Setiap lembaga ataupun sebuah komunitas tentu akan menciptakan beberapa tradisinya masing-masing. Begitu pula dengan komunitas para kang santri dan mbak santri yang berada di Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan yang masyhur dan tetap eksis sejak ratusan tahun silam lamanya. Diantara Tradisi tersebut yaitu :
1. IJTIMA'
Merupakan pertemuan seluruh santri pada serambi masjid, yang dilakukan setiap kali ada acara-acara penting seperti imtihan, haflah, akhir tahun atau kejadian tak terduga lainnya yang bersifat mendadak. Tanda yang khasnya yaitu bel berbunyi panjang dan nyaring.
2. NAHUN
Nahun disebut juga tirakat atau lelakon, pertama kali dibuat oleh para murid-murid Simbah Guru Dimyathi. Dengan Perkembangan pesantren yang sangat pesat disana saat itu, sehingga banyak santri yang datang untuk menuntut ilmu dari berbagai pelosok nusantara bahkan ada yang dari negara tetangga. Karena pondok pesantren yang jauh dari kampung halaman pada saat itu, maka mesti tidak ada alat transportasi kecuali gerobak dan semacamnya, Melakukan Nahun ini memiliki makna tekun rajin belajar dan tidak meninggalkan area kompleks pondok pesantren selama 3 tahun ataupun 3bulan dan 3 hari. Mengenai jangka waktu penerapan Nahun memang tidak ada patokan dan hanya istilah Tradisi, bahkan pesantren pun tidak mengatur dalam hal ini.
Kisah di balik tradisi ini adalah suatu hari Simbah Guru Putri (Nyai Khotijah, istri KH. Dimyath) yang sedang melakukan nirakat (puasa) selama 3 tahun, 3 bulan, dan 3 hari, mengalami hal yang sangat aneh, yaitu ketika dia masih mencuci beras di dekat sumur untuk dimasak nanti (sekarang terletak di tengah madrasah di depan masjid) tiba-tiba beras yang dicucinya berubah menjadi emas, Simbah Guru Putri kaget dan berdoa "Ya..Allah, saya bertirakat ini bukan mengharapkan emas atau harta duniawi. , tetapi saya mohon kepada-Mu, ya Allah, jadikan Tremas ini menjadi bagian dari masyarakatr, jadikanlah keluarga yang termasuk ahlul'ilmi, dan jadikanlah para santri-santri yang belajar menuntut ilmu di sini menjadi santri yang barokah" (au kama qol) sembari melempar emas ke dalam sumur .
Setelah kejadian tersebut, banyak santri yang menjadikan Nahun semacam tirakat, agar kegiatan belajarnya di Pondok Tremas berjalan lancar dan cita-citanya tercapai,bermanfaat setelah terjun dilingkungan masyarakatnya. Namun dari sekian banyak temuan sejarah, yang terhebat adalah para tokoh masyayikh Tremas yang pernah belajar di Pondok Tremas, contohnya seperti KH. Haris Dimyathi ini, bayangkan beliau tinggal di pesantren dan  tidak kembali ke ndalemnya (rumah kyai) selama 3 tahun, 3 bulan dan 3 hari, padahal ndalemnya itu selalu bisa dilihat setiap hari, karena jarak dari asrama ke ndalemnya hanya 50 meter.
3. NGIPAH
Ngipah atau ngirit pajekan dalam bahasa lingkup pondok dikenal diafah, sudah berlangsung lama di Pondok Tremas ini. orang yang pertama kali memberi  nama ngipah adalah KH. Imron Rosyadi Bangil dari  Pasuruan. Saat masih belajar di Tremas, beliau dikenal sebagai santri yang sangat humoris, dan humornya tentang istilah ngipah, hal ini menjadi tradisi yang terus berlanjut di Pondok Tremas hingga saat ini. Istilah ngipah yang digunakan oleh para santri sejak dahulu kala, muncul karena pada hari-hari besar Islam, para santri dipondok mendapat makan gratis tanpa harus mengambil porsi pajeknya.
Pada masa dahulu, penegakan ngipah atau diafah menjadi tanggung jawab PHBI. Namun karena  jumlah santri Tremas yang semakin hari semakin bertambah dan dana PHBI tidak lagi mencukupi  untuk melaksanakan tradisi tersebut, maka dari itu keluarga Ndalem mengambil alih yang dimulai pada khaul Kyai Dimyathi sekitar 68 tahun yang lalu. Pada masa sekarang kata sebutan ngipah sudah terkenal, yang mana sebagai tradisi makan gratis menyeluruh bagi santri.
4. ZIAROH