Sebagai orang awam (maksudnya bukan politikus) mungkin saya dan anda tersenyum dan berpikir ada candaan baru sewaktu tidak sengaja terbaca atau terlihat foto “Pigai dan Gorila”.
Buat yang belum update, ijinkan saya memberi info singkat ya. Seseorang bernama Natalius Pigai ngamuk ngamuk karena disandingkan kolase fotonya dengan gorila oleh orang lain bernama Ambroncius Nababan.
Hal itu yang direspon Ambroncius --yang Ketua Relawan Pro Jokowi-Ma’ruf Amin. Ambroncius mengakui dirinya mengunggah gambar yang menyandingkan foto Pigai dengan gorila, termasuk menulis narasi seperti yang tertulis dalam tangkapan layar yang beredar. “Sifatnya itu satire, kritik satire. Kalau orang cerdas tahu itu satire, itu lelucon-lelucon. Bukan tujuannya menghina orang, apalagi menghina suku dan agama. Tidak Ada. Jauh sekali, apalagi menghina Papua," tegas Ambroncius.
Ambroncius memposting gambar tersebut Facebooknya sendiri (bukan di akun orang lain). Justru Pigai yang menyebarluaskan postingan facebook itu ke twitternya sendiri, bahkan dia tag Menteri Pertahanan Amerika Serikat dengan isu gorengan, rasisme.
Kabar terakhir, Ambroncius sudah ditahan di Bareskrim Polri karena diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun berdasarkan
Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan/atau Pasal 16 juncto Pasal 4 huruf b ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis dan/atau Pasal 156 KUHP.
dan juga ada Pasal 156 KUHP.
Persepsi tentang Gorila
Pagi ini juga saya tersenyum membaca artikel Kompasiana, yang kok bisa pas dengan kasus “Pigai dan Gorila”. https://www.kompasiana.com/komentar/hennietriana/601094cc8ede48661612a262/ketika-orang-tersayang-mendapat-julukan-nama-hewan
Sang penulis, mbak Henny, asli orang Indonesia dan sedang tinggal di Jerman. Di artikelnya yang sudah di-like puluhan orang, ia menceritakan, “Ketika Orang Tersayang Mendapat Julukan Nama Hewan”. Bahkan saat bermesraan, ada pasangan yang menyebut suami dengan “Maus” (tikus). Julukan ini bukan untuk lucu-lucuan, karena menggambarkan hewan yang terlihat pemalu, tetapi gesit dan cerdas. Bahkan pria di Jerman tidak keberatan jika dipanggil “Tiger” (harimau) atau “Bar” (beruang).
Jika kita kembali ke kasus “Ambroncius vs Pigai Gorila” maka sebenarnya ini persoalan persepsi tentang gorila. Saya sepakat dengan Mbak Henny, kalau persepsi karakter gorila itu bagus, mestinya bangga.
Atau bisa jadi persepsi orang lain mengatakan, Ngapain ribut-ribut. Kalau gw nggak merasa mirip gorila, ngapain marah, cuex saja. Tapi nih, kalau di dalam hati gw memang penampakan gw mirip gorila, dan gw sudah lama tertekan dengan penampakan gw yang mirip gorila, mungkin gw tersinggung dan ngamuk-ngamuk. Kalau gw nggak ngerasa, ya nggak usah diperpanjang toh sampai seluruh dunia tahu dan malah yakin, memang ada benernya gw mirip gorila. Nah itu bikin malu diri sendiri.
Lebih parah lagi kalau urusan persepsi ditambah kepentingan politis, sehingga kebongkar ada “udang di balik bakwan” maka persoalan persepsi bisa berkembang menjadi persoalan hukum.
Mengapa Mengadu ke Menteri Pertahanan Amerika
Nah sekarang baru ketahuan. Pigai langsung menggoreng sedemikian rupa postingan Ambroncius. Kasus 1 on 1, satu lawan satu, malah digoreng menjadi kasus tribalisme, kasus SARA Suku Agama Ras dan Antargolongan.
Bahkan sekarang Pigai yang WNI (kalau masih WNI ya) malah menyeret menjadi kasus negara. Entah apa yang merasukimu. Pigai malah men-tag Twitter Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin yang berasal dari ras Amerika Afrika. Setelah menyampaikan isi hatinya, Pigai juga menyeret-nyeret Presiden Jokowi dalam kolase foto di Twitternya pada 24/1.
Kasus SARA dari Papua? Bareskrim Polri Harus Hati Hati
Mengapa pula Pigai menggoreng postingan yang porsinya hanya kasus penghinaan pribadi, menjadi masalah SARA, Suku Agama Ras Antargolongan.
Berhubung Bareskrim Polri sudah mengenakan pasal-pasal SARA (lihat di atas); maka Bareskrim harus bisa membuktikan (bila perlu dengan pernyataan tertulis) suku dan ras asal Papua yang mana yang sungguh-sungguh mengaku mendapat permusuhan, kebencian, atau penghinaan dari postingan Ambroncius tersebut.
Wikipedia mencatat minimal ada 26 Suku (asal) Papua, yaitu : Abau, Abra, Adora, Aikwakai, Aiso, Amabai, Amanab, Amberbaken, Arandai, Arguni, Asienara, Atam, Hatam, Atori, Baham, Banlol, Barau, Bedoanas, Biga, Buruwai, Karufa, Busami, Hattam, Iha, Kapaur, Inanwa.
Memang kita baca Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua Barat pada 25/1 melapor ke Polda Papua Barat dengan nomor LP/17/I/2021/Papua Barat. Namun berdasarkan situasi yang berkembang dan hiden agenda, jika menyangkut SARA dengan penekanan pada suku asal Papua, Indonesia mesti cek dan ricek lagi. Apa motivasi KNPI Papua Barat dan oknum yang terlibat menggoreng postingan Ambroncius. Kalaupun dipaksakan, sekali lagi kalaupun harus dipaksakan, itu adalah kasus penghinaan pribadi kepada Natalius Pigai, bukan ke Suku atau Antargolongan asal Papua.
Mengapa kita sebagai Bangsa Indonesia harus super hati-hati kepada oknum-oknum yang mengatasnamakan Papua ?
Isi cuitan Pigai yang dia tag ke Menteri Pertahanan AS, menyebut bahwa perlawanan terhadap rasialisme di Indonesia, dalam hal ini warga Papua, telah berlangsung selama lebih dari 50 tahun."Kami telah melawan rasisme kolektif (negara) Indonesia terhadap orang kulit hitam Melanesia Afrika (Papua) lebih dari 50 tahun. Penyiksaan, pembunuhan & genosida perlahan. Kami butuh perhatian."
Di bagian lain, komentar Pigai terhadap postingan Ambroncius Nababan, malah diplintir ke Presiden Jokowi. Bahwa selama pemerintahan Joko Widodo, pembantaian, pembunuhan dan kejahatan HAM di Papua cenderung didasari rasisme. Bahwa negara memelihara dan mengelola rasisme sebagai alat pemukul tiap orang yang berseberangan dengan kekuasaan.
Belum puas menghina NKRI, Pigai juga menyebut rasisme saat ini telah menjadi kejahatan kolektif negara pada orang Papua."Seluruh kejahatan di Papua didasari oleh kebencian rasial. Orang Papua tidak akan pernah bisa hidup nyaman dengan bangsa rasialis. Jakarta harus buka kran demokrasi dengan Rakyat Papua. Kalau tidak, maka saya khawatir instabilitas bisa terjadi karena konflik rasial di Papua. Saya orang pembela kemanusiaan berkewajiban moral untuk ingatkan," kata Pigai kepada CNNIndonesia.com (25/1).
Hmmm, mumpung Pigai yang Komisioner Komnas HAM 2012 -2017 pamer diri, ijinkan saya memposting ulang pertanyaan netizen yang faktual.
Dimana tuan (Natalius Pigai) sewaktu jadi Komisioner Komnas HAM Republik Indonesia, bersembunyi
1. Ketika ada kelompok yang sangat rasis kepada BTP
2. Ketika Umat Nasrani diusir dari Rumah Ibadahnya?
3. Ketika ada minoritas dipersekusi oleh kelompok yang selama ini tuan bela?
Bahkan saat mendapat fasilitas super mewah sebagai Komisioner Komnas HAM, apa yang sudah Pigai kerjakan untuk membela tiga kasus rasisme di atas. Jadi, terus terang apa pantas dan rasional, kalau Pigai menyombongkan diri, " saya orang pembela kemanusiaan". Hadeeeeuh.
Akhirnya tulisan ini saya tutup dengan Doa seorang Netijen INDONESIA RAYA.
Tambahan
Jika saya ada waktu, saya mencoba menulis analisis hukum kasus "Pigai dan Gorila". Mungkin berupa saran hukum untuk Ambroncius Nababan menangkis jeratan Pasal Pasal Hukum dari Bareskrim Polri dan mungkin berlanjut ke Kejaksaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H