Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menjadi Pelatih Bukan Sekadar Urusan Taktik, Menang, dan Juara

26 Oktober 2021   10:06 Diperbarui: 28 Oktober 2021   01:30 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Silakan saja menghardik Ole Gunna Solskjaer karena tak becus membawa tim kesayangan Anda Manchester United menang saat duel kontra Liverpool dalam lanjutan Liga Inggris pekan ke-9 di Old Trafford, Minggu (24/10/21) malam WIB. 

Namun, saya lebih memilih untuk mengerti bahwa menjadi pelatih bukan sekadar urusan taktik, menang, dan juara. Pengertian tersebut muncul setelah saya bermain Football Manager.

Sesuai namanya, Football Manager, adalah sebuah gim permainan simulasi manajemen sepak bola. Secara sederhana---walaupun tak bisa dikatakan sederhana---gim ini adalah simulasi menjadi seorang pelatih. Ya, dalam gim ini kita akan ditantang untuk menjadi pelatih sebuah tim sepak bola.

Gim yang dikembangkan oleh Sport Interactive ini secara sengaja dibuat senyata mungkin dengan profesi kepelatihan sepak bola profesional yang ada. Para pengguna diajak terjun langsung untuk merasakan bagaimana dunia kepelatihan sebenarnya.

Sebelum mengenal gim yang dulu bernama Championship Manager ini, gim sepak bola yang saya mainkan adalah Winning Eleven, yang kemudian berevolusi menjadi Pro Evolution Soccer, dan kini e-Football milik KONAMI. 

Atau sesekali saya bermain FIFA hasil garapan EA Sports. 

Semuanya memiliki konsep semacam player controlling, atau pengguna mengendalikan langsung pemainnya. Bermainnya pun cukup sederhana, Anda tinggal memainkan 11 pemain yang ada untuk mencetak gol untuk menang. Namun, Football Manager sungguh berbeda.

Pertama kali memainkan Football Manager, saya sungguh takjub: Bagaimana mungkin ada permainan seperti ini; permainan yang membuat saya lebih dekat kepada dunia sepak bola dengan kacamata pelatih sebagai sudut pandangnya. 

Dalam gim itu kita hanya akan menjadi diri sendiri, menjadi pelatih sebagaimana seorang pelatih. Saya benar-benar tidak percaya ada gim seperti ini.

Setelah memainkan beberapa waktu, saya sadar bahwa pelatih adalah profesi paling memusingkan dari seluruh profesi atau bahkan pekerjaan yang ada. Anda dituntut untuk menangani hal-hal di dalam kepelatihan mulai dari makro hingga mikro, dari teknis hingga non-teknis, juga dari jangka pendek, menengah, hingga panjang. Kesemuanya, harus direncanakan dengan matang dan akurat.

Dan karena itulah, saya mengerti bahwa menjadi seorang pelatih bukan hanya sekadar taktik, menang, dan juara.

Memulai karier sebagai pelatih di Football Manager

Saya memutuskan untuk melatih sebuah tim Serie A, Napoli. Saya tidak memiliki alasan khusus untuk menangani tim ini. Alasan saya satu-satunya adalah tim ini, menurut saya, anugerah dari Tuhan bagi masyarakat Napoli. 

Melalui kaki seorang legenda Diego Armando Maradona, Napoli,  dan sepak bola adalah sebuah anugerah yang dihadiahi oleh Tuhan bagi masyarakat Kota Naples melawan diskriminasi atas masyarakat Italia kebanyakan.

Bagi masyarakat Italia, Neapolitans, sebutan bagi masyarakat Napoli, adalah masyarakat kelas dua, sekaligus juga aib. Selain faktor perbedaan budaya, paling kentara adalah ekonomi yang menjadi penyebabnya. Angka kemiskinan pun berbanding lurus dengan angka kriminalitas di sana.

Akan tetapi semua keadaan itu berubah kala Maradona hadir di Napoli pada 1984 silam. Maradona sukses membawa Il Partenopei, julukan Napoli, menjadi juara Serie A untuk pertama kalinya. 

Bukan hanya sekali, melainkan dua kali plus juara Piala Italia 1987 dan Piala UEFA 1989. Atas itu nama Napoli mulai bersinar sekaligus membuat jengkel kebanyakan masyarakat Italia.

Prestasi yang sudah lama terjadi itu ingin saya coba kembali hadirkan melalui gim Football Manager, sebagai pelatih tentunya.

Dalam Football Manager kita bisa menentukan sendiri bagaimana personal kita sebagai pelatih. Menentukan personal dan karakter ini saya rasa sangat penting, apalagi saya hanyalah pelatih biasa tanpa reputasi kepelatihan.

Urusan personal dan karakter saya teringat kisah Alex Chapman Ferguson menjalani hari pertamanya sebagai pelatih Manchester United, 6 November 1986. Ketika itu, Ferguson bukanlah seorang pelatih tenar apalagi top. 

Dia hanyalah seorang pelatih dari tim asal Skotlandia bernama Aberdeen. Sementara MU merupakan tim hebat yang dihuni pemain-pemain top Liga Inggris seperti Bryan Robson, Brian McClair, hingga Steve Bruce.

Meski begitu, para pemain ini tidak memiliki disiplin tinggi sebagai profesional. Terlalu banyak minum, pergi ke kelab malam, hingga datang terlambat saat sesi latihan.

Fergie jelas tidak suka hal semacam itu. Namun di sisi lain dia sadar bahwa dia tidak memiliki nama besar yang setiap ucapan dari mulutnya akan didengar oleh para pemainnya.

Fergie memang jenius. Agar para pemain ini tidak semena-mena terhadap dirinya dan tunduk kepadanya, dia melakukan sesuatu di luar kebiasaan para pelatih saat itu. Anda tahu apa yang dilakukannya? 

Dia mendatangi ruang pusat pelatihan di mana para pemain sedang berlatih dengan mendobrak pintu, kemudian menendang sebuah kursi di sana seraya berteriak seperti memaki, "Saya tidak peduli siapa Anda, sehebat apa Anda, yang jelas saya adalah pelatih Anda semua hari ini. Kalau Anda tidak suka silakan pergi dari tim ini!" Lalu dia pun meninggalkan ruangan itu.

Bayangkan, bagaimana perasaan Anda bila berada di tengah kondisi seperti itu?

Karakter seperti Fergie itulah yang ingin saya bangun saat pertama kali menjadi pelatih Napoli. Saya percaya bahwa personal dan karakter seorang pelatih memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap sebuah tim dan permainan. Dan saya menyukai Fergie meski ia bukan satu-satunya. Personal dan karakter seorang pria berdarah Jerman, Juergen Klopp, juga patut dicontoh.

Bagi saya Klopp adalah sosok unik. Dia bisa menjadi kawan, guru, dan sekaligus bapak di atas maupun luar lapangan. Klopp tidak serta-merta menyulap Liverpool menjadi hebat dalam sekejap. Setidaknya dia membutuhkan waktu lima hingga enam tahun sebelum akhirnya menjuarai Liga Inggris dan Liga Champions. 

Di balik kesuksesan itu tentu ada ramuan taktik nan jitu. Namun, kata Klopp, taktik bukanlah satu-satunya faktor, melainkan ada sebuah peranan pendekatan kepada setiap pemain yang terlibat di dalamnya. Dan Klopp adalah ahlinya soal itu.

Hal tersebut masih terekam baik di kepala seorang Gregory Wijnaldum. Ia mengisahkan bagaimana seorang Klopp datang mengenakan baju latihan dan hanya menggunakan celana boxer berwarna merah di ruang ganti jelang latihan perdana mereka bersama Klopp.

Wijnaldum dan para pemain di sana, kian terheran-heran melihat boxer yang dikenakan Klopp terdapat tulisan "CR 7" di pinggangnya. Segenap pemain pun tak kuasa menahan tawa. Iya, ini adalah cara Klopp mencairkan suasana yang canggung juga tegang antara dirinya dan para pemain.

Bagi Wijnaldum, Klopp bukanlah sekadar seorang pelatih yang hanya punya urusan taktik dan permainan. Wijnaldum mengatakan Klopp juga adalah seorang sahabat yang begitu dekat dengan para pemain. 

Pernah Wijnaldum tengah memiliki persoalan pribadi, namun dia tak tahu harus bercerita dan meminta pendapat kepada siapa. Dia hanya ingat satu orang, yaitu Klopp. Pria asal Belanda ini pun mengirimkan pesan singkat kepada Klopp, dia ingin menceritakan persoalan itu. Dengan harap-harap cemas, Klopp merespons layaknya karib yang khawatir. 

Dari itu, Wijnaldum mengatakan bahwa Klopp tidak saja menjadikan seorang pesepak bola profesional hebat, tetapi juga menjadikan dirinya personal yang baik.

Sebagaimana judul tulisan ini, saya berharap bahwa kita perlu mengerti bahwa menjadi seorang pelatih bukan hanya urusan taktik, menang, dan juara. Kemampuan-kemampuan pelatih tentu saja tidak bisa semata meramu taktik, tapi juga kemampuan berkomunikasi dengan para pemain menjadi atribut penting dari seorang pelatih. 

Maka kekuatan psikologi komunikasi seperti yang Fergi dan juga Klopp lakukan saya percaya itu adalah pondasi dasar membangun mental para pemain.

Saya sedang tidak mengada-ngada. Coba Anda tengok kembali apa yang dikatakan Presiden Napoli yang maha nyentrik, Aurelio De Laurentiis, saat ditanya alasan mengapa dirinya menunjuk Gennaro Gattuso sebagai pelatih, dan apa yang dikatakan Gattuso ketika dirinya dipercaya mengisi kursi pelatih Napoli. Kesemuanya adalah soal mental pemain.

Selain membangun karakter sebagai pelatih, saya membuat grand design kepelatihan dalam Football Manager. Saya membaginya menjadi tiga bagian, pra-musim, berjalannya musim, dan akhir musim. Masing-masing bagian ini memiliki dua hal utama, makro dan mikro. Dan di dalam makro dan mikro ini terdapat dua bagian lainnya, teknis dan nonteknis.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun