Mohon tunggu...
Ibrahim Yakub
Ibrahim Yakub Mohon Tunggu... Penulis - Bermain imajinasi

Membaca, menulis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Lensa Artificial Intelligence untuk Valuenomics bagi Generasi

27 Agustus 2024   10:46 Diperbarui: 27 Agustus 2024   10:52 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Foto Ibrahim Yakub,S.E.,M.E (Pegiat kebijakan Publik)

Artificial intelligence bisa dianggap buah karya manusia yang paling penting, sesuatu yang mungkin bisa menyamai penemuan listrik. Setiap memulai mempelajari teknologi baru, maka kita harus berusaha memaksimalkan kemanfaatannya buat umat manusia dan sebaliknya meminimalkan risikonya. 

Kita tentu memiliki kesadaran bersama bahwa hari ini banyaknya tantangan dalam menuju kemakmuran masyarakat, itu karena adanya keterbatasan sumber daya. Jika diamati sebagian besar pengamat, analis baik disisi kebijakan politik, ekonomi maupun yang berkaitan dengan kebutuhan pelayanan publik lebih kecenderungan mendiskusikan ketakutan akan risikonya.

 Dalam diskursus tertentu mengenai Artificial intelligence sebagian pengamat memprediksi bahwa tahun 2035 Artificial Intelligence akan memiliki kemampuan melebihi manusia, lalu di sepuluh tahun akan datang tepatnya tahun 2045 kemampuan itu melebihi satu tingkat dari sebelumnya ketika beberapa manusia yang memiliki kompetensi Artificial intelligence dikumpulkan secara bersama. 

Namun sebelum jauh membahas tahun 2035, kita akan menghadapi apa yang disebut dengan Business Automation pada tahun 2025 (Baca; Ainomics). Fase dimana yang nantinya para milenial hari ini akan memegang peran kunci sebagai pengambil keputusan, sehingga mereka ini harus sangat memahami bagaimana melakukan bisnis di era ini.

 Para milenial yang tercatat sudah mencapai 60% ini bukan saja menjadi generasi yang pasif namun berada sebagai game changer, oleh karena itulah mereka menjadi jargon utama policy maker dalam merebut respon publik. Disamping keberadaan milenial yang dianggap sebagai aktor perubahan ternyata terdapat perbedaan yang dominan atas memandang kehadiran Artificial Intelligence. Perbedaan pandangan terhadap Artificial Intelligence itu tergolong dari kelompok optimisme dan pesimisme.

Kelompok Optimisme Memandang Artificial Intelligence

 Penganut paham Optimisme berpandangan positif terhadap Artificial Intelligence, menurut mereka nilai (Value) akan mengantarkan kehidupan umat manusia menuju kemakmuran. Pandangan ini lebih melihat tentang hasil yang dirasakan oleh konsumen Artificial Intelligence, bukan soal bahan-bahan apa yang digunakan. Harapannya Artificial Intelligence harus memiliki dampak nilai yang tinggi, tidak hanya mengumpulkan data setiap orang dan membuat model dengan teknologi (Baca; Economics Artificial Intelligence).

Rasa Optimisme itu semakin kuat ketika kelompok ini memotret perusahaan besar dan yang telah maju di Bidang Artificial Intelligence di Amerika Serikat Misalnya (Googgle, Microsof, Apple, Facebook, IBM, dan Amazon) membuka komunikasi pasar yang bukan hanya di antara perusahaan yang ada di Amerika Serikat saja, namun membuka diri dengan beberapa perusahaan ternama dan tidak kalah maju Artificial Intelligencenya salah satunya perusahaan yang ada diChina seperti Alibaba, Baidu, dan Tencent. Kolaborasi atau kerjasama ini memiliki tujuan untuk kehidupan lebih baik bagi umat manusia di masa yang akan datang.

Optimisme AI yang berhasil menciptakan nilai tambah sehingga membuat para investor menyediakan pendanaan dalam rangka riset tentang kebutuhan pengembangan AI, peningkatan bisnis yang dirintis maupun akselerasi pasar yang lebih luas. Disisi lain generasi optimis mengamati bahwa AI harus didukung Regulasi yang dilakukan kerjasama oleh pemerintah dan pelaku industri agar mampu menumbuhkan inovasi dan nilai yang dihasilkan.

Kelompok Pesimis memandang Artificial Intelligence

 Kelompok ini pada dasarnya di pengaruhi oleh rasa takut yang dominan dalam melihat kehadiran Artificial Intelligence. Mereka menganggap bahwa munculnya Artificial Intelligence akan menghancurkan proses kehidupan manusia. Sebab mereka meyakini bahwa Artificial Intelligence akan menggantikan hampir semua peran manusia. Terbayang oleh generasi ini bahwa kita akan kehilangan banyak pekerjaan, mereka membayangkan bagaimana eksistensi manusia akan berjalan secara nyata oleh robot di pinggir jalan, dalam mobil, warung kopi, ataukah dalam hal berinteraksi sehingga manusia dalam kondisi tertentu akan kehilangan kendali dan bisa menjadi berbahaya bagi keberlangsungan aktifitas manusia.

 Generasi pesimis ini melihat juga bahwa Artificial Intelligence ini bisa merusak lingkungan dengan banyaknya eksploitasi sumber daya alam yang di manfaatkan dalam rangka untuk memenuhi semua kelengkapan yang butuhkan dalam membuat sistem Artificial Intelligence. Pada akhirnya orang-orang yang memilih tergolong dalam generasi ini berkesimpulan bahwa Artificial Intelligence sangat tidak bermanfaat untuk kemajuan umat manusia di masa depan. Sangat beralasan kuat dengan kesimpulan seperti ini ketika melihat Perusahaan raksasa sebagai pemain digital bersaing satu dengan lain sehingga dalam konteks tertentu mereka saling unggul bahkan ada yang saling membunuh. Tentu pemain digital yang kita kenal di Amerika Serikat bersaing memperebutkan bisnis hanya untuk menjadi pemimpin di Industrinya. Lain halnya berbeda dengan pemain digital Artificial Intelligence di China yang memiliki ambisius yang tinggi untuk menguasai belahan dunia lain di negara Asia.

 Kehadiran dua generasi ini seakan-akan mengkonfirmasi pilihan bagi generasi muda ataukah masyarakat yang berada pada keadaan bimbang untuk menghadapi pesatnya Artificial Intelligence saat ini. Jika dianalisis lebih jauh dari dua golongan generasi diatas memiliki potensi akan melahirkan golongan generasi lainnya yang bisa saja sebut generasi jalan tengah. 

Generasi yang lahir untuk mengambil posisi diantara. Artinya menganggap bahwa AI tidak mempengaruhi apa-apa terhadap kehidupan manusia dimasa depan. Sebab pemerintah bisa mengintervensinya dalam bentuk regulasi untuk mengarahkan AI itu sesuai dengan perannya untuk mengefesiensi kerja-kerja manusia.Namun demikian sebuah kewajaran jika ditengah situasi keterbatasan sumber daya manusia dan krisis ekologi membuat orang ragu bahkan takut dengan hadirnya Artificial intelligence.

 Memandang adanya pergulatan beberapa kelompok generasi diatas, maka tentu kita berharap bahwa Artificial Intelligence ini diletakkan pada kesadaran optimis agar terciptanya Valuenomics yang diinginkan. Valuenomics bisa diartikan sebagai kemanfaatan dari Artificial Intelligence. AI berkembang sampai ke kehidupan pribadi kita tercatat 63% konsumen global tidak menyadari bahwa mereka sekarang menggunakan AI dalam kehidupansehari-harinya. 

Saat ini teknologi di negara maju dan negara berkembang telah menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Sebelum makan main gadget, sebelum kerja bahkan bekerja harus gadget, sebelum dan setelah bangun tidur main gadget. Artinya, Teknologi yang berbasis AI telah menyatu dalam pikiran manusia untuk menemani aktifitas kesehariannya. Dengan demikian masa depan nanti, memungkinkan kita untuk melihat dan memahami dunia dengan cara-cara baru. Olehnya itu mari mengambil pilihan sebagai generasi optimis yang mengutamakan valuenomics dalam penggunaan Artificial Intelligence.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun