Seiring dengan pandemi yang tak kunjung berakhir, Pemerintah semakin menggelontorkan anggaran untuk jaring pengaman sosial. Di perpres terbaru No. 72/2020, anggaran jaring pengaman sosial mencapai Rp 203,9 Triliun. Sayangnya, anggaran yang besar tersebut tidak diiringi keseriusan untuk membenahi kualitas data.
Jumlah dana bansos yang masif tentu membutuhkan data yang baik. Permasalahannya adalah, sebagaimana juga sudah saya singgung di tulisan yang lalu, data penerima itu Cuma punya satu pintu masuk, yakni melalui perangkat kel/des, dan proses verifikasi dan validasinya (verivali) diserahkan kepada Pemda sesuai UU 13/2011.
Masalah pintu masuk mungkin tidak bisa diselesaikan cepat karena berkaitan dengan konsep pendataan secara umum, tapi verivali seharusnya bisa diupayakan.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR-RI (17/06) dengan beberapa Kepala Daerah, terungkap bahwa pengalihan tanggung jawab Verivali dari nasional ke Pemda belum diikuti oleh dukungan anggaran yang memadai. Dalam kondisi pandemi di mana anggaran daerah terkuras untuk Covid-19, pengalokasian anggaran tersebut semakin tidak mungkin.
Kemensos sendiri mengakui bahwa sejak verivali nasional terakhir di tahun 2015 hingga kini, terdapat 92 daerah yang tidak pernah melakukan verivali data. 319 kab/kota melakukan verivali maksimal 50%, dan hanya 109 kab/kota yang melakukan verivali lebih dari 50%.
Interpretasi umumnya: sebagian besar data penerima bansos di tahun 2020 menggunakan data yang sama di tahun 2015.
Untuk memutus rantai kesalahan ini, dibutuhkan dukungan anggaran dari Pemerintah Pusat untuk Pemerintah Daerah. Karena percuma saja bansos semakin banyak digelontorkan apabila tidak tepat sasaran.
Masalahnya, dari anggaran Kementerian Sosial tahun ini yang sudah naik dari Rp 62,8 T ke 124,8 T, serta rencana anggaran 2021 sebesar Rp 91 T, Kemensos hanya memberikan pagu Rp 425 Miliar dan usulan tambahan Rp 875 Miliar, sehingga total Rp 1,3 Triliun untuk verivali. Apakah anggaran tersebut cukup?
Kita bisa ambil contoh daerah yang termasuk paling baik dalam melakukan verivali, yakni DKI Jakarta. Dengan daerah yang relatif tidak terlalu luas, DKI mempekerjakan 801 orang tenaga pendamping sosial dengan anggaran Rp 45 Miliar di 2019. Ditambah dengan pengelolaan sistem, pengadaan sarpras data, dll, total anggarannya adalah Rp 52 Miliar.
Melalui benchmarking tersebut, kita bisa menghitung anggaran untuk 514 kab/kota sebesar Rp 4,4 Triliun. Ini adalah anggaran minimal yang diperlukan jika 514 kab/kota dituntut untuk melakukan verivali minimal seperti DKI Jakarta.
Sekalipun kinerja verivali DKI juga bukanlah yang ideal, karena salah data masih marak ditemukan di sana. Selain itu, geografis DKI yang mudah akses dan tertutup daratan juga bukan contoh ideal untuk daerah yang sulit akses dan terpisah lautan. Tapi bagaimana kita bisa menempuh yang ideal kalau standar minimal saja tidak dipenuhi?