Menjadi bankir syariah memberikan nilai lebih daripada sekadar berbisnis.
Ketika dipindah ke unit syariah, Rukmana dinasehati para rekan kerjanya di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bank Jabar (kini menjadi Bank Jabar Banten).“Teman-teman di kantor berkata bahwa saya harus sabar dipindah ke syariah. Seolah syariah adalah tempat buangan”, kata Rukmana. Itu terjadi sekitar awal 2000. Pada Mei 2000 Rukmana menjabat Kepala Divisi Syariah Bank Jabar.
Sebagai “orang buangan”, kantor Divisi Syariah Bank Jabar terpisah dari kantor utamanya, sehingga jika ada pemberitahuan rapat, para karyawan BJBS tidak diberitahu. Makanya, selama di divisi syariah, Rukmana mengaku jarang ikut rapat dengan induk konvensionalnya.
Meski dianggap orang buangan, Rukmana mengaku amat menikmati. Sehingga ketika direksi BPD Bank Jabar memutuskan dia dikembalikan ke induk konvensional pada 2006, Rukmana menolak.
Mendoakan Nasabah
Waktu berlalu, ketika Ahmad Heryawan terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat, perhatian terhadap divisi syariah Bank Jabar yang telah menjadi Divisi Syariah Bank Jabar Banten (BJB) meningkat. Seringkali dalam rapat dengan Gubernur sebagai pemilik BJB, Gubernur menanyakan kinerja divisi syariah. Hingga akhirnya BJB mengajukan perizinan spin off dari UUS menjadi BUS dan itu disetujui Gubernur.
Kini Rukmana adalah Ketua Tim Counterpart Spin Off Unit Usaha Syariah (UUS) dan Pendirian Bank Umum Syariah (BUS) Bank Jabar Banten (BJB). BUS Bank Jabar Banten Syariah (BJBS) sendiri kabarnya akan mulai beroperasi pada Februari 2010.
Menjadi bankir syariah sejak 2000 memberi pemahaman tersendiri bagi Rukmana. Ini salah satu penuturannya, “Di bank konvensional, kita berpikir cari keuntungan setinggi-tingginya. Bisnis itu keuntungan. Berbeda dengan syariah. Yang dikejar adalah manfaat untuk orang lain. Di konvensional, terdapat kreditur dan debitur, orang yang punya dan tidak punya uang. Jika tidak mampu bayar, akan dilakukan sita. Di bank syariah, berlaku pola kemitraan. Kami berusaha bersama-sama dan mengerjakan pemahaman syirkah. Keuntungan hanyalah dampak. Dalam prosesnya, kami selalu berdoa semoga nasabah kami mendapatkan rezeki yang berlimpah. Dengan demikian, dia bisa membayar pembiayaan dan akhirnya bank memiliki pendapatan”.
Ada Nilai Lebihnya
Bankir syariah berbeda dengan bankir konvensional. Jika bankir adalah pucuk-pucuk sebuah kantor bank, baik pusat maupun cabang, di level staff pun begitu, berbeda antara yang konvensional dan yang syariah.
Perbedaan itu, seperti dikatakan Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), A. Riawan Amin menilai, bankir syariah setidaknya harus menguasai tiga hal: knowledge, skill, dan attitude. “Ada yang lebih tajam lagi, yaitu talent. Knowledge bisa diberikan di kelas, skill bisa dipraktikan (di bank syariah—red) apalagi yang sudah di perbankan sebelumnya. Yang krusial adalah attitude-nya, bagaimana ia memandang ekonomi syariah, serius atau sekadar saja”, kata Riawan menjelaskan.
Dengan perbedaan tersebut, menjadi bankir syariah memberikan hikmah tersendiri. Misalnya yang diakui didapat Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia (BMI), Arviyan Arifin setelah hijrah dari bank konvensional ke bank syariah. Ia mengatakan, “Saya mendapat ketenangan bekerja, itu jelas. Saya tidak lagi ragu tentang tempat saya bekerja karena sesuai dengan agama saya. Lainnya, secara tidak langsung saya merasa memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan nilai-nilai ekonomi syariah, sehingga ini menjadi satu ladang ibadah dan agama, untuk mensyiarkan ekonomi Islam”.
Moralitas Para Bankir
Banyak kalangan menilai, krisis keuangan global sejak 2008 terjadi karena ambruknya moralitas para pelaku keuangan. Di level internasional, seorang bankir besar, Chairman HSBC Global, Stephen Green mengatakan, tidak ada pembenaran atas kesalahan yang telah kita (para bankir—red) lakukan hingga menyebabkan krisis keuangan dunia. Dalam bukunya, Good Value: Reflections on Money, Morality and an Uncertain World (2009), ia memaparkan sejarah keuangan global dan menawarkan kode etik dan moral baru untuk sistem keuangan global.
Apa sih sebenarnya yang salah dari moralitas keuangan kapitalis? Mungkin jawaban yang paling umum adalah, bonus bagi para bankir. Stephen Green adalah bankir salah satu bank terbesar di dunia yang tentu saja menikmati bonus keuangan sangat besar. Ia sendiri menilai faktor bonus ini telah menciptakan fokus keserakahan jangka pendek di kalangan para bankir global. Setidaknya satu dekade terakhir, menurut Green, bonus bagi para bankir lebih mirip pertaruhan satu arah. Para bankir tidak lagi peduli apakah bisnis bank yang dijalankannya untung atau rugi di jangka panjang. Mereka tetap meminta bonusnya dibayarkan tunai.
Banyak analis mengatakan sebagian besar bonus dibuat tanpa perhitungan yang adil. Bahkan berbeda untuk tiap bankir. Dan itu dibuat di atas perhitungan penerimaan secara akuntansi di buku semata, bukan cash flow, apalagi uang dalam artian sebenarnya. Bonus dicatatkan berdasarkan profit di masa depan yang dicatatkan. Itu pun profit atas transaksi derivatif. Martin Taylor, mantan CEO Barclays di Financial Times pernah menulis bahwa fenomena ini menjadi seperti wajar saja. “Membayarkan 50% dari pendapatan bank kepada para bankirnya menjadi biasa, bahkan semacam aturan. Meskipun, pendapatan tersebut tidak benar-benar berbentuk uang.”
Butuh Lebih Banyak SDI
Kembali ke dalam negeri. Bank syariah kian marak sejak 2008. Sejak Januari 2009, bank-bank syariah baru memang dikatakan bakal lahir di Tanah Air. Presiden Direktur Karim Business Consulting (KBC), Adiwarman Karim menyebut setidaknya ada sembilan bank syariah baru di 2009, yaitu BCA, BNI, NISP, Bukopin, Victoria, Bank Panin, dan tiga lainnya diperkirakan dari investor Timur Tengah. Kabar lainnya menyebut Bank Jabar Banten Syariah dan Bank Sinar Mas Syariah.
Bank syariah tampak lebih marak sejak 2008. Hingga akhir Desember 2009, telah beroperasi bank-bank syariah baru. Mereka adalah Bank Syariah Bukopin (BSB), unit usaha syariah (UUS) NISP, UUS Sinar Mas, dan Bank Umum Syariah (BUS) Panin Syariah. Di 2010, Adiwarman Karim dalam Islamic Banking and Finance Outlook 2010 di Universitas Azzahra, Jakarta, 5 Desember 2009 lalu menyebut setidaknya ada lima BUS yang bakal muncul di 2010. Mereka adalah BNI, Bank Jabar Banten Syariah, BCA, Victoria, dan Maybank. Jika pada 2009 terdapat enam BUS dan 25 UUS, di 2010 diperkirakan menjadi 11 BUS dan 23 UUS.
Bank-bank syariah tersebut butuh sumber daya insani (SDI). Kepala Biro Penelitan, Pengembangan dan Pengaturan Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS BI), Dr. Mulya Effendi Siregar dalam sebuah seminar tentang SDI perbankan syariah pada Oktober 2009 memaparkan data perkembangan SDI dibandingkan jumlah kantor. Tabelnya di bawah ini:
Tahun
Jumlah SDI
Growth
Jumlah Kantor
Growth
2005
4959
22%
415
17%
2006
5710
15%
531
28%
2007
6577
15%
594
12%
2008
9171
39%
822
38%
Dari data di atas, pertumbuhan SDI bank syariah rata-rata pertahunnya
dalam 4 tahun terakhir sebesar 22,8%. Pertumbuhan ini terserap semuanya oleh
jumlah kantor yang bertumbuh dalam 4 tahun terakhir sebesar 23,8%. Jika ingin lebih bertumbuh lagi kantor bank syariahnya, tentunya diperlukan SDI lebih banyak. Berdasar jumlah aset, kantor cabang, dan total aset pada Desember 2008, Mulya kemudian memproyeksikan jumlah jaringan kantor dan SDI (tidak termasuk BPRS) pada 2010 masingmasing mencapai 1.430 kantor dan 16.561 SDI. Merujuk pada perkiraan
ini, berarti terdapat kekurangan sekitar 10.000 SDI.
Nah, berarti peluang menjadi SDI perbankan syariah terbuka luas, tertarik?
(Topik "Beyond Bankers" dalam bahasan lebih luas daripada yang di atas juga ditulis di majalah Sharing, inspirator ekonomi dan bisnis syariah, edisi Januari 2010).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H