Mohon tunggu...
Ibnu Sina
Ibnu Sina Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa, Penulis

Bertamasya dalam Keindahan Palung Social-Science

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Trilogy: Hakim, Hukum, Hikam

29 April 2020   19:57 Diperbarui: 16 Mei 2020   14:06 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang. Namun, ia juga adalah selaku pembuat hukum. Manakala Hukum saat ini tidak memenuhi rasa keadilan. Inilah yang disebut dengan tindakan progresifisme dalam berhukum. Sudah menjadi rahasia umum jika Hukum di Indonesia tumpul ke atas, tajam ke bawah. 

Seperti halnya yang terjadi pada kasus Nenek Minah yang mencuri 3 (tiga) buah kakao pada Tahun 2009 yang megharuskannya untuk menerima hukuman 1 Bulan 15 Hari, dengan masa percobaan 3 bulan. Kasus ini memang kecil, namun sudah melukai banyak orang dan memperlihatkan bagaimana kejamnya penegakan hukum di Indonesia.

Apa itu Hikam?

Elemen ketiga dari Trilogy ini adalah Hikam, yang merupakan elemen terakhir yang dapat mencerminkan nilai-nilai yang dipangku oleh Hakim. Hikam merupakan bentuk jamak dari hikmah (dalam bahasa arab) yang artinya kebijaksanaan. 

Hikam juga terkenal dalam sebuah tulisan seorang sufi, yakni Ibnu Atha’illah dalam bukunya yang berjudul Al-Hikam, yang merupakan potret perjalanan spiritual para sufi ketika menempuh (suluk) menuju Allah.

Elemen ini sangat penting bagi Hakim dalam berhukum baik di dalam ruang persidangan hingga sampai setelah berada di luar persidangan. Maksud dari di luar persidangan ialah Hakim harus mampu membuat sebuah putusan yang bijaksana. 

Jadi, bijaksana disini bukan hanya pada saat berpraktik di acara persidangan, namun harus mampu melewati dimensi luar persidangan berupa sebuah putusan, karena Hakim merupakan pemimpin dalam dunia peradilan.

Menurut Feby Toriqirrama, Alumni Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, sebagaimana dikutip dalam laman www.harianbhirawa.co.id., konsep Trilogy tersebut dapat dipadankan degan adigium yang lazim dalam duni ilmu Mantiq, yakni al-insanuhayawannatiq yang artinya “manusia adalah komposisi hewani yang memiliki daya berpikir”. Sebuah adigium yang terkenal di kalang filsuf islam. Hakim adalah al-insan-nya, hayawan adalah hukumnya, dan natiq adalah hikamnya.

Artinya disini al-insan harus sadar dalam dirinya ada unsur hayawan-nya. Tetapi ia tidak boleh berhenti pada unsur hayawan tersebut, karena Hakim adalah pegemban daripada Hukum. Meskipun Hakim harus menaati Hukum, tetapi Hakim tidak boleh berhenti pada Hukum yang telah dituliskan oleh manusia tersebut. Hakim harus terus mencari keadilan substantif sesuai dengan hati nuraninya. 

Oleh karenanya, Hakim tidak boleh berhenti pada Hukumnya, tapi juga harus bisa menembus ruang natiq-nya. Hakim harus memiliki kebijaksanaan secara penuh, dan keyakinan yang mendalam, serta memendam nafsu dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan masyarakat.

Tak dipungkiri, kita melihat di beberapa media terdapat oknum Hakim Indonesia yang telah merasakan dinginnya jeruji penjara yang diakibatkan oleh ketidakmpuannya untuk melawan nafsu yang bergejolak di dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun