Mohon tunggu...
Muhammad Ibnu Shina
Muhammad Ibnu Shina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penganut Eskapisme

Mahasiswa Sastra Indonesia - Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar Satire dari Sosok Soe Hok Gie

30 Maret 2022   18:10 Diperbarui: 1 April 2022   02:28 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemikiran kritis merupakan hal yang sepatutnya dimiliki oleh setiap akademisi. Daya nalar yang baik, pemikiran konseptual untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru demi perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat sudah semestinya menjadi sebuah tanggung jawab bagi seorang insan terpelajar. 

Bila kita tengok sejarah, mahasiswa angkatan 66 dan 98 sepertinya layak disebut sebagai generasi emas pergerakan mahasiswa Indonesia untuk mencapai sebuah perubahan besar bagi negara.

Peristiwa 98 tentunya masih melekat dalam ingatan. Saat itu, mahasiswa dengan segenap tekad dan perjuangannya mampu menduduki gedung DPR Senayan. Sekaligus, meruntuhkan pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya. 

Namun, tak banyak yang tahu bahwa mahasiswa angkatan 66 juga memiliki sejarah dan pergerakan yang bisa dikatakan tak kalah gemilang dari mahasiswa angkatan 98.

Bila mahasiswa angkatan 98 memiliki sosok Fadli Dzon, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu dll. sebagai sosok yang menonjol bagi pergerakan mahasiswa di masa itu, maka angkatan 66 memiliki salah satu nama yang bisa dibilang pentolan. Dia adalah:  Soe Hok Gie.

Soe Hok Gie, seorang aktivis keturunan Tionghoa-Indonesia yang lahir pada 17 Desember 1942. Ia aktif sebagai mahasiswa dan dosen FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Soe Hok Gie memiliki hobi menulis dan naik gunung. Ia juga merupakan salah satu pendiri MAPALA UI kala itu. 

Gie adalah aktivis yang sangat gencar dalam mengkritisi pemerintahan Soekarno. Ia adalah seorang pembangkang aktif bagi pemerintahan Sang Proklamator. Lewat kepiawaian menulisnya, pemikiran-pemikiran kritis Gie terhadap penguasa senantiasa menghiasi berbagai surat kabar di masa itu. 

Gie aktif dalam aksi demonstrasi bersama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) selama 60 hari lamanya pasca pemberontakan PKI. Gerakan mahasiswa itu pun berhasil memaksa PKI dibubarkan. Tak lama setelah itu, Presiden Soekarno pun harus turun dari jabatannya. Tepatnya pada tahun 1967.

Salah satu ciri khas Gie adalah kemampuannya membuat satire dalam mengkritisi sesuatu yang dianggapnya tidak benar. Menurut KBBI, satire sendiri berarti gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire mampu 'menyentil' seseorang atau suatu keadaan secara halus dan cenderung tidak melukai. 

Mengutip dari buku Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia, satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan mengandung kritik dengan maksud agar sesuatu yang salah dicari solusi atau kebenarannya. 

Banyak orang keliru yang menganggap satire sama dengan sarkasme. Keduanya merupakan hal yang berbeda. Sarkasme sendiri merupakan penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengritik. 

Mengutip dari Ungkapan Satire dan Sarkasme dalam Charlie Hebdo tulisan Sri Ratnawati, satire pada dasarnya digunakan untuk menyindir secara halus, bahkan bisa dijadikan sebagai lelucon. 

Soe Hok Gie begitu identik dengan satir-satirnya yang tajam. Salah satu satire Gie yang cukup terkenal adalah ketika rekan-rekan seperjuangan mahasiswanya di KAMI, menduduki kursi parlemen pasca jatuhnya pemerintahan Soekarno. 

Gie mengirimkan hadiah yang isinya bedak dan gincu ke gedung DPR. Hal itu merupakan bentuk satire kepada rekan-rekan seperjuangannya di KAMI yang dahulu melawan kekuasaan dan malah berbalik menjadi penikmat jabatan. Gie mengartikan itu adalah sikap banci bukan kesatria. "Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan." kata Gie. 

Bung Karno sebagai proklamator kemerdekaan pun tak lepas dari satir-satir Gie, dalam buku hariannya Gie menuliskan, "Siang tadi aku bertemu dengan seseorang tengah memakan kulit mangga... Dua kilometer dari sini 'Paduka' (Presiden Soekarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik."

Walaupun Gie sangat kritis terhadap Soekarno hingga pemerintahannya tumbang, bukan berarti ia mendukung pemerintahan setelahnya. Gie tetap senantiasa bersikap kritis kepada penguasa selanjutnya, yakni Soeharto. Itu membuktikan, bahwa kritik Gie terhadap pemerintahan Soekarno bukan didasari kebencian secara personal pada sosok Bung Karno dan Gie juga tidak sedikit pun mengincar kursi jabatan setelah Bung Karno tumbang. Gie hanya melaksanakan peran sebagai seorang akademisi yaitu menjadi pengawas kebijakan-kebijakan para penguasa yang seringkali tidak berpihak pada rakyat.

Beberapa kali Gie ditawarkan untuk menduduki kursi parlemen, namun ia tolak mentah-mentah. Kritik tajam Soe Hok Gie juga dapat kita lihat pada kasus pembantaian ribuan rakyat Indonesia yang dituding anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soe Hok Gie merupakan sosok yang penuh kontradiksi. Dia gencar mengkritik PKI, tetapi menjadi orang pertama yang memprotes keras terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966. Sebab, dia menganggap itu adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Menghakimi, tanpa adanya peradilan di meja hijau.

Soe Hok Gie juga turun ke lapangan dan mengumpulkan data-data mengenai pembantaian tersebut yang kemudian ditulis menjadi dua serial artikel dengan nama samaran Dewa. Artikel itu berjudul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali." Gie sering mendapat ancaman dan teror semenjak artikelnya itu terbit.

"Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda." Itulah salah satu catatan Soe Hok Gie dan dia berhasil mencapai nasib terbaik kedua menurut versinya. Ya, mati muda.

16 Desember 1969, sehari sebelum Gie merayakan ulang tahunnya yang ke 27 tahun, dalam pelukan Gunung Semeru ia meninggal dunia.  Aktivis yang memiliki kebiasaan menulis dalam buku harian itu diduga menghirup asap beracun dari kawah gunung . Gie meninggal bersama Idhan Dhanvantari Lubis, teman mendakinya. 

Keberanian dan ketajaman Gie dalam mengkritisi kekuasaan nampaknya belum kita temukan lagi di masa sekarang. Apalagi, mental kesatria seorang Gie yang tidak runtuh, sekalipun ia ditawari kursi jabatan di parlemen. Ia tetap memilih menjadi orang yang terus melawan kesewenang-wenangan. 

Kita perlu belajar banyak dari Soe Hok Gie yang berani, tajam, idealis serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dan yang terpenting, ia adalah orang yang tidak sama sekali diintervensi oleh pihak mana pun. Gie terlepas dari berbagai kepentingan kelompok/golongan tertentu. Dia Soe Hok Gie, si manusia bebas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun