Mohon tunggu...
Mercy
Mercy Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu dua anak remaja, penggiat homeschooling, berlatarbelakang Sarjana Komunikasi, Sarjana Hukum dan wartawan

Pengalaman manis tapi pahit, ikutan Fit and Proper Test di DPR.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Orangtua Part Timer

1 Desember 2015   06:53 Diperbarui: 1 Desember 2015   08:17 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Setelah 10x memperkosa anak majikan (perempuan, 9), pembantu (lelaki, 43) baru ketahuan. Berita yang membuat darah saya mendidih. Mengapa itu bisa terjadi?  Kabarnya pembantu yang masih beristri itu memperkosa si gadis kecil anak majikan, dengan iming-iming uang Rp 5.000 setiap melakukan perkosaan yang dilakukan di ruang tamu majikan.

Berita anak-anak kecil. lelaki dan perempuan yang diperkosa orang dewasa yang berada di dalam lingkungan sehari-hari rasanya bukan berita baru. Setiap bulan, berita anak kecil diperkosa bahkan sampai dibunuh, dibuang dalam kardus menjadi santapan berita kita orang tua. Lalu apa makna dari semua kejahatan itu bagi kita, orang tua?

Yang jelas, jika sampai anak-anak kita bisa dilecehkan, diperlakukan semena-mena, sampai dipekosa berkali-kali,  karena orangtua lalai. Sudahlah  jangan banyak cerita membela diri;  bahwa kita sebagai orangtua sudah melakukan yang terbaik dan optimal bagi anak-anak kita. Bahwa akhirnya kita "terpaksa"  meninggalkan anak-anak kita dengan orang lain adalah "demi yang lebih baik."

Maksud kalimat di atas, para orangtua, terutama Ibu memilih bekerja di luar rumah untuk mencari uang, karena ingin memberikan fasilitas yang lebih baik untuk anak-anaknya. Karena punya motivasi untuk "memberi fasilitas yang lebih baik untuk anak" maka terbentuklah opini bahwa ibu yang bekerja di luar rumah, meninggalkan anak-anak yang masih kecil, adalah sah bahkan perlu didukung.

Quality vs Quantity Time

Beranjak dari konsep berpikir semacam di atas, muncul istilah Quality Time. Waktu yang berkualitas dengan anak, dalam arti cukup sedikit waktu tetapi diisi dengan hal-hal menyenangkan dan berkualitas. Quality Time dianggap bisa menjadi solusi bagi para orangtua yang sudah lelah bekerja seharian dan hanya sanggup menyediakan waktu sisa bagi anak-anaknya.

Apalagi kalau dikaitkan dengan canggihnya teknologi, bahwa sekalipun jarak berjauhan, tetapi dengan teknologi, maka tetap ada kedekatan antara anak dan orangtua. Dengan skype, google-hangout, dan berbagai aplikasi lainnya sanggup  membuat komunikasi antara orangtua dan anak tetap terjaga. 

Buat saya Quality Time tidak bisa menggantikan Quantity Time. Bahwa yang namanya perhatian dan kasih sayang tetap membutuhkan  waktu yang banyak.  Adalah keniscayaan, diperlukan waktu yang banyak untuk bertemu dan bercengkeraman. Waktu yang banyak, yang kuantitas, adalah penting dan sangat penting bagi anak-anak kita, terutama yang masih di bawah usia 17 tahun.

Mereka butuh sentuhan fisik, dipeluk, dibelai, dihibur secara langsung, terutama saat mereka sedih; Atau mereka butuh melihat binar mata kita, melihat senyum lebar kita,  ketika bangga mendengar atau melihat prestasi mereka. '

Toh kita semua pernah menjadi anak-anak, jadi kalau kita mau jujur, maka harus kita akui bahwa perhatian langsung dan sentuhan fisik dari orangtua, dari ibu, adalah sorga bagi anak -anak. Bahwa perhatian langsung orang tua  adalah waktu dan tempat paling aman, paling indah, paling dirindukan.

Homeschooling

Mumpung masih hangat ngomongin  Hari Guru. Mengutip Mendikbud Anies Baswedan yang menegaskan pentingnya pendidikan yang bertumpu kepada orangtua, lembaga pendidikan, dan sang anak. Bahwa sudah saatnya orangtua mengambil peran lebih dalam pendidikan anak-anaknya.

  • Buat beberapa teman saya, kalimat semacam itu diartikan dengan memasukkan anaknya ke sekolah mahal dan bergengsi. Sekali seminggu, orangtua berlibur dengan anak-anaknya sambil bercengkeraman. Sementara 6 hari lainnya, anak dibuat sibuk dengan sekolah dan berbagai les.
  • Buat teman saya yang lain, orangtua lebih intens memeriksa PR anaknya setelah mereka pulang kantor. Sekalipun sudah capek, tetapi beberapa teman tetap komitmen memeriksa PR anak-anaknya. Thanks untuk internet dan mbah Google, yang membuat para ibu, bisa tahu semua jawaban bagi PR anak-anaknya.

Namun buat saya, mengambil bagian dalam pendidikan anak adalah memilih jalur homeschooling komunitas. Homeschooling komunitas adalah jalur pendidikan yang lebih banyak melibatkan peranan orangtua sebagai penddik,  sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.

MercySmart Homeschooling Komunitas melayani siswanya untuk mendapat pendidikan standar (baca kurikulum) yang bisa menjadi patokan kemampuan standar pengetahuannya. Namun tidak sampai di situ,  karena lewat Homeschooling jauh lebih penting membuka tabir dan  menggali potensi anak-anak kita. Sangat mungkin anak-anak kita  tidak berminat (ups maaf) di bidang pelajaran baku : matematika, sains, sosial sains, atau bahasa.

Seperti pengalaman saya dengan siswa MercySmart Homeschooling Komunitas,  ternyata di balik "kemalasan mempelajari bahan-bahan kurikulum inti versi Kemdikbud"  anak-anak homeschooling malah lebih  tertarik dan berminat di bidang non-akademik. Sebutlah bidang yang lebih diminati adalah  olahraga, kesenian, agama, dan berbagai pengembangan pengetahuan seperti teknologi informasi, berbagai bisnis yang tradisional atau bisnis online.  

Apakah anak-anak sekolah formal tidak bisa digali potensinya di bidang-bidang tersebut?  Memang materi olahraga, kesenian, agama  teknologi informasi, pengembangan bisnis online dan offline, dll tersedia dalam pendidikan formal (baca sebagian sekolah. Tetapi jujur saja,  karena keterbatasan guru, keterbatasan kreatifitas, dan jumlah murid yang banyak, membuat sekolah formal tidak mampu  memberikan stimulus yang berarti bagi siswa-siwanya. Siswa sekolah formal secara umum tidak mendapat stimulus yang sangat optimal yang bisa membuat  mereka tidak tertantang untuk menggali potensinya di bidang-bidang tersebut. Akhirnya potensi itu terpendam, terbenam, terkubur.

Sementara di Homeschooling Komunitas, potensi itu malah dipilih untuk  lebih dikembangkan, didevelop. Materi pelajaran kurikulum inti yang diwajibkan Kemdikbud tetap diberikan, tetapi minat siswa di luar kurikulum juga menjadi bagian penting dalama pembelajaran di MercySmart Homeschooling Komunitas. 

Orangtua Part Timer

Dan semua potensi anak-anak kita, secara umum,  bisa digali karena peran serta orangtua yang optimal yang full timer. Orangtua yang menjadi motivator utama bagi anak-anaknya untuk mengembangkan bakat.

Nah, bagaimana  anak-anak kita bisa berkembang,  kalau orangtua  malah memilih fungsi sebagai orangtua Part Timer. Orangtua cuma memberi dukungan omongan doang, uang doang, tetapi pelit memberi waktu yang utama (bukan waktu sisa, waktu yang sudah capek pulang kerja).

Jadi para ibu, ayo berikan waktumu yang terbaik untuk anak-anak. Jangan biarkan golden times anak-anakmu jadi milik pembantu, baby sitter, oma /nenek atau guru kelas / guru les/ dll karena mereka yang ada lebih lama bersama anak-anakmu.

Jangan sampai menyesal jika terjadi kasus perkosaan, seperti yang saya beberkan di awal tulisan. Siapa bilang anak-anakmu yang masih kecil-kecil tidak bisa mengalami hal yang kejam dan jahat? Memangnya kamu bisa melindungi mereka, sementara kamu memilih menjadi Orangtua Part-Timer?

Sebagai penutup saya ungkapkan kisah nyata, senyata-nyatanya. Teman saya, pasangan suami istri. Suami dokter spesialis, istri punya bisnis kantin di universitas swasta. Punya seorang anak laki-laki yang sejak bayi  diasuh pembantunya, perempuan usia 17 tahunan. Pembantu ini dimanja, dengan gaji lebih tinggi, bahkan keluarga si pembantu ini juga mendapat banyak bantuan dari sang majikan. Dengan harapan si pembantu tahu diri dan mau sungguh-sungguh menjaga anak majikan dan menyayangi anak majikan seperti adiknya sendiri.

Memang betul, si pembantu ini menyayangi anak majikan, tetapi dengan cara yang salah, yakni menyayangi anak majikan dengan memberi rangsangan seksual. (ihhh seram, sampai saya tidak sanggup menceritakan) lebih detail). Dan perbuatan bejat si pembantu perempuan ini terbongkar setelah 11 tahun kemudian. Ketika sang ibu tiba-tiba datang ke rumah sebelum waktunya, dan melihat anaknya lelaki yang saat itu kelas 4 SD, sedang "disayang-sayangi" si pembantu di kamar mandi.

Selamat merenung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun