Ketika Belgia dikalahkan dalam pertandingan semifinal putaran akhir piala dunia beberapa tahun yang lalu rakyat Belgia justru menyambut kepulangan mereka dengan penuh antusiasme. Mereka bersyukur atas kemampuan tim kesayangan mereka untuk sampai ke putaran tersebut, dan tidak melihat lebih jauh dari itu.
Kekalahan pada level yang