Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Untold Story, 17-an di Istana Negara, Seru!

18 Agustus 2017   15:13 Diperbarui: 19 Agustus 2017   06:18 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hei Hei siapa dia? Kalau ada yang tahu tolong info ya (koleksi pribadi)

Tanggal 17 Agustus 2017 kami kebagian diundang Presiden dan Ibu Iriani Joko Widodo ke Istana untuk Upacara Penurunan Bendera. Kalau membayangkan hebohnya cari parkir mobil dan lumayan mesti berjalan kaki di tengah teriknya matahari Jakarta, rasanya males bingit ikut upacara. Namun, setelah mengintip situasi 17an pagi hari di Istana "berbeda" maka kami jadi bersemangat hadir. 

Apalagi sempat melihat di teve, ada "bule" yang sangat khidmat mengikuti upacara di pagi hari, kita sebagai Indonesia asli berkulit sawo matang nggak mau kalah. (lihat foto).

Baju Adat

Di undangan jelas tertulis harap berpakaian baju adat. Maka sibuklah kami mencari baju adat yang simpel dan tidak panas, karena sudah kebayang panasnya berkumpul dengan ribuan orang di bawah tenda.

Karena nyali nggak besar besar amat, kami bertiga memilih pakaian adat yang simple dan aman. Saya pakai dress biru tanpa lengan dikombinasi dengan selendang ulos hijau untuk menutupi bahu dan lengan. Putri saya mengkombinasi blus hitam dengan bawahan ulos dan blazer batik. Sedang putra saya, yang paling nggak tahan panas, pilih baju bermotif lurik dan tutup kepala batik Banyuwangi. Jadi kostum kami bertiga lumayan simpel, tetapi moga-moga tetap menghormati undangan, yang meminta menggunakan baju adat.

Eh begitu pilih tempat duduk, di sebelah saya, ada oma-oma usia 70 tahunan pede abis. Dia pakai baju Dayak yang gemerlap penuh mute warna merah kuning hijau biru, dari kepala sampai kaki. Keren.

Lalu di depan saya, seorang bapak berkostum Aceh lengkap tutup kepala menjulang. Keren, tapi bikin pandangan saya bolak-balik terhalang karena ketutupan topinya.

Menurut Panitia, suasana siang menuju sore malah lebih meriah. Pk 17 acara upacara dimulai, Pk 14 undangan berebut datang supaya dapat tempat di depan. Berharap bisa selfie dengan Pak Jokowi.

Pk 15 ternyata ada acara hiburan. Ada kelompok menari dan marching band, kalau tidak salah dari PT Kereta Api.  Lalu ada penampilan penyanyi, yang kebetulan favorite saya juga, Tulus, Bams Samson, dan Angel Idola Cilik.

Di acara 17an kemarin, ternyata  penampilan tiga penyanyi itu "kalah" dari Pak Jokowi yang lebih disoraki undangan.  Karena Pak Jokowi malah datangi undangan, salaman bahkan selfie. Suasana jadi seru.

Dari denah Istana yang dibagikan, undangan dibagi tempat duduk dari Tribun A,B,C,D  lalu di Tribun EFGH, dan Tribun IJKL. Di luar istana, persis menghadap istana, dibuat tenda untuk para peserta kesenian dan hiburan.

Demi Selfie dengan Jokowi

Sekitar pukul 16an, Pak Jokowi sudah mendatangi Tribun IJKL, tetapi belum mampir ke Tribun EFGH. Melihat betapa gembiranya undangan di tribun sebelah, maka undangan di Tribun EFGH tidak sabar.

Demi bisa selfie, ada puluhan emak-emak undangan tribun EFGH bersitegang dengan Paspampres, Dari nada do rendah sampai nada do tinggi argumentasi untuk bisa sedekat mungkin dengan Jokowi.

Kebayang kan. Emak-emak dengan kebaya dan kain wiron lengkap sanggul dan sendal berhak 5 cm, bersedia berjejal jejal demi sedekat mungkin ke batas undangan.

Ada juga satu ibu berseragam "menwa" ikut merangsek ke depan. Kebetulan di sebelah sang ibu, yang ikut berjejal ada remaja putri usia 18 tahun dan ia Menwa beneran, maksudnya masih jadi mahasiswa, masih Resimen Mahasiswa.

Si remaja putri yang Menwa ini berpakaian adat, bukan seragam Menwa karena ia datang menemani Sang Ibunda  yang diundang sebagai utusan PGRI, Persatuan Guru Republik Indonesia.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dua undangan Istana, yang berpakaian adat. Pria  berpakaian adat tradisional Manado (merah), dan Perempuan  pakaian kombinasi ulos Batak yang dijadikan bawahan dan batik yang dijadikan atasan. (foto koleksi pribadi Mercy Sihombing)

Dan sambil berjejal menunggu Jokowi lewat, sempat ada diskusi

  • Maaf, Ibu berseragam Menwa Jayakarta?
  • Iya, memangnya kenapa? balas  si ibu kurang bersahabat
    Mendapat jawaban sengit, si Menwa jadi sebel,  dalam hati ia bertanya (sudah tua kok masih jadi resimen mahasiswa)  
  • Hm, ibu mahasiswa di universitas mana?
  • Si ibu dengan sigap menjawab, saya alumni menwa Jayakarta.
    Dalam hati, si Menwa jadi bingung, sudah alumni masih dapat undangan ke Istana? Karenaundangan ke Istana ditujukan untuk Lembaga Resimen Mahasiswa Jayakarta. Jadi yang diundang semestinya adalah Menwa, yang masih menwa.Ngapain malah alumni yang memanfaatkan undangan itu? Hadeeeuh.

