Mohon tunggu...
Ibnu Syahri Ramadhan
Ibnu Syahri Ramadhan Mohon Tunggu... -

Seorang anak kampung yg rentan bahaya globalisasi, gemar jalan-jalan dan makan-makan, dan juga fans setia Arsenal. Mengelola blog www.ibnusyahri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Identitas Kita Sebagai Muslim

3 Agustus 2010   11:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:20 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi seorang muslim itu adalah tanggung jawab, sebab setelah kalimat syahadat di ikrarkan maka konsekuensi selanjutnya adalah menjadi muslim yang utuh. Ini adalah keputusan final, sebab bila kita masih gamang dengan identitas sebagai muslim, kita tidak akan pernah paham akan makna “kepastian”. Kepastian hari akhir, kepastian negeri akhirat atau kepastian akan janji-janji Allah. Singkatnya, semakin kita mengenal hakikat hidup sebagai seorang muslim, semakin kuatlah pendirian hidup ini.

Berawal dari memahami akan makna “kepastian” itu pulalah, seorang yang sebenar-benarnya muslim yakin benar bahwa setiap keputusan hidupnya akan berujung pada kabaikan, ia tidak lagi ragu. Meskipun di hadapkan pada pilihan yang sulit, Ia tetap mampu menentukan pilihan dan setiap keputusan hidupnya itu tak sedikitpun mencederai identitasnya sebagai seorang muslim. Seolah-olah melihat surga, seperti itulah kayakinan yang dimilikinya.

Lihatlah, bagaimana Sayyid Quthb menentukan pilihannya sebagai seorang muslim sejati, saat diujung maut sekalipun ia tetap mampu bersikap tegas, mempertahankan keimanannya.

“jari telunjukku yang setiap hari bersaksi akan ke Esaan Allah, terlalu hina untuk menulis suatu pengakuan yang tak pernah aku lakukan. Bila aku dihukum secara benar, aku rela dihukum dengan kebenaran. Bila vonis dijatuhkan secara batil, aku terlalu hina untuk meminta belas kasihan dari penguasa batil”.

Ini adalah kalimat ketegasan yang tak biasa, dan tidak serta-merta terucap begitu saja. Ada energi besar yang menggerakkannya, energi itu mampu menentramkan hati, menguatkan jiwa, menumbuhkan keberanian. Energi besar itu adalah energi tauhid.

Kita semua mengerti, bahwa awal menjadi seorang muslim itu adalah syahadat, kalimat ikrar ini menjadi penting sebab dia keputusan hati. Setelah itu energi tauhid akan hadir. Namun, tidak semua orang memiliki Kadar energi tauhid yang sama. Intensitasnya sangat bergantung seberapa besar komitmen kita menjadi muslim sesungguhnya. Oleh karena itu, orang-orang yang malu menunjukkan identitasnya sebagai seorang muslim adalah mereka yang komitmen keislamannya dipertanyakan.

Ada satu hal yang menarik kala kita menjadi muslim sesungguhnya, kita akan menjadi lebih siap serta bertanggung jawab atas setiap akibat dari keputusan hidup yang telah dipilih. Dan menariknya lagi, hanya dengan menjadi muslim sejati pula kita akan menikmati seni mencintaiNya dengan luar biasa.

Seni mencintai yang luar biasa itu adalah kala kita mampu mengkombinasikan dua perasaan. Harap dan takut menjadi sebuah kekuatan. Pada satu sisi kita merasakan bahagia yang tak terkira karena memiliki Robb yang tak pernah henti mencurahkan kasih sayangNya. Lalu, pada sisi lainnya kita juga memilki rasa takut akan azabNya, perasaan takut yang menjaga batas-batas setiap tindakan yang dapat merusak identitas kemusliman kita.

Seni mencintai seperti ini hanya dimiliki oleh mereka yang tak lagi gamang pada identitas dirinya sebagai seorang muslim. Seperti yang dikiaskan Sufyan bin Uyainah: “segala sesuatu bila kamu takuti kamu akan lari menjauhinya. Kecuali takut kepada Allah justru harus mendekat kepada-Nya”

Keputusan-keputusan hidup seorang muslim terkadang sulit dicerna, disaat ada kesempatan untuk berfoya-foya, ia memilih hidup sederhana. Kala orang berlomba-lomba mengejar popularitas ia memilih tawadhu. Begitulah, meski peluang untuk kemaksiatan terbuka lebar, ia tegas tidak memilihnya.

Memang seperti itulah semestinya seorang muslim, muslim yang benar. Bahwa mereka memiliki standar hidupnya sendiri. Standar hidup ini tidak dilihat dari sisi keduniaan saja, ada penilaian lain yang lebih mereka utamakan yaitu keridhaan Allah. Kemudian, bukti akhir bahwa kita telah menjadi muslim yang benar adalah taqwa. Yang selanjutnya tercermin dari sikap dan prilaku kita sehari-hari.

Seperti pernyataan Rasulullah “seorang muslim mungkin saja penakut, tapi tidak mungkin berbohong”. Ia mengerti betul mengapa ia mesti jujur, sebagaimana ia mengerti mengapa ia harus teguh dalam keimanannya. Bahkan ketika nantinya ia dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang sulit . ia tetap menguatkan sisi keyakinannya itu, sisi keyakinannya sebagai seorang muslim.

Oleh karena itu menjadi muslim itu harus totalitas hanya untuk Illahi Robbi, bukankah Allah juga telah menegaskan dalam Al quran bahwa bila kita ingin kebahagiaan yang hakiki hendaklah kita menjadi muslim yang sempurna (kaffah). Sehingga menjalani syariatNya bukan lagi beban melainkan sebuah kenikmatan hidup. Sebab, itu telah menjadi bagian dari seni mencintai yang luar biasa tadi.

Bila telah demikian, persoalannya sekarang bukan lagi seperti apa peran kita di dunia ini. Aparat hukum, dokter, mahasiswa, orang kecil atau buruh sekalipun. Asalkan kita komitmen menjadi muslim yang benar, maka kita akan merasakan betapa nikmatnya hidup dengan seni mencintaiNya yang luar biasa itu.

Allah itu Maha Benar, setiap janjiNya pasti akan dipenuhi. Maka, hal apa lagi yang kita kekhawatirkan menjadi seorang muslim. Tak perlu kita risau atas apa yang memang benar hak kita, sebagaimana pula kita tidak perlu resah atas apa-apa yang memang bukan menjadi hak kita. Karena itulah, Mereka yang istiqomah menjadi muslim yang sejati tidak akan pernah kesepian. Mereka akan lebih dikenal di langit meskipun tidak dikenal di bumi.

“Dia(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam Al Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kamu pada tali agama Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong”. (Q.S. Al Hajj :78).

Ulee Kareng, 2 Agustus 2010

Pukul 11:37 WIB.

(saat kerinduan hadirnya Ramadhan, semakin tak tertangguhkan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun