Layanan pendidikan keluarga yang diberikan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud dimaksudkan agar masyarakat Indonesia yang berusia dewasa mengetahui dan memahami perihal cara mendidik anak sejak janin hingga tumbuh dewasa. Kemendikbud menargetkan hingga 2019 sejumlah 4.343.500 orang dewasa akan memperoleh layanan pendidikan keluarga tersebut.
Hmmmm, sambil menunggu realisasi upaya Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga (yang entah kapan giliran Anda dan saya kebagian), sebagian orangtua yang cerdas dan aware terhadap beban sekolah konvensional bagi anaknya jelas akan memilih jalur homeschooling.
Dalam konteks ini perlu sekali saya informasikan bahwa homeschooling di Indonesia sudah berkembang pesat. Homeschooling tidak hanya berarti orangtua (an sich) mengajar anaknya di rumah (homeschooling tunggal) karena sudah berkembang menjadi Homeschooling komunitas.
Dalam Homeschooling Komunitas, yakni orangtua dan lembaga homeschooling bahu membahu memberikan pendidikan wajib belajar bagi anaknya. Â Jadi Homeschooling komunitas mengambil hal-hal baik dari konsep sekolah konvensional, yakni ada tutor yang menguasai bidangnya dan siswa tidak sendirian belajar. Siswa di homeschooling komunitas bergabung dengan siswa homeschooling lainnya, sehingga setiap hari siswa homeschooling komunitas bersosialisasi dengan siswa lainnya, meskipun tidak se-massal dan sebanyak siswa sekolah biasa.Â
MercySmart Homeschooling (Komunitas)
Bahwa berbagai lembaga homeschooling yang ada di Indonesia sangat beragam dan fleksibel. Itu juga membuat masyarakat masih mencurigai homeschooling sebagai pelarian dari siswa yang malas belajar di sekolah biasa. Siswa yang memilih homeschooling adalah siswa yang tidak disiplin, siswa yang tidak bisa bersosialisasi, siswa autis, dan berbagai hal yang membuat homeschooling sebagai tempat buangan.
Ups, sebagai praktisi homeschooling lebih dari 10 tahun, dengan rendah hati, saya katakan kecurigaan itu bisa saja ada benarnya, walaupun buanyak sekali tidak benarnya alias salah banget. Mungkin ada anak pindah ke homeschooling karena sekolah konvensional tidak mampu melindungi dia dari  bullying. Bisa saja begitu.
Namun dari berbagai info yang saya dapat dari kolega lembaga homeschooling di Jakarta tidak begitu. Bahkan bisa saya katakan, mayoritas siswa MercySmart Homeschooling  tidak demikian. Justru para orangtua dari siswa MercySmart Homeschooling memilih jalur pendidikan kesetaraan ini karena memperhitungkan sistem sekolah konvensional yang terlalu membebani murid.
Terlalu banyak beban sekolah sudah terbukti bisa berakhir pilu, seperti  kasus awal kita tadi, anak terlalu banyak les, stres, dan masuk rumah sakit jiwa.
Sementara di MercySmart Homeschooling, setiap anak diberi porsi yang sesuai kemampuan masing-masing. Siswa tidak perlu disamaratakan. Ibarat di Taman Firdaus, saat Tuhan menciptakan ikan, kuda, burung. Bahwa ikan tidak dituntut untuk bisa terbang tinggi, tetapi dilatih untuk berenang cepat. Kuda tidak dituntut untuk berenang, tetapi harus lari cepat dan kuat. Burung tidak dilatih untuk berenang atau berlari cepat, tetapi bisa terbang tinggi.
Karena itu di MercySmart Homeschooling, setiap siswa dikenali dulu kelebihan dan kekurangannya. Bisa saja si A sangat mudah mengerjakan matematika, sementara cukup lemot untuk Pendidikan Kewarganegaraan dan kebalikannya dengan si B. Atau malah bisa jadi si C yang tidak terlalu mudah menyerap pelajaran dasar Homeschooling (hanya 6 mata pelajaran, IPA, IPS, B Indonesia, B Inggris, PKN, dan matematika) tetapi si C punya passion besar untuk mengutak atik program komputer dengan membuat applikasi. Ada juga si D, yang "lemah" di pelajaran dasar tadi, tetapi memukau saat ia menggebuk drum. Yap si D ini artis kecil yang sudah dikontrak manajemen band untuk menjadi drummer.3.