Sebagaimana banyak PNS paham dan mengerti, banyak sekali pegawai honorer yang ada di lingkungan PNS. Bahkan mungkin lebih banyak dari jumlah PNS-nya itu sendiri. Seringkali tenaga honorer itu dimasukkan oleh PNS di kantor itu, terutama yang mempunyai jabatan. Entah kantor itu sebenarnya butuh atau tidak kemampuan, keahlian, atau tenaga si honorer yang dimaksud, yang penting masuk dulu siapa tau nanti diangkat jadi PNS. Hal itu pula yang melatarbelakangi munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2012 yang “menciptakan” istilah tenaga Honorer K1 dan K2, yaitu tenaga honorer yang memiliki pengalaman kerja di lingkungan PNS sebagai honorer tertentu (misal 10 tahun) dapat diangkat langsung menjadi (Kategori 1) atau yang tidak lolos ujian Kategori 1 dapat ikut serta mengikuti ujian seleksi PNS (Kategori 2).
Apa akibat dari adanya pengangkatan PNS melalui K1 dan K2 tersebut? Terjadi pemalsuan besar-besaran hampir seluruh tenaga honorer atau bahkan yang bukan honorer agar memenuhi syarat K1 atau K2. Banyak Surat Keputusan yang kabarnya dibuat-buat secara bersama-sama agar sama-sama lulus. Apa lacur, dari kebersamaan itu retak saat salah satu teman lulus ujian K2 dan teman yang satu tidak lulus, padahal mereka sama-sama membuat SK Aspal. Akhirnya timbul berbagai pengaduan kecurangan, yang seringnya diadukan oleh si teman yang tidak lulus tersebut karena merasa tidak adil. Tidak adil karena sama-sama SK Aspal, tidak adil karena sebenarnya yang bekerja lebih lama sebagai honorer adalah dirinya sementara yang lulus yang pengalaman kerja honorer baru 3 tahun, dan sebagainya.
Contoh lain terkait itu adalah promosi dan mutasi di lingkungan PNS. Apakah pengangkatan pejabat atau promosi di PNS pada umumnya karena prestasi atau lebih karena persepsi? Kalau menurut pendapat saya sih pada umumnya masih karena faktor persepsi. Satu hal yang sering saya ucapkan adalah, seandainya kantor PNS (Kementerian/Lembaga Negara) ini adalah klub olahraga apakah itu sepakbola atau basket, maka wajar...sangat wajar memainkan pemain yang itu itu saja, pegawai yang itu itu saja ditugaskan terus. Kenapa wajar? Agar klub tetap meraih kemenangan karena adanya si pemain hebat ini. Lalu apakah kantor PNS ini klub olahraga? Lalu kalau ada pegawai yang malas bekerja, datang terlambat, datang hanya untuk absen, tidak pernah dicari bos, tidak diberi kepercayaan oleh atasan, itu salah? Kalau memang tidak berkompeten, kenapa tidak dipecat dari sekarang, kenapa dipelihara? Kalau memang hanya butuh beberapa pegawai pintar yang bisa diandalkan, pecat saja sisanya bukan? Atau jangan terima tenaga honorer lagi bukan?
Kalau contoh-contoh itu yang terjadi, sudahkah Kementerian PANRB cq BKN menyiapkan alat yang tepat untuk mengukur keobjektifan rasionalisasi? Jangan-jangan nanti timbul masalah yang lebih pelik dengan rasionalisasi. Karena PNS hampir selalu atau bahkan selalu dianggap sebagai kewajiban, liability, sebagai beban, bukan sebagai aset. Kalau PNS dianggap aset, maka ia harusnya dirawat, dikembangkan, diberikan kesempatan yang sama untuk berkarya. Jadikan andragogi dan pedagogi suatu praktek nyata di kantor PNS, bukan yang senior dan dianggap tidak berharga dirasionalisasi, yang dipersepsikan pintar dibawa yang bodoh dicuekin, akhirnya yang tidak dikenal dirasionalisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H