Belasan tahun lalu KH. Ali Yafie mengeluarkan gagasan yang disebut “Fiqih Sosial”, kemudian disusul oleh Prof. DR. Amien Rais dengan “Tauhid Sosial”. Saat ini izinkan saya membuat artikel sederhana tentang “Bid’ah Politik”.
Pengertian sederhana bid’ah adalah melaksanakan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh dari kanjeng Nabi Muhammad. Istilah bid’ah masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan sesat mutlak, ada yang berargumen berpahala jika sesuatu yang baru itu baik untuk masyarakat.
Lantas apa yang disebut dengan bid’ah politik? Tentu adalah sesuatu yang baru yang tidak dicontohkan pada kehidupan perpolitikan, khususnya di Indonesia. Dan saya melihat PKS adalah partai yang hobi menciptakan sesuatu yang baru dalam dunia politik di tanah air. Berikut adalah bid’ah yang dilakukan PKS di blantika perpolitikan nasional.
Pertama, Pergantian pimpinan tanpa ribut
Harus diakui, sejak orde baru pergantian pucuk pimpinan partai politik apapun senantiasa diwarnai oleh perdebatan sengit yang disusul dengan keributan dan perpecahan. Kita masih ingat ketika Suryadi terpilih sebagai Ketua PDI (tanpa perjuangan), kubu Megawati melawan dan terbentuklah PDI (plus Perjuangan).
Di zaman reformasi pun demikian, hasrat petinggi Partai Golkar yang ingin menduduki kursi tertinggi gagal akhirnya membantuk partai baru. Bayangkan empat pentolan PG, Prabowo, Wiranto, Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie berpisah. ARB tetap dengan PG, Prabowo mendirikan Partai Gerindra, Wiranto membentuk Partai Hanura dan Surya Paloh membangun Partai Nasdem.
Penyakit perpecahan tidak saja menjadi monopoli tokoh nasional, di daerah pun demikian. Banyak bermasalah hanya gara-gara pengurusnya tidak terpilih sebagai ketua umum atau tidak dicalonkan menjadi kandidat anggota dewan. Dan ujungnya pindah perahu dan ‘membocorkan’ badan perahu lama yang (padahal) pernah dinaiki bersama.
Sedang di PKS, pergantian pimpinan berjalan halus dan tenang. Tidak ada kubu-kubuan. Tidak ada gebrak meja dan tidak ada baku pukul, juga tidak ada uang yang bertebaran. Mekanisme musyawarah masih menjadi pegangan kuat untuk memutuskan apa saja. Mungkin awalnya ada silang pendapat, namun ketika keputusan sudah diketok, semua saling memikul tanggung jawab untuk mensukseskan hasil keputusan.
Ini adalah sesuatu yang baru (bid’ah) dalam perpolitikan Indonesia. Sebelumnya rakyat belum pernah menyaksikan gaya perpoltikan yang adem ayem sebagaimana yang ditunjukan oleh partai bernomor 3 ini.
Kedua, Pasca kampanye, lapangan tetap bersih
Mungkin dari zaman orde lama, kampanye selalu saja meninggalkan sampah yang berserakan di mana-mana. Sayangnya sifat buruk itu masih dipertahankan saat kampanye parpol di era orde baru bahkan sampai sekarang. Hampir setiap parpol yang berkampanye tidak saja meninggalkan cerita perih masalah kotornya lapangan, ada juga penjual yang merasa rugi karena dagangannya tidak dibayar dan kenyamanan kuping warga yang terganggu karena suara bising knalpot.