Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ketika Gus Dur Ogah Disamakan dengan Johan Cruyff

29 Desember 2019   10:27 Diperbarui: 30 Desember 2019   21:35 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia telah melahirkan banyak pemikir ke muka bumi. Di Eropa ada banyak nama pemikir seperti Aristoteles dan Sokrates dari Yunani, Jean-Paul Sartre dari Prancis, atau Bonaventura dari Italia dan masih banyak lain lagi yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Tetapi adakah yang berasal dari Indonesia?

Jawabannya, ada. Pemikir itu lahir di Jombang, Jawa Timur, 1940. Ia merupakan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari, dan anak dari pahlawan bangsa sekaligus salah satu menteri kabinet pertama Indonesia, Wahid Hasyim, Abdurrahman Wahid.

Gus Dur, sebagaimana kita lebih mengenalnya, dikenal sebagai seorang kiai besar, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga di Indonesia.

Menyandang status sebagai kiai--bahkan kiai kondang dan besar--pengetahuan agamanya sudah bukan lagi yang perlu diperdebatkan. Karenanya ia dikenal sebagai seorang kiai.

Selain fasih soal agama--juga politik dan budaya--Gus Dur merupakan seorang pecinta sepak bola.

Kecintaan Gus Dur kepada sepak bola tak lepas dari sosok sang ayah. Ketika dirinya masih kecil dan tinggal di Jakarta ia dan ayahnya sudah hobi bergelut dengan sepak bola.

Kegemarannya dengan sepak bola itu pun masih berlanjut kala duduk di bangku perkuliahan, di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Lebih dari itu, Gus Dur aktif mengisi kolom-kolom sepak bola di beberapa media nasional.

Di Harian Kompas, misalnya. Beliau tak hanya mengulas banyaknya pertandingan dalam ajang Piala Dunia 1994 di Meksiko, tetapi Gus Dur juga memberikan pemahaman tentang kehidupan manusia yang bisa diambil dari sepak bola.

Kisah itu ia tuliskan dalam artikel berjudul Antara Kebanggan dan Kekecewaan, Kompas, (18/07/1994).

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun