di hari pertama sekolah, kami antar engkau ke gedung hijau itu. Kami lihat senyummu tak pernah lepas saat memasuki gerbang sekolahmu. Kata, “Wah ...” entah berapa kali kau lontarkan, saat bertemu teman dan ramainya kerumunan. Terlebih ketika bertemu dengan jajaran guru yang menyambutmu di depan gedung kelasmu. Ya, sekolah hijaumu memang terdiri dari dari dua sekolah, SD dan SMP.
Berbaris rapi bersama teman baru dan beberapa teman lama, takzim kau cium satu persatu mereka, masih dengan senyum dibibir yang terus merekah.
Dengan ceria kau gandeng ayah, menuju kelas. Menariknya memasuki kelas dan mencari tempat duduk kosong.
Tapi nak, apakah kau tahu bagaimana perasaan kami ketika bel pertanda masa orientasi sekolah berbunyi? Sebersit rasa cemas, apakah kau benar-benar mampu, apakah kau akan baik-baik saja, apakah ada temanmu yang nakal, - terus-terusan menghantui.
Namun kami harus tegas, waktu bagimu dan juga teman-temanmu untuk mulai bertanggung jawab atas masa depanmu telah dimulai. Meski sedikit gamang, pada akhirnya kami bersama-sama meninggalkan sekolah.
Tapi nak, menyekolahkanmu di sekolah hijau itu, ternyata tidak sama dengan sekolah yang lain. Hari itu sebelum kami semua meninggalkan sekolah, para Bapak dan Ibu guru yang tadi menyambut kita di depan gedung sekolah dasar kembali mengingatkan agar pukul 9 pagi kami dimnta berkumpul di aula. Ada pemebekalan sekolah disana, bagaimana kami harus mengawal kalian bersekolah disana. Wah, ternyata tidak hanya kau yang harus belajar nak, kami pun juga harus belajar.
Ayah dan ibumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H