BPS baru saja merilis data neraca perdagangan untuk bulan Mei 2020. Tercatat neraca dagang mengalami surplus sebesar US$ 2,09 Miliar, dengan komponen ekspor sebesar US$ 10,53 Miliar dan impor sebesar US$ 8,44 Miliar. Biasanya, neraca yang surplus akan dirayakan. Namun kali ini justru mengkhawatirkan.
Senin kemarin (15/6/2020),Pasalnya, surplus terjadi bukan karena kinerja ekspor-impor membaik. Kedua sektor justru sama-sama terjun bebas, namun penurunan impor terjadi lebih dalam sehingga mampu mencatatkan surplus.
Angka detailnya lebih parah. Ekspor migas mencatatkan US$ 10,52 Miliar, hampir setara angka net ekspor. Memang terjadi kenaikan ekspor migas dibanding bulan April, semata-mata karena sedang ada kenaikan ICP. Namun, kinerja ekspor non migas hanya tercatat US$ 9,58 juta, turun hampir 15% dibanding April. Ini menandakan permintaan produk Indonesia mengalami penurunan tajam, terutama dari Singapura, Jepang, dan AS.
Di sisi impor, penurunan tercatat 32% dibanding April 2020. Memang di antara komponennya ada penurunan impor barang konsumsi sebesar 23%. Namun, impor bahan baku dan barang modal turun lebih dalam lagi, masing-masing 34,6% dan 29%. Ini menandakan industri sudah mulai melambatkan produksi, menyusul rendahnya permintaan akibat pandemi.
Dari data tersebut, terlihat bahwa kita tidak bisa mengandalkan kinerja perdagangan. Dilansir Kompas, UNCTAD dan WTO memprediksi perdagangan dunia tahun ini turun di kisaran 20%.
Kita coba kembali ke pelajaran dasar makroekonomi, di mana komponen GDP terdiri dari 4 bagian: Konsumsi, Pengeluaran Pemerintah, Investasi, dan Ekspor Impor. Ekspor-impor terbukti jeblok. Investor menahan uang untuk Investasi karena butuh likuiditas saat krisis. Pemerintah memang memperlebar defisit, tapi belanja riil juga mungkin tersendat karena fokus memberi stimulus. Oleh karena itu, yang bisa diandalkan hanyalah Konsumsi domestik.
Indonesia memang selama ini bergantung pada Konsumsi domestik. Ini yang menjelaskan kenapa negara kita relatif tahan terhadap krisis finansial yang diimpor. Pada 2019 lalu misalnya, komponen konsumsi rumah tangga mencatat porsi terbesar terhadap GDP, yakni 56,62%. Â Di posisi kedua adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (Investasi) sebesar 32%.
Masalahnya, berdasarkan data Kuartal I 2020, konsumsi hanya tumbuh 2,84%, terkontraksi cukup dalam dibanding 5,02% pada Kuartal I 2019. Selain restoran dan hotel yang bisa kita maklumi mengalami penurunan saat pandemi, sektor makanan dan minuman, serta pakaian dan alas kaki mengalami pelambatan. Penjualan eceran bahkan terkontraksi 2,22%. Padahal, ketiga sektor tersebut biasa kita gunakan sehari-hari.
Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik, satu yang bisa kita lakukan: belanja. Jangan takut belanja, dengan tetap perhatikan protokol kesehatan. Tak perlu jauh-jauh, cukup di warung tetangga atau pedagang kaki lima. Simpan uang secukupnya, sisanya belanjakan sebagaimana kondisi normal, atau bahkan sumbangkan kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan belanja, kita telah menjadi pahlawan negara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H