Pagi yang mendung. Awan tampak buram. Sebentar lagi pasti akan turun hujan. gumam Baso. Sementara itu situasi masih sama. Pikirannya berkecamuk menjadi takkaruan. Beku dan membingungkan. Andra yang dari tadi menyiapkan sarapan mie rebus angkat bicara. bagai mana dengan beasiswamu? tanya Andra. Katanya hari ini pengumumannya di Koran. Jawab Baso sambil berjalan keteras rumah menunggu Dg. Tawang, loper Koran yang biasa lewat.
Matanya mulai sayu, kakinya hampir tak kuat lagi menahan beban tubuhnya yang kian menua. Diusia senja dengan menggunakan sepeda singkingnya ditemani gerimis yang mulai turun pagi itu tak menyurutkan semangatnya, suaranya sayup terdengar koran, koran, koran. Berharap ada yang tertarik membeli korannya. Koran ta’ daeng. seru Baso pada Dg. Tawang. Halaman utama berisi tentang persiapan Kongres Luar Biasa PSSI di Kota Solo. Selanjutnya dia mencari pengumuman beasiswa program kesenian dan budaya. Tulisan kecil di pojok kiri atas “lihat pengumuman Beasiswa Kesenian dan Budaya 2011 halaman tujuh” segera Baso membuka halaman tujuh, deretan nama itu dia perhatikan dengan seksama. Baso Andika nomor urut lima.
Lulus. Baso yang mengikuti seleksi beasiswa megister yang dilaksanakan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata akhirnya berhasil bergabung kedalam 28 orang yang terpilih se-Indonesia. Kembali sebuah dilema menghampirinya apakah melanjutkan karier di sanggar LOSARI (lorong seni anak penjara suci) yang telah dia dirikan bersama teman-teman seniman yang lain ataukah melanjutkan pendidikan sebagai bekal masa depan. Terasa sulit untuk meninggalkan kota ini,prahara Baso pagi itu. Di temani secangkir kopi dia berusaha berfikir jernih. Diluar hujan semakin derasfikirannya masih buntu dan membingungkan. Baso akhirnya bangkit dan menuju ke dapur.
Terima saja Baso tawaran itu, ini juga untuk kebaikan kita semua. Waktu tiga tahun itu pasti tak terasa jika kamu sudah menjalaninya. Kata Andra yang juga teman sanggar sekaligus sahabat terbaiknya. Rasanya sulit, jawab Baso singkat. Gara-gara Tenri lagi, lupakan saja dia. jawab Andra ketus. Baso langsung berdiri dan menuju kamarnya dia mengambil secarik kertas ungu dari Tenri. Baca ini. Kata Baso.Andra mengambil dan membaca kertas itu.
Hanya gara-gara kertas ini kamu enggan pergi. Semua orang bisa menulis kata-kata seperti ini. Baso, Tenri belum tentu memikirkan masa depanmu. Ujur Andra. Saya masih bingung, tapi jika itu yang terbaik saya akan terima tawaran itu kawan. Imbuh Baso.
* * *
Jadwal keberangkatan tiga hari lagi. Semuanya sudah siap, banyak diantara teman-temannya yang memberikan ucapan selamat kepada Baso tak lupa juga dia menyempatkan mengirimi Tenri pesan singkat ke hendphonenya. Tiga hari lagi saya akan berangkat ke Jogja, semua akan baik-baik saja. Tak ada balasan darinya. Akhirnya sehari sebelum keberangkatannya Baso pergi kerumah Tenri dengan ditemani scooter bututnya dia berharap dapat bertemu dengannya sebelum dia berangkat.
Semua sia-sia saat dia mengetuk pintu itu dan yang keluar adalah Ibunya. Belum sempat Baso bertanya dia sudah mendapatkan jawaban dari Ibu Tenri, Tenri tidak ada di rumah. Hentakan pintu itu isyarat pengusiran. Baso berjalan limbung meninggalkan rumah itu. Sekali lagi dia menengok menatap jendala kamar atas. Berharap ada seberkas wajah yang dia cari untuk menatapnya yang terakhir kali sebelum dia berangkat. Tak ada isyarat dia akan muncul, selamat jalan Tenri. Gumam Baso.
* * *
Saat lepas landas, deru pesawat terdengar memekikkan telinga. Baso yang berhasil mendapatkan beasiswa berangkat menuju Kota Jogja. Jauh untuk sebuah jarak perpisahan. Diatas ketinggan terlihat Kota Makassar berpetak-petak mengecil hingga akhirnya tak terlihat lagi. Baso menutup mata dan menarik nafas yang dalam sambil bergumam Aku akan kembali lagi untukmu Tenri. Banyak harapan yang terpendam dalam hatinya. Berharap suatu saat nanti dia bisa menjadi orang sukses agar mampu merubah nasib keluarganya.
Hidup jauh di tanah rantau banyak mengajari makna hidup kepada Baso. Setiap kenangan yang tersisa tentang kampung halamannya dan kisah cintanya yang dulu kini tak lagi menjadi beban terpendam. Dengan sendirinya semua itu menjadi kabur. Di Kota Budaya Jogja yang menjadi pilihan Baso untuk melanjutkan pendidikannya telah berhasil mengembalikan semangat hidupnya. Berkenalan dengan seniman besar semakin memantapkan ilmunya. Sedikit banyaknya dia belajar otodidak pada seniman-seniman tersebut. Apa lagi saat dia bertemu dengan Bella, wanita Jogja asli yang tinggal di samping wismanya. Wajah khas jawa ditambah dengan sifatnya yang sederhana, ramah, anggun dan penuh kelembutan membuat para lelaki jatuh hati. Tapi tidak untuk Baso, biar bagaimanapun Tenri tetaplah yang terbaik untuknya meskipun terkadang saban hari mereka terus bersama dengan setianya Bella mengantar Baso keliling Jogja dengan sepeda ontel yang biasa disewakan di alun-alun kota. Bella juga biasa membantu memasakkan makanan jika Baso sibuk. Mereka berdua sudah seperti saudara.
Kesibukan kuliah dan kerja tidak membuat Baso lupa dengan rumahnya. Keeksotikan kampung halaman memaksanya untuk merindu. Malino dengan pucuk pinusnya, Barugaya dengan keindahan alamnya yang masih terjaga, Bira dengan pantainya. Tana Toraja dengan budayanya yang mendunia. Rindu pada kampung halaman, kata Baso pada dirinya sendiri. berita menggembirakan datang. Akhir ramadhan nanti ada libur dua pekan. Jika sempat Baso berencana pulang kampung untuk melepas rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H