Di ujung sana, ada percakapan antara seorang ibu yang ikut berjejal bersama anaknya yang masih 5 tahunan. Ketika ditegur, jangan bawa anaknya berjejal, mending di tempat duduk aja,  si ibu malah ngeyel. Tidak bisa saya tinggal, nggak ada yang jaga.

Mendengar percakapan itu, ada ibu lain yang menyeletuk. Kalau tidak ada yang jaga, titip ke Paspamres aja, pasti aman terkendali.  Mendengar guyonan itu, Paspamres  yang berkecemete hitam, cuma bisa senyum masam.

Paspamres mesti ekstra kerja keras untuk menghadapi animo masyarakat berfoto atau bersalaman dengan Presidennya. Bahkan Paspamres sampai bikin pagar hidup supaya emak-emak tidak bisa menyelusup mendekati Jokowi.

Sempat terjadi, 20 menit adu urat leher antara emak-emak dengan Paspampres, Dan akhirnya perdebatan langsung berhenti karena Jokowi sudah harus naik panggung dan tidak sempat menghampiri emak-emak yang berjejal di depan Tribun E.

Begitu diumumkan upacara segera dimulai. Semua undangan kembali tertib ke tempat duduk masing-masing. Upacara berjalan rapi dan menurut pengamatan saya,  ribuan undangan serius mengikuti. Diminta berdiri, memberi hormat, duduk kembali semua rapi.

Istana  Negara yang instagramable

Selepas acara resmi, diumumkan peserta baju terbaik.

Eh bener juga, Oma Dayak dan Bapak Aceh terpilih dan bahagia pulang bawa sepeda. Para tetangga di tribun E jadi ikutan bangga. Walaupun  nggak dapat sepeda, undangan lain juga senang, dapat goodybagsatu tas kain keren berisi t-shirt, topi, notes berlogo resmi 72.

Walau nggak dapat makan malam, snacks dua potong roti dan dua botol minuman cukuplah. Namun yang bikin kenangan terindah hmm, undangan bisa foto both berlatar istana dan lengkap logo kenegaraan 72 tahun Indonesia Merdeka.

Sudah cukup? Belum.  

Sebenarnya acara berakhir pk 18an, tetapi masih ratusan undangan yang betah. Mereka memanfaatkan halaman istana dan air mancur menjadi lokasi foto karena instagramable, maksudnya layak dipamerkan di instagram.

Ditambah lagi, ajudan Presiden yang guanteng-guanteng sumringah diajak foto emak-emak,  termasuk emak yang berhijab,  santai berfoto berdua dengan lelaki bukan muhrim (ups maaf), dan sang anak yang jadi tukang fotonya. Dan Paspamres dengan sabar melayani masyarakat, sambil berkali-kali bilang, ayo sudah waktunya pulang dengan nada ramah.

Hahaha, saya merasa keakraban kembali pulih. Indonesiaku dengan Bhineka Tunggal Ika menjadi terasa dan nyata.

Saatnya, Kerja Bersama

Persatuan yang sempat robek --karena oknum yang menghalalkan segala cara untuk pilkada-- moga-moga bisa pelan tapi pasti terjahit rapi kembali.

Semoga kita sanggup menerima perbedaan, dan tidak pernah merasa lebih hebat dari orang yang berbeda.

Setahu saya, di Indonesia tidak pernah dikenal konsep mayoritas dan minoritas, Bisa saja satu kelompok merasa mayoritas jumlah orangnya, tetapi  tanpa kekuatan ekonomi?  Bisa juga ada kelompok merasa mayoritas karena merasa punya dukungan partai "berjargon" agama?  Eits nanti dulu, biar setiap ucapan penuh dengan jargon agama dan berpenampilan bak orang suci, apa iya partainya bisa dipercaya? Jangan-jangan cuma "jualan agama" tetapi isinya busuk, cuma cari kesempatan korupsi memperkaya diri sendiri,  dan penuh iri dengki. Hadeeeh.

Akhirnya,

Saya merasa beruntung jadi bagian Indonesia yang menikmati langsung upacara 17 Agustus 2017 di Istana Negara. Sebagaimana "keakraban" ke-4 Presiden RI, maka haruslah kita meneladani Presiden kita semua. Siapa sih yang tidak punya kekurangan? Siapa sih yang merasa bisa tanpa bantuan orang lain, termasuk yang berbeda suku, agama, ras, dan antargolongan, SARA.  Saatnya jadi bagian Indonesia yang menatap hari depan bersama, bekerja sama.

Salam, Kerja Bersama

Catatan : Artikel dan foto-foto yang ditampilkan  dimuat juga di portal lain dengan seijin penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun