Mohon tunggu...
Ibrahim Arsyad
Ibrahim Arsyad Mohon Tunggu... -

Biasa menulis di beberapa media lokal kalbar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Kemajuan Bangsa

20 Februari 2017   23:30 Diperbarui: 21 Februari 2017   00:45 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa ketika kita ingin menilai sejauh mana keberhasilan bangsa dalam membangun, terlalu picik jika hanya dinilai dari pertumbuhannya dalam segala aspek dibandingkan tahun sebelumnya, karena semua pemerintahan hal itu merupakan keniscayaan. Seharusnya parameternya adalah kemajuan negara-negara lain di dunia. Jika kita maju 1 langkah, negara lain maju 7 langkah, maka secara akumulasi setiap tahunnya, kita akan semakin tertinggal. Tahapannya mesti jelas, misal tahun pertama kita maju 3 langkah, negara lain 7 langkah, tahun berikutnya kita maju 5 langkah, negara lain 7 langkah, tahun berikutnya kita maju 7 langkah, negara lain 7 langkah, tahun berikutnya kita maju 9 langkah, negara lain 7 langkah. Inilah gambaran sederhana kita bisa mengukur maju tidaknya negara kita.

Saya ambil contoh yang bisa direnungkan dari meminjam Motto Bupati Pertama Kabupaten Kubu Raya, Muda Mahendrawan; “Berlari Lebih Kencang, Berproses Lebih Cepat, Bertindak Lebih Nyata”. Saat ini, boro-boro kita mau pikirkan itu, disaat Rezim justru terapkan MANAJEMEN KONFLIK di negaranya sendiri. Sebuah keinginan menjadikan Rezim kuat (hanya rezimnya, bukan negara maupun rakyatnya) tetapi caranya salah kaprah, amburadul, kacau balau, merusak segala tatanan yang sudah baikpun ikut dirusak. Karenanya saya berani katakan Rezim Gagal Total . Memaksakan kehendak suatu paham, menang-menangan dan sangat jauh pijakannya dari kebenaran yang sesungguhnya.

Apalagi yang terjadi norma yang dipakai sangat jauh dari kaidah kebenaran yang sesungguhnya. Fakta membuktikan dengan banyaknya contoh; jika teman/kroni/konco, maka salahpun diupayakan benar, dibela mati-matian dengan segala cara baik halal-haram-hantam, sementara jika oposan/lawan politik, maka benarpun diupayakan dicari-cari kesalahannya dan dianggap salah, bahkan ulama yang dihormatipun tega dikriminalisasi. Padahal jelas, dalam dasar negara Pancasila, sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya semestinya religiusitas menjadi hal yang sangat dikedepankan dan dipegang teguh. Di sinilah, nyata bahwa yang seharusnya menjadi paradigma ditinggalkan.

Dalam situasi tatanan baik diacak-acak, bagaimana mungkin sebuah pemerintahan bisa berjalan dengan tenang, bebas konflik, kuat, terpercaya. Bahkan yang sedemikian mirisnya adalah, ketika makna “citra” yang sesungguhnya nama baik, menjadi rusak. Dulu, pencitraan adalah hal yang baik,karena memaparkan yang dilakukan seorang tokoh. 

Namun tatkala pentolan Rezim menggunakan pencitraan untuk menampilkan yang seolah dikerjakan (tidak sesungguhnya, tipu-tipu atau kebohongan), maka makna kata pencitraan kini konotasinya menjadi negatif. Lebih parah lagi akibatnya (saya yakin pangkalnya dari situ), kini pemberitaan media menjadi susah mana yang bisa dipercaya dan mana yang hoax, apalagi media mainstream yang dibesarkan dari kerja keras reporternya, telah berubah, lupa bahwa fairness-objective-transparant adalah yang menjadikan trust/terpercaya berita-beritanya, kini nyata-nyata berpihak kepada yang berani membayar dengan nilai tinggi. Bukan lagi penyambung suara rakyat, tetapi corong penyempal bayaran.

Sebuah negara akan stabil jika ketentraman rakyatnya terjaga dan faktanya Rezim ini melupakan itu, lupa bahwa untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik mesti menjaga itu. Jadi “nonsens” untuk sebuah upaya “Berlari lebih kencang, Berproses lebih cepat, Bertindak lebih nyata. Lupa kepada kearifan lokal adalah apa-apa yang menjadi tradisi bangsa seperti tradisi religius, gotong-royong, musyawarah mufakat, keadilan, kemanusiaan yang semuanya sudah jelas-jelas tercover dalam dasar negara Pancasila. Yang ada justru merawat dendam dan manampilkan tipu-tipu/kebohongan.

So, rapat kabinet terbatas dengan pesan agar mendongkrak brand image Indonesia yang keteter jauh dari negara-negara lain di dunia, bahkan di bawah Thailand tanpa pesan-pesan tahapan konsepnya, karena memang gak punya konsep alias “NOL BESAR KONSEP” adalah pesan-pesan pepesan kosong.

IBRAHIM ARSYADG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun