Mohon tunggu...
ibrahim hasan
ibrahim hasan Mohon Tunggu... -

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan. ibrahimhasan.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasionalisasi Pegawai Negeri Sipil: Mereka Adalah Beban Bukan Aaset Negara

4 Juni 2016   21:44 Diperbarui: 4 April 2017   17:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu terakhir sempat berembus kabar mengenai adanya pemecatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kencang disiarkan berbagai media masa nasional baik cetak maupun elektronik. Tak ketinggalan di sosial media juga banyak beredar tautan situs berita daring mengenai rencana pemerintah melakukan pemecatan PNS dan atau salinan beritanya. Sempat selama beberapa hari terakhir salinan-salinan terkait pemecatan PNS tersebut disebarkan melalui bbm dan/atau whatsapp.

Kemudian baru beberapa hari terakhir ini muncul sebuah salinan klarifikasi dari Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PANRB yang disebarkan melalui sosial media yang isinya kurang lebih mengenai klarifikasi berita pemecatan/dirumahkan bagi PNS di seluruh Indonesia. Lebih lanjut lagi, salinan tersebut menjelaskan bahwa  rencana  rasionalisasi PNS bagi PNS yang kualifikasi dan kompetensinya rendah, serta yang kinerja dan disiplinnya buruk sehingga mengganggu pelayanan publik. Kemudian saya mencari sumber berita tersebut agar mengetahui secara riil sumber beritanya ke situs Kementerian PANRB. Namun, saya tidak menemukan berita atau artikel mengenai berita tersebut. Saya hanya menemukan laporan berita kegiatan Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PANRB dalam Forum Koordinasi, Komunikasi, dan Konsultasi Pendayagunaan Aparatur Negara (FK3PANRB) di Tanjung Pinang, Jumat (03/05) melalui tautan http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4957-rasionalisasi-tidak-identik-dengan-pemecatan-pns yang ada di situs Kementerian PANRB. Terkait sumber berita klarifikasi Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PANRB hanya saya temukan di situs berita daring atau di situs pemerintah provinsi seperti http://www.sumbarprov.go.id/details/news/7828.

Penyebaran Berita Rasionalisasi PNS

Saya selalu berusaha mencari sumber berita yang dapat diandalkan berupa pernyataan resmi yang termuat di situs resmi atau situs pemerintah. Namun sayangnya penyebaran berita tersebut tidak dapat ditelusuri kebenarannya. Tentu Anda masih ingat atau mungkin mengalami penyebaran viral mengenai penerimaan CPNS Tahun 2016 di awal-awal tahun 2016. Hal tersebut sebegitu menyebarnya melalui sosial media sehingga Kementerian PANRB mengeluarkan klarifikasi tertulis yang diunggah di situs Kementerian PANRB mengenai hal tersebut guna menghindari adanya penipuan yang mengatasnamakan Kementerian PANRB atau keresahan masyarakat. Karena ternyata banyak sekali individu yang berharap dapat menjadi PNS.

Analisis Wacana Rasionalisasi PNS dan Potensi Dampaknya

1. Potensi Dampak Ekonomi

      Saat Pemerintahan Presiden Jokowi baru menjalankan pemerintahannya, hampir semua menteri membuat gebrakan yang membuat berita-berita di media massa tidak habis-habisnya kehilangan sumber berita dan cerita untuk disuguhkan kepada masyarakat. Kita ambil contoh yang paling fenomenal adalah penghancuran kapal ikan yang mencuri ikan di perairan kita oleh Menteri Kelautan, penataan stasiun kereta api secara revolusioner oleh Menteri Perhubungan sampai pembatasan-pembatasan kegiatan PNS oleh Menteri PANRB.

      Untuk gebrakan yang dilakukan Menteri PANRB yang paling banyak disorot masyarakat adalah pembatasan acara resepsi PNS yang hanya boleh mengundang maksimal 300 orang undangan serta tidak bolehnya PNS mengadakan acara/kegiatan rapat di hotel-hotel. Ternyata gebrakan tersebut terbukti tidak bertahan, karena banyak hotel yang protes karena pendapatannya menjadi banyak berkurang, jauh berkurang. Seluruh hotel di Indonesia saya rasa sih merasakan hal yang sama selama beberapa bulan kebijakan tersebut diterapkan, karena tidak dapat dipungkiri acara/kegiatan PNS di hotel adalah salah satu sumber pemasukan terbesar di dunia perhotelan Indonesia. Selain itu, ternyata tidak semua kantor PNS memiliki ruang rapat, peralatan rapat seperti meja kursi yang memadai sehingga akan lebih efisien bila menggunakan jasa pihak ketiga seperti hotel, tentu asal tidak melebihi Standar Biaya Umum Pemerintah untuk kegiatan PNS.

      Contoh lainnya yang mungkin mudah di-amin-kan oleh PNS yaitu, saat pemerintah mengumumkan akan menaikkan gaji PNS sebesar 10% sampai dengan 20%, semua harga-harga sudah duluan naik. Misalnya pada bulan Maret pemerintah mengumumkan mengenai rencana kenaikan gaji PNS pada bulan depan atau bulan April nanti sebesar 10%, percayalah di bulan Maret itu juga seluruh harga sudah keburu naik. Padahal gaji naik 10% dari Rp2200.000 (golongan III.a) “hanyalah” sebesar Rp220.000!

      Terkait dengan contoh sebab-akibat “kebijakan terkait PNS” tersebut, apakah tidak juga akan terjadi hal yang sama apabila sebegitu banyak PNS yang dirasionalisasi nantinya? Hal tersebut berpotensi mengakibatkan suatu guncangan sosial bahkan ekonomi. Apabila “baru” salah satu kegiatannya saja yang dilarang (baca: melakukan kegiatan/acara di hotel) sudah menimbulkan gelombang protes dan implikasi ekonomi serius, bagaimana kabarnya nanti dengan rasionalisasi? Apakah dengan diberikan pelatihan sebelum dirasionalisasi dapat mencegah atau menghindari potensi dampak ekonomi yang masif tersebut?

2.  Potensi Ketidakobjektifan Rasionalisasi

      Sebagaimana banyak PNS paham dan mengerti, banyak sekali pegawai honorer yang ada di lingkungan PNS. Bahkan mungkin lebih banyak dari jumlah PNS-nya itu sendiri. Seringkali tenaga honorer itu dimasukkan oleh PNS di kantor itu, terutama yang mempunyai jabatan. Entah kantor itu sebenarnya butuh atau tidak kemampuan, keahlian, atau tenaga si honorer yang dimaksud, yang penting masuk dulu siapa tau nanti diangkat jadi PNS. Hal itu pula yang melatarbelakangi munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2012 yang “menciptakan” istilah tenaga Honorer K1 dan K2, yaitu tenaga honorer yang memiliki pengalaman kerja di lingkungan PNS sebagai honorer tertentu (misal 10 tahun) dapat diangkat langsung menjadi (Kategori 1) atau yang tidak lolos ujian Kategori 1 dapat ikut serta mengikuti ujian seleksi PNS (Kategori 2).

      Apa akibat dari adanya pengangkatan PNS melalui K1 dan K2 tersebut? Terjadi pemalsuan besar-besaran hampir seluruh tenaga honorer atau bahkan yang bukan honorer agar memenuhi syarat K1 atau K2. Banyak Surat Keputusan yang kabarnya dibuat-buat secara bersama-sama agar sama-sama lulus. Apa lacur, dari kebersamaan itu retak saat salah satu teman lulus ujian K2 dan teman yang satu tidak lulus, padahal mereka sama-sama membuat SK Aspal. Akhirnya timbul berbagai pengaduan kecurangan, yang seringnya diadukan oleh si teman yang tidak lulus tersebut karena merasa tidak adil. Tidak adil karena sama-sama SK Aspal, tidak adil karena sebenarnya yang bekerja lebih lama sebagai honorer adalah dirinya sementara yang lulus yang pengalaman kerja honorer baru 3 tahun, dan sebagainya.

      Contoh lain terkait itu adalah promosi dan mutasi di lingkungan PNS. Apakah pengangkatan pejabat atau promosi di PNS pada umumnya karena prestasi atau lebih karena persepsi? Kalau menurut pendapat saya sih pada umumnya masih karena faktor persepsi. Satu hal yang sering saya ucapkan adalah, seandainya kantor PNS (Kementerian/Lembaga Negara) ini adalah klub olahraga apakah itu sepakbola atau basket, maka wajar...sangat wajar memainkan pemain yang itu itu saja, pegawai yang itu itu saja ditugaskan terus. Kenapa wajar? Agar klub tetap meraih kemenangan karena adanya si pemain hebat ini. Lalu apakah kantor PNS ini klub olahraga? Lalu kalau ada pegawai yang malas bekerja, datang terlambat, datang hanya untuk absen, tidak pernah dicari bos, tidak diberi kepercayaan oleh atasan, itu salah? Kalau memang tidak berkompeten, kenapa tidak dipecat dari sekarang, kenapa dipelihara? Kalau memang hanya butuh beberapa pegawai pintar yang bisa diandalkan, pecat saja sisanya bukan? Atau jangan terima tenaga honorer lagi bukan?

      Kalau contoh-contoh itu yang terjadi, sudahkah Kementerian PANRB cq BKN menyiapkan alat yang tepat untuk mengukur keobjektifan rasionalisasi? Jangan-jangan nanti timbul masalah yang lebih pelik dengan rasionalisasi. Karena PNS hampir selalu atau bahkan selalu dianggap sebagai kewajiban, liability, sebagai beban, bukan sebagai aset. Kalau PNS dianggap aset, maka ia harusnya dirawat, dikembangkan, diberikan kesempatan yang sama untuk berkarya. Jadikan andragogi dan pedagogi suatu praktek nyata di kantor PNS, bukan yang senior dan dianggap tidak berharga dirasionalisasi, yang dipersepsikan pintar dibawa yang bodoh dicuekin, akhirnya yang tidak dikenal dirasionalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun