Demokrasi Melantik Tersangka Korupsi, Sebuah Ironi
Oleh: Ibu Lanaga
Tersangka korupsi dilantik menjadi anggota legislatif, anggota dewan yang katanya terhormat. Apa yang akan terjadi?
Banyak hal yang ironis memang. Hal ini hanyalah salah satunya . Yaitu ketika sebanyak 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung resmi dilantik pada Senin (5/8/2024) dengan tiga di antaranya masih berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan korupsi Program Bandung Smart City. (Sumber: Kompas.id)
Sebagaimana yang kita ketahui, DPRD adalah dewan legislatif. Lembaga ini bertugas untuk melegislasi peraturan untuk diterapkan di tengah masyarakat. Namun , pembuat aturan itu sendiri tersangka pelanggaran aturan dengan terlibat dalam kasus korupsi. Tak heran jika hal ini mendapat sorotan.
Peradaban kapitalisme sekuler telah menjadi kiblat dunia hingga sampai di negeri ini. Peradaban yang berdiri di atas sekularisme ini memastikan bahwa manusialah yang punya kedaulatan membuat peraturan. Hal ini diakomodasi dalam konsep politik yang disebut demokrasi. Duduklah sebagian orang yang katanya wakil rakyat di kursi kekuasaan. Mereka pun diberi hak untuk membuat peraturan atas nama rakyat. Namun, ironinya aturan-aturan yang dibuat justru menyusahkan rakyat. Ironisnya lagi, banyak aturan dilanggar oleh pembuat aturan.Â
Demokrasi memang merupakan konsep politik rusak dan merusak. Yang katanya wakil rakyat hanyalah klaim kosong yang diliputi ucapan-ucapan manis tanpa bukti. Hal ini banyak kita saksikan di momentum-momentum pemilu. Berkoar-koar penuh harapan di masa pemilu, namun menyusahkan rakyat setelah duduk di kursi kekuasaan. Begitulah, wakil rakyat hanyalah klaim, yang ada adalah wakil kelompok politik atau wakil sekelompok penguasa. Selain itu, kekuasaan juga menjadi jalan memperkaya diri sendiri dengan jalan korupsi.Â
Itulah omong kosong demokrasi. Melengkapi khayalan mereka bahwa akal manusia layak membuat peraturan. Padahal sifat terbatas akal telah memastikan ketidakmampuan akal untuk menjangkau apa yanb baik dan buruk bagi manusia. Akhirnya demokrasi hanya jadi akal-akalan orang yang ber-uang.
Jauh berbeda dengan peradaban Islam. Politik pemerintahan Islam tidak memberikan kedaulatan kepada akal manusia untuk membuat peraturan. Kedaulatan hanya milik Asyari', yakni Allah dan RasulNya. Peraturan Allah ini digali oleh para mujtahid dari sumber-sumber hukum yang Allah turunkan dan yang Rasulullah wariskan, yakni Al-Quran dan As-Sunnah.Â
Politik pemerintahan Islam dengan dijalankan oleh para penguasa yang sebelumnya dipastikan memenuhi syarat sebagai pemimpin/penguasa. Untuk menjadi khalifah misal, sebagai pemimpin politik tertinggi dalam sistem pemerintahan Islam, dia harus memenuhi syarat pengangkatan/syarat in'iqod yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Dan seorang khalifah juga diutamakan untuk memenuhi syarat afdholiyah/keutamaan. Hal ini menjadikan orang yang terpilih menjadi Khalifah adalah orang yang bersih, yang memang hadir untuk menerapkan syariat Islam di tengah rakyat sehingga akan dirasakan berbagai mashlahat, bukan hanya untuk manusia bahkan alama semesta.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H