Tinggal glanggang colong playu adalah peribahasa Jawa yang arti mudahnya adalah perilaku meninggalkan tanggung jawab. Peribahasa itu saya tahu ketika masa di mana Soeharto dituntut untuk mundur dari kursi presiden yang ia duduki lebih dari 30 tahun.
Alasan Soeharto tidak mau segera turun dari kursi presiden karena merasa dirinya masih banyak memiliki “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan.
Benar atau tidak alasan Soeharto, memang pada saat itu Indonesia sedang dilanda berbagai krisis, terutama krisis ekonomi di mana nilai rupiah terhadap dollar Amerika angkanya sangat tinggi. Alasan Soeharto tidak digubris oleh rakyat Indonesia sehingga ia pun harus dilengserkan.
Saat ini peribahasa itu sedang mengarah ke Joko Widodo alias Jokowi. Menurut beberapa survey nama Jokowi senantiasa nangkring di posisi teratas. Itu artinya (menurut survey) jika Jokowi berlaga di pemilihan presiden, kesempatan untuk menjadi presiden sangat terbuka lebar.
Jika benar gubernur Jakarta itu berlaga di pilpres, maka sejatinya ia sedang meninggalkan banyak persoalan yang masih mangkrak. Janji-janji kampanyenya belum ada yang terealisasi secara sempurna namun sudah harus bersiap meninggalkan demi jabatan yang lebih bergengsi.
Tidak itu saja, kepemimpinan Jokowi pun belum memberikan solusi nyata untuk mengatasi permasalahan ibu kota. Sebut saja banjir. Jika pemimpin Jakarta sebelumnya menemukan penyakit akut ini setahun sekali, di masa Jokowi justru setiap kali turun hujan, ibu kota dilanda banjir. Bisa masuk pemukiman atau setidaknya di jalan raya.
Selain itu persoalan Bus transJakarta bukan saja busnya banyak yang mogok dan terbakar, namun ada indikasi korupsi dalam pengadaannya. Meski sampai kini nama Jokowi dalam kondisi aman, namun tidak menutup kemungkinan akan diseret KPK untuk ikut bertanggung jawab.
Tentu partai pengusung dan pendukung Jokowi tidak ingin mantan walikota Solo itu harus berurusan dengan KPK saat masa pencapresan. Saat ini KPK masih mengumpulkan bahan dan keterangan terkait pengadaan armada bus TransJakarta. Kemungkinan nama Jokowi tersangkut sangat bisa, karena tidak mungkin anak buah bertindak tanpa arahan dari bossnya.
Dan rakyat pun tentu tidak ingin memiliki presiden yang baru dilantik langsung berurusan dengan lembaga pemberantas korupsi.
Saran saya, Jokowi, jangan terlena dengan buaian karena kapasitasmu memang belum layak. Uruslah Jakarta. Masih ada persoalan yang harus anda pertanggung jawabkan. Untuk PDIP jangan gegabah capreskan Jokowi. Taruhan PDIP terlalu besar untuk majukan Jokowi karena ada efek negative dengan masa depan PDIP pasca 2014.
Nama wangi SBY dihembuskan oleh media. Dan sebaliknya SBY pun ditenggelamkan oleh media. Saat ini Jokowi harum juga karena pencitraan yang booster oleh media, namun tidak berapa lama lagi akan dikotori oleh media juga. Gak percaya? Tunggu tanggal mainnya. Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H