PBI JKN. Angkanya berpotensi lebih tinggi lantaran terdapat 12,6 juta data yang diklaim sudah padan Dukcapil, ternyata tidak masuk ke dalam DTKS sehingga harus diverifikasi lagi oleh Pemda.
Belum lama ini, publik dikejutkan dengan keluarnya Kepmensos Nomor 92/HUK/2021 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2021. Dalam Kepmensos tersebut, sekitar 9,7 juta orang dikeluarkan dari kepesertaanDalam keterangannya (28/9/2021), Mensos Risma menyatakan bahwa pengurangan tersebut akibat adanya data ganda, peserta meninggal, pindah segmen, dan perubahan pendataan lainnya yang tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Intinya adalah pengurangan terjadi sekedar hanya karena masalah data. Dalam rilis yang dimuat di situs Setkab tersebut, Mensos turut membawa-bawa UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, bahwa peserta PBI JKN harus memiliki data yang terintegrasi.
Mensos bahkan mengajak masyarakat tidak mampu untuk ramai-ramai mendaftarkan diri ke Pemda agar didata sebagai peserta PBI JKN. Hal ini dalam rangka memenuhi kuota PBI JKN tahun 2021 sebanyak 96,8 juta orang.
Namun, lain dengan optimisme Mensos, Kepala Bappenas sepertinya senang saja dengan pengurangan ini. Dalam suratnya kepada Presiden RI tanggal 26 Juli 2021 yang menindaklanjuti arahan Presiden pada Sidang Kabinet 5 Januari 2021, Bappenas berencana mengurangi kuota peserta PBI JKN perlahan hingga tinggal 40 juta peserta pada tahun 2024.
Alasannya adalah bantuan sosial akan diefisiensikan (baca: dikurangi) berdasarkan tingkat kerentanan penduduk, yakni 1,58 kali garis kemiskinan (GK). Ini berarti akan mengubah sistem yang digunakan saat ini di mana cakupannya adalah 40% masyarakat terbawah (4 desil bawah pendapatan). Sekalipun nantinya jumlah penduduk rentan dengan hitungan 1,58 kali GK tersebut tinggi, yang akan layak menerima bansos menurut Bappenas maksimal hanyalah 60 persennya saja.
Meskipun seolah-olah bertentangan, pernyataan kedua Menteri tersebut sebenarnya punya benang merah: mengurangi kepesertaan PBI JKN. Rencana Bappenas sebagai tindak lanjut arahan Presiden tersebut dieksekusi oleh Mensos dengan alasan teknis pendataan dan iming-iming tambahan data dari Pemda. Padahal selama ini, verifikasi Pemda paling mentok hanya untuk menerima alokasi maksimal yang diberikan Kemensos, jarang sekali usulan tambahan yang disetujui.
Benang merah tersebut akan semakin jelas terlihat jika memasukkan rencana BPJS Kesehatan yang menghilangkan perbedaan kelas layanan mulai tahun 2022. Sehingga nanti perbedaan layanan di Rumah Sakit hanya akan ada dua kelas, yakni kelas rawat inap untuk PBI dan Non-PBI.
Berdasarkan keterangan Anggota Dewan Jaminan Sosial (DJSN) Muttaqien (27/9/2021), peserta PBI akan mendapatkan pelayanan "standar". Mereka bisa naik kelas hanya dengan cara keluar dari kepesertaan PBI dan membayar selisih biaya yang ditimbulkan. Artinya, melepaskan diri dari subsidi Negara.
Kelas "standar" layanan untuk PBI tersebut sepertinya cukup menyangsikan: tempat tidur dengan luas maksimal hanya 7,2 meter persegi dan diisi oleh 6 tempat tidur per ruangan. Rawat inap yang mirip dengan bangsal. Sebagian orang miskin dan rentan mungkin akan bersusah payah mencari dana talangan agar kerabatnya yang sakit bisa naik dari kelas standar tersebut.
Dengan demikian, langkah senyap Kemensos melalui Kepmensos Nomor 92/HUK/2021 tersebut bisa dilihat sebagai langkah awal dari rencana matang yang sudah disiapkan tidak hanya oleh BPJS Kesehatan maupun Bappenas, tapi juga oleh Presiden. Yakni, agar masyarakat keluar dari kepesertaan PBI JKN dan membiayai sendirinya iuran BPJSnya.
Lantas, apa motifnya? Tentu saja adalah pengurangan subsidi kesehatan dan penghematan anggaran.