Puji Tuhan. Alhamdulilah. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh Indonesia sudah makin dilonggarkan, begitu pengumuman Pemerintah pertengahan Oktober 2021.
Karena saya penduduk DKI Jakarta dan besok mesti berpesawat ke Bali, saya mantengin persyaratan dan kemajuan penanganan Covid-19 terutama DKI Jakarta dan Bali yang sudah masuk PPKM level 1 dan 2. Berdasarkan Instruksi Mendagri no 53 / 2021 ditandangani Tito Karnavian pada 18 Oktober 2021 ditujukan ke para Gubernur yang masih ada wilayah PPKM level 3. khususnya pada Diktum Ketiga; Untuk PPKM level 3 dinyatakan aturan pengguna moda transportasi darat, laut, dan udara sebagai berikut :
Ayat q. Pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil pribadi, sepeda motor dan transportasi umum jarak jauh (pesawat udara, bis, kapal laut dan kereta api) harus:
1) menunjukkan kartu vaksin (minimal vaksinasi dosis pertama);
2) menunjukkan PCR (H-2) untuk pesawat udara serta Antigen (H-1) untuk moda transportasi mobil pribadi, sepeda motor, bis, kereta api dan kapal laut;
3) ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 hanya berlaku untuk kedatangan dan keberangkatan dari dan ke wilayah yang ditetapkan sebagai PPKM Level 3 (tiga) sebagaimana dimaksud Diktum KESATU angka 2 (dua) serta tidak berlaku untuk transportasi dalam wilayah aglomerasi sebagai contoh untuk wilayah Jabodetabek; dan
4) untuk sopir kendaraan logistik dan transportasibarang lainnya dikecualikan dari ketentuanmemiliki kartu vaksin;
Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut ditujukan untuk Gubernur dengan wilayah yang masih ada PPKM Level 3 yakni seluruh Sumatera, NTT NTB. Sulawesi, Kalimantan, dan Papua. Mendagri tidak menyebutkan Gubernur DKI Jakarta, Gubernur se-Jawa, dan Gubernur Bali, karena sudah PPKM Level 1 dan 2. Artinya Instruksi Mendagri tidak mengikat Gubernur DKI Jakarta, se-Jawa, dan Bali.
Karena itu, ijinkan saya mempertanyakan Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 No 21 Tahun 2021 yang "menjelma" di lapangan menjadi "Pemaksaan PCR bagi semua penumpang pesawat dari dan menuju Jawa dan Bali."
Ada Apa di balik "Pemaksaan" PCR?
Karena saya penduduk DKI Jakarta dan besok mesti berpesawat ke Bali, saya mantengin kondisi di Bali yang PPKM 2. Bali, secara massal sudah dipromosikan siap menerima turis asing per 14 Oktober 2021. Jika turis asing saja bisa menikmati Bali, apalagi kita sebagai Warga Negara Indonesia toh?
Realisasi dari PPKM level 1 dan 2 kurang lebih (disesuaikan dengan kebijakan Pemerintah Provinsi masing-masing) :
- Pintu Mall boleh buka lebar-lebar termasuk untuk anak-anak yang belum divaksin.
- Cafe, restoran, bioskop, dan berbagai tempat nongkrong bisa menerima tamu 75% dari kapasitas bahkan lebih.
- Moda transportasi bisa terima lebih dari 50% penumpang.
Mulai terjadi geliat peningkatan usaha pariwisata yang sudah mati suri dua tahun terakhir. Semestinya semua kita berupaya mendukung pemulihan ekonomi dengan mempermudah, tidak malah menambah beban para calon wisatawan. “Pemaksaan” PCR oleh Satgas Covid untuk penumpang pesawat Jawa dan Bali jelas menghambat animo calon wisatawan.
Saya sebagai calon penumpang pesawat merasa dirugikan, karena harus ekstra pengeluaran minimal Rp 1 juta perorang, kalau kami bertiga maka ada ekstra biaya Rp 3 juta x 2 pp = Rp 6 juta untuk membayar biaya "Paksaan PCR oleh Satgas Covid".
Karena itu saya secara volunteer mencari tahu ada apa di balik begitu bersemangatnya Satgas Covid membuat aturan Paksaan PCR bagi penumpang pesawat.
Silakan simak wawancara Kompas.com dengan oknum-oknum Satgas C-19.
Perubahan aturan syarat perjalanan udara dari tes antigen menjadi PCR karena peningkatan jumlah kapasitas penumpang. Sehingga hal ini diperlukan peningkatan skrining. "Alasannya prinsip kehati-hatian dan bertahap. Artinya, dengan peningkatan jumlah kapasitas penumpang (pesawat), perlu ditingkatkan screeningnya agar terdeteksi dan tidak ada yang lolos," ujar juru bicara Satgas C-19 Wiku, saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (20/10/2021). Selain Jubir Satgas C-19, pendapat senada dilontarkan Jubir Vaksin C-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia, dan beberapa pentolan Satgas lainnya. .
Pernyataan Jubir Satgas Covid :
- Perubahan aturan syarat perjalanan udara dari tes antigen menjadi PCR karena peningkatan jumlah kapasitas penumpang.
- Sehingga hal ini diperlukan peningkatan skrining.
- "Alasannya prinsip kehati-hatian dan bertahap.
- Artinya, dengan peningkatan jumlah kapasitas penumpang (pesawat), perlu ditingkatkan screeningnya agar terdeteksi dan tidak ada yang lolos."
Pertanyaan saya :
- Bahwa semua penumpang sebelum masuk pesawat sudah screening lewat aplikasi Peduli Lindungi.
- Apakah Satgas melecehkan screening aplikasi Peduli Lindungi, sehingga mencurigai penumpang lolos kalau cuma pakai swab antigen?
- Makanya semua penumpang harus swab PCR?
- Bukankah laboratorium yang memeriksa swab antigen sudah langsung ditunjuk dan diseleksi oleh Kementerian Kesehatan?
- Berarti Satgas Covid juga mencurigai kredibilitas Kemenkes?
- Kalau tidak curiga, mengapa Satgas Covid masih cari-cari akal supaya semua penumpang pesawat Jawa Bali yang sudah vaksin 1 dan 2, dengan PPKM sudah level 1 dan 2, tetap dipaksa tes PCR
- Problem buat rakyat bukan soal tes PCR atau antigen, tetapi harga tes PCR lebih mahal Rp 5oo ribu dibanding antigen.
Satgas Covid Berani Turunkan Harga PCR?
Walaupun saya masih menunggu jawaban dari Satgas Covid terhadap 7 pertanyaan tersebut, kita coba lanjutkan diskusi ini.
Anggaplah ambisi Satgas Covid semua penumpang pesawat dipaksa PCR memang demi kebaikan dan penurunan pandemi Covid di Indonesia. Paksaan PCR tidak ada kongkalikong dengan para pebisnis PCR.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Satgas Covid berani menurunkan harga tes PCR yang mahal banget itu?
Contohlah India yang bisa mematok harga tes PCR cuma Rp 58 ribu. Sementara di Indonesia paling murah sekitar Rp 500 ribu.
Jadi semestinya Satgas Covid, yang begitu menggebu-gebu menyatakan, semua penumpang pesawat Jawa dan Bali harus PCR, harus diberi tanggung jawab juga. Tanggung jawab untuk menurunkan harga PCR.
Persoalan rakyat jelata bukan takut mengikuti swab tes PCR tetapi harga PCR yang bisa jutaan rupiah. Nah, Jika harga PCR bisa ditekan menjadi sekitar Rp 50 ribu seperti di India, kemungkinan besar jutaan calon penumpang pesawat masih bisa terima.
Ada Cuan di balik Aturan PCR?
Namun jika ternyata Satgas Covid dan juga koleganya, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri tidak ada upaya menurunkan harga tes PCR, jangan ngamuk ya, kalau mayoritas calon penumpang pesawat curiga.
Mari kita berhitung untungnya pebisnis PCR tersebut. Jadi terbayang Al Capone sang bos mafia yang mengeruk untung dari bisnis kolusi dengan pejabat.
Ijinkan saya membuat ilustrasi proyeksi keuntungan "Pemaksaan PCR" penumpang pesawat, proyeksi satu bulan saja, Desember 2021 adalah :
- Harga Penjualan PCR rata rata Rp 550.000 - Rp 50.000 (modal, pakai standar Pemerintah India) = Untung Rp 500.000 perorang sekali naik pesawat.
- Saya sempat hitung dari data Biro Pusat Statistik, anggaplah proyeksi penumpang pesawat Jakarta - Jawa - Bali pp pada Desember 2021 = 3.000.000 penumpang.
- Maka keuntungan bisnis PCR = 3.000.000 x Rp 500.000 = Rp 1. 500.000.000 = Rp 1,5 triliun untung dalam 1 bulan.
- Hitung saja kalau Pemaksaan PCR --yang didukung Satgas Covid, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri-- lancar jaya, tidak perduli pada protes masyarakat-- maka setahun, wadowwww untungnya gede banget Rp 18 triliun. Cukup tuh untuk tabungan 7 turunan.
Husss jangan suka mikirin rejeki orang, kata 0mpung saya. Setiap orang sudah ada rejekinya masing-masing. Problemnya ini bukan rejeki halal, tetapi ada semacam kongkalikong, kolusi antara oknum pejabat dengan pebisnis PCR. Selama dua tahun modal pebisnis PCR ini tertahan karena masih PSBB, PPKM atau sejenisnya yang masih memaksa orang di rumah saja.
Nah, begitu PPKM sudah longgar, sudah level 1 dan level 2, begitu ada kesempatan, segera tancaaaaap cari cuan sebanyak-banyaknya. Caranya ya, berkolusi dengan oknum-oknum yang punya kekuasaan mengatur di masa pandemi Covid-19 ini.
Maka walaupun sudah diprotes Kemenparekraf sebagai penanggung jawab bisnis wisata, dan Kementerian Perhubungan yang mengurusi nasib bisnis trasportasi, tetap saja ada aturan Pemaksaan PCR bagi penumpang pesawat di Pulau Jawa dan Bali. Padahal Bali dan Jawa sudah PPKM level 1 dan 2, mengapa Satgas Covid dan Kemendagri malah menyamakan kondisi dengan area PPKM level 3 dan 4? Mengapa oh mengapa?
Ijinkan saya jawab to the point, cari cuan dong, kapan lagi.
Jika keuntungan "Proyek Paksa PCR" mencapai Rp 3 triliun (lihat analisis di atas), maka komisi Ten Percent = Rp 300 miliar perbulan minimal masuk kantong oknum pejabat yang berhasil menggolkan Proyek "Paksa PCR" ini.
Andaikan (tidak menuduh) oknum pejabat itu ternyata bohir-nya bisnis PCR. Wuiiih Rp 3 triliun perbulan menjadi keuntungan. Bayangin Rp 3.000.000.000.000.000 keuntungan dalam 1 bulan. Apalagi kalau bisnis "Pemaksaan PCR" lancar jaya selama 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun ke depan. Jumlah duitnya bisa setara dengan APBD suatu kabupaten.
Begitukah mental para oknum pejabat Indonesia? Bahwa rakyat cuma dijadikan "sapi perah" dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Termasuk Paksaan PCR untuk penumpang pesawat? Jika memang implikasi Surat Edaran Satgas Covid no 21/2021 terindikasi begitu, kita harus lawan dan Presiden Jokowi yang katanya pro-rakyat harus segera hentikan semua aturan yang sangat menyusahkan rakyat, termasuk Paksaan PCR bagi penumpang pesawat Jawa Bali.
Salam Sehat, salam waras, salam berpihak pada rakyat jelata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H