Dengan aktivitas baru yang dilakukan oleh sebagian kalangan pekerja dan pelajar rupanya memunculkan kebiasaan baru. Saya menyebutnya "hiburan di rumah".
Kita lanjut ke pola selanjutnya, atau pola ketiga, yakni korban kebijakan. Pola ketiga ini memang agak mbulet. Saya sebut korban kebijakan lantaran sebenarnya ingin menghindari debat kusir politik. Tapi sepertinya agak susah dihindarkan.
Begini, cerminan dari media sosial banyak perang argumen dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Yang cukup nyaring adalah soal lockdown.
Banyak argumen yang terlontar dari dua belah pihak, antara yang pro dan yang kontra. Antara yang menyetujui lockdown hingga yang menolak lockdown.
Saya cukup menyimak perdebatan ini--meski sebagian besar hanya dilakukan berdasarkan sentimen. Kedua pihak sama-sama membawa argumen kuat dengan segala petimbangan dan risikonya.
Namun, hasilnya, pemerintah mengeluarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Nah, itulah yang saya maksud sebagai korban kebijakan. Lagi pula aturan ini, menurut penulis memang agak kurang jelas dan tegas, seperti lockdown ya enggak, karantina juga enggak.
Tapi lucunya, kedua belah pihak yang saling berargumen itu akhirnya bersama-sama mengkritik kebijakan PSBB tersebut. Mereka sepakat, PSBB itu kebijakan tak mau ambil risiko. Seperti ada ego elektoral di dalamnya.
Belum selesai sampai di situ, mereka kembali ke dalam pertarungan akibat kebijakan. Kali ini persoalannya adalah pulang kampung atau mudik.
Di satu sisi mereka sepakat kalau pulang kampung dan mudik itu sama. Tapi di lain sisi mereka berbeda pendapat untuk penerapan dilarang mudik.
Lucu, ya.
Salam,