Artificial intelligence bisa dianggap buah karya manusia yang paling penting, sesuatu yang mungkin bisa menyamai penemuan listrik. Setiap memulai mempelajari teknologi baru, maka kita harus berusaha memaksimalkan kemanfaatannya buat umat manusia dan sebaliknya meminimalkan risikonya.Â
Kita tentu memiliki kesadaran bersama bahwa hari ini banyaknya tantangan dalam menuju kemakmuran masyarakat, itu karena adanya keterbatasan sumber daya. Jika diamati sebagian besar pengamat, analis baik disisi kebijakan politik, ekonomi maupun yang berkaitan dengan kebutuhan pelayanan publik lebih kecenderungan mendiskusikan ketakutan akan risikonya.
 Dalam diskursus tertentu mengenai Artificial intelligence sebagian pengamat memprediksi bahwa tahun 2035 Artificial Intelligence akan memiliki kemampuan melebihi manusia, lalu di sepuluh tahun akan datang tepatnya tahun 2045 kemampuan itu melebihi satu tingkat dari sebelumnya ketika beberapa manusia yang memiliki kompetensi Artificial intelligence dikumpulkan secara bersama.Â
Namun sebelum jauh membahas tahun 2035, kita akan menghadapi apa yang disebut dengan Business Automation pada tahun 2025 (Baca; Ainomics). Fase dimana yang nantinya para milenial hari ini akan memegang peran kunci sebagai pengambil keputusan, sehingga mereka ini harus sangat memahami bagaimana melakukan bisnis di era ini.
 Para milenial yang tercatat sudah mencapai 60% ini bukan saja menjadi generasi yang pasif namun berada sebagai game changer, oleh karena itulah mereka menjadi jargon utama policy maker dalam merebut respon publik. Disamping keberadaan milenial yang dianggap sebagai aktor perubahan ternyata terdapat perbedaan yang dominan atas memandang kehadiran Artificial Intelligence. Perbedaan pandangan terhadap Artificial Intelligence itu tergolong dari kelompok optimisme dan pesimisme.
Kelompok Optimisme Memandang Artificial Intelligence
 Penganut paham Optimisme berpandangan positif terhadap Artificial Intelligence, menurut mereka nilai (Value) akan mengantarkan kehidupan umat manusia menuju kemakmuran. Pandangan ini lebih melihat tentang hasil yang dirasakan oleh konsumen Artificial Intelligence, bukan soal bahan-bahan apa yang digunakan. Harapannya Artificial Intelligence harus memiliki dampak nilai yang tinggi, tidak hanya mengumpulkan data setiap orang dan membuat model dengan teknologi (Baca; Economics Artificial Intelligence).
Rasa Optimisme itu semakin kuat ketika kelompok ini memotret perusahaan besar dan yang telah maju di Bidang Artificial Intelligence di Amerika Serikat Misalnya (Googgle, Microsof, Apple, Facebook, IBM, dan Amazon) membuka komunikasi pasar yang bukan hanya di antara perusahaan yang ada di Amerika Serikat saja, namun membuka diri dengan beberapa perusahaan ternama dan tidak kalah maju Artificial Intelligencenya salah satunya perusahaan yang ada diChina seperti Alibaba, Baidu, dan Tencent. Kolaborasi atau kerjasama ini memiliki tujuan untuk kehidupan lebih baik bagi umat manusia di masa yang akan datang.
Optimisme AI yang berhasil menciptakan nilai tambah sehingga membuat para investor menyediakan pendanaan dalam rangka riset tentang kebutuhan pengembangan AI, peningkatan bisnis yang dirintis maupun akselerasi pasar yang lebih luas. Disisi lain generasi optimis mengamati bahwa AI harus didukung Regulasi yang dilakukan kerjasama oleh pemerintah dan pelaku industri agar mampu menumbuhkan inovasi dan nilai yang dihasilkan.
Kelompok Pesimis memandang Artificial Intelligence