Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Gorengan dan Postingan "Pigai dan Gorila"

27 Januari 2021   21:46 Diperbarui: 28 Januari 2021   10:39 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/NataliusPigai2

Sebagai orang awam (maksudnya bukan politikus)  mungkin saya dan anda tersenyum dan berpikir ada candaan baru sewaktu  tidak sengaja terbaca atau terlihat foto “Pigai dan Gorila”.  

Buat yang belum update, ijinkan saya memberi info singkat ya. Seseorang bernama Natalius Pigai ngamuk ngamuk karena disandingkan kolase fotonya dengan gorila oleh orang lain bernama Ambroncius Nababan

Postingan yang menjadi Kasus Pigai dan Gorila (sumber https://twitter.com/NataliusPigai2
Postingan yang menjadi Kasus Pigai dan Gorila (sumber https://twitter.com/NataliusPigai2
Senyum saya jadi hilang, setelah mulai mencium ada aroma politik di antara kedua orang tersebut. Pigai adalah mantan anggota Komnas HAM yang berkoar-koar menyatakan vaksin sinovac tidak baik. Bahwa menolak vaksin Covid-19 adalah hak asasi rakyat. 

Hal itu yang  direspon Ambroncius --yang Ketua Relawan Pro Jokowi-Ma’ruf Amin. Ambroncius mengakui dirinya mengunggah gambar yang menyandingkan foto Pigai dengan gorila, termasuk menulis narasi seperti yang tertulis dalam tangkapan layar yang beredar.  “Sifatnya itu satire, kritik satire. Kalau orang cerdas tahu itu satire, itu lelucon-lelucon. Bukan tujuannya menghina orang, apalagi menghina suku dan agama. Tidak Ada. Jauh sekali, apalagi menghina Papua," tegas Ambroncius. 

Ambroncius memposting gambar tersebut Facebooknya sendiri (bukan di akun orang lain). Justru Pigai yang menyebarluaskan postingan facebook itu ke twitternya sendiri, bahkan dia tag Menteri Pertahanan Amerika Serikat dengan isu gorengan, rasisme. 

Kabar terakhir, Ambroncius sudah ditahan di Bareskrim Polri karena diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun berdasarkan 

  1. Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 

  2. dan/atau Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis dan/atau Pasal 156 KUHP.

  3. dan juga ada Pasal 156 KUHP. 

Persepsi tentang Gorila 

Pagi ini juga saya tersenyum membaca artikel Kompasiana, yang kok bisa pas dengan kasus “Pigai dan Gorila”. https://www.kompasiana.com/komentar/hennietriana/601094cc8ede48661612a262/ketika-orang-tersayang-mendapat-julukan-nama-hewan

Sang penulis, mbak Henny,  asli orang Indonesia dan sedang tinggal di Jerman. Di artikelnya yang sudah di-like puluhan orang, ia  menceritakan, “Ketika Orang Tersayang Mendapat Julukan Nama Hewan”.  Bahkan saat bermesraan, ada pasangan yang menyebut suami dengan “Maus” (tikus). Julukan ini bukan untuk lucu-lucuan, karena menggambarkan hewan yang terlihat pemalu, tetapi gesit dan cerdas. Bahkan pria di Jerman tidak keberatan jika dipanggil “Tiger” (harimau) atau “Bar” (beruang). 

Jika kita kembali ke kasus “Ambroncius vs Pigai Gorila” maka sebenarnya ini persoalan persepsi tentang gorila.  Saya sepakat dengan Mbak Henny, kalau persepsi karakter gorila itu bagus,  mestinya bangga. 

Persepsi Gorila (sumber :screenschoot kompasiana/dokumen pribadi)
Persepsi Gorila (sumber :screenschoot kompasiana/dokumen pribadi)
Sosok gorila juga dinilai pahlawan dalam film favorite keluarga saya, berjudul "Baby's Days Out.  ketika si bayi yang terdampar di kandang gorila,  hendak diculik oleh tiga manusia penjahat yang menuntut uang tebusan, Sang Gorila menjadi penyelamat bayi manusia ini. 

Atau bisa jadi persepsi orang lain  mengatakan, Ngapain ribut-ribut.  Kalau gw nggak merasa mirip gorila, ngapain marah, cuex saja. Tapi nih, kalau di dalam hati gw memang penampakan gw mirip gorila,  dan gw sudah lama tertekan dengan penampakan gw yang mirip gorila, mungkin gw tersinggung dan ngamuk-ngamuk. Kalau gw nggak ngerasa, ya nggak usah diperpanjang toh sampai seluruh dunia tahu dan malah yakin, memang ada benernya gw mirip gorila. Nah itu bikin malu diri sendiri. 

Lebih parah lagi kalau urusan persepsi ditambah kepentingan politis, sehingga kebongkar  ada “udang di balik bakwan”   maka persoalan persepsi bisa berkembang menjadi persoalan hukum

Mengapa Mengadu ke Menteri Pertahanan Amerika

Nah sekarang baru ketahuan.  Pigai langsung menggoreng sedemikian rupa postingan Ambroncius. Kasus 1 on 1, satu lawan satu, malah digoreng menjadi kasus tribalisme, kasus SARA Suku Agama Ras dan Antargolongan. 

Bahkan sekarang Pigai yang WNI  (kalau masih WNI ya) malah menyeret menjadi kasus negara.  Entah apa yang merasukimu.  Pigai malah men-tag Twitter Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin yang berasal dari ras Amerika Afrika.  Setelah menyampaikan isi hatinya,   Pigai juga menyeret-nyeret Presiden Jokowi dalam kolase foto di Twitternya pada  24/1.

https://twitter.com/NataliusPigai2
https://twitter.com/NataliusPigai2
Sebagai warga negara Indonesia, tentu kita jadi heran, bahkan muak. Kasus antara dua WNI, Pigai  versus Ambroncius,  mengapa di-blow-up dengan mengadu ke “Orang” Amerika Serikat?  Memangnya Orang Amerika Serikat tidak (ada yang) rasis? Hadeuuuh.

Kasus SARA dari Papua?  Bareskrim Polri Harus Hati Hati

Mengapa pula Pigai menggoreng postingan yang porsinya hanya kasus penghinaan pribadi, menjadi masalah SARA, Suku Agama Ras Antargolongan. 

Berhubung Bareskrim Polri sudah mengenakan pasal-pasal SARA (lihat  di atas); maka Bareskrim harus bisa membuktikan (bila perlu dengan pernyataan tertulis) suku dan ras asal Papua yang mana yang  sungguh-sungguh mengaku mendapat permusuhan, kebencian, atau penghinaan dari postingan Ambroncius tersebut. 

Wikipedia mencatat minimal ada 26 Suku (asal) Papua, yaitu :  Abau, Abra, Adora, Aikwakai, Aiso, Amabai, Amanab, Amberbaken, Arandai, Arguni, Asienara, Atam, Hatam, Atori, Baham, Banlol, Barau, Bedoanas, Biga, Buruwai, Karufa, Busami, Hattam, Iha, Kapaur, Inanwa.

Memang kita baca Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua Barat pada 25/1 melapor ke Polda Papua Barat dengan nomor LP/17/I/2021/Papua Barat. Namun berdasarkan situasi yang berkembang dan hiden agenda,  jika menyangkut SARA dengan penekanan pada suku asal Papua, Indonesia mesti cek dan ricek lagi. Apa motivasi KNPI Papua Barat dan oknum yang terlibat menggoreng postingan Ambroncius.  Kalaupun dipaksakan, sekali lagi kalaupun harus dipaksakan,  itu adalah kasus penghinaan pribadi kepada Natalius Pigai, bukan ke Suku atau Antargolongan asal Papua.  

Mengapa kita sebagai Bangsa Indonesia harus super hati-hati kepada oknum-oknum yang mengatasnamakan Papua ?

Isi cuitan Pigai yang dia tag ke Menteri Pertahanan AS, menyebut bahwa perlawanan terhadap rasialisme di Indonesia, dalam hal ini warga Papua, telah berlangsung selama lebih dari 50 tahun."Kami telah melawan rasisme kolektif (negara) Indonesia terhadap orang kulit hitam Melanesia Afrika (Papua) lebih dari 50 tahun. Penyiksaan, pembunuhan & genosida perlahan. Kami butuh perhatian." 

Di bagian lain, komentar Pigai terhadap postingan  Ambroncius Nababan, malah diplintir ke Presiden Jokowi. Bahwa selama pemerintahan Joko Widodo, pembantaian, pembunuhan dan kejahatan HAM di Papua cenderung didasari rasisme.  Bahwa negara memelihara dan mengelola rasisme sebagai alat pemukul tiap orang yang berseberangan dengan kekuasaan. 

Belum puas menghina NKRI, Pigai juga menyebut rasisme saat ini telah menjadi kejahatan kolektif negara pada orang Papua."Seluruh kejahatan di Papua didasari oleh kebencian rasial. Orang Papua tidak akan pernah bisa hidup nyaman dengan bangsa rasialis. Jakarta harus buka kran demokrasi dengan Rakyat Papua.  Kalau tidak, maka saya khawatir instabilitas bisa terjadi karena konflik rasial di Papua. Saya orang pembela kemanusiaan berkewajiban moral untuk ingatkan," kata Pigai kepada CNNIndonesia.com (25/1).

Hmmm, mumpung Pigai yang  Komisioner Komnas HAM 2012 -2017  pamer diri, ijinkan saya memposting ulang pertanyaan netizen yang faktual. 

https://twitter.com/NataliusPigai2
https://twitter.com/NataliusPigai2

Dimana tuan (Natalius Pigai) sewaktu jadi Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia, bersembunyi

1. Ketika ada kelompok yang sangat rasis kepada BTP 

2. Ketika Umat Nasrani diusir dari Rumah Ibadahnya?

3. Ketika ada minoritas dipersekusi oleh kelompok yang selama ini tuan bela?  

Bahkan saat  mendapat fasilitas super mewah sebagai Komisioner Komnas HAM, apa yang sudah Pigai kerjakan untuk membela tiga kasus rasisme di atas. Jadi, terus terang  apa pantas dan rasional, kalau  Pigai menyombongkan diri, " saya orang pembela kemanusiaan". Hadeeeeuh.  

Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan Doa seorang Netijen INDONESIA RAYA. 

https://twitter.com/NataliusPigai2
https://twitter.com/NataliusPigai2

Tambahan 

Jika saya ada waktu, saya mencoba menulis analisis hukum kasus "Pigai dan Gorila".  Mungkin  berupa saran hukum untuk Ambroncius Nababan menangkis jeratan Pasal Pasal Hukum dari Bareskrim Polri dan mungkin berlanjut ke Kejaksaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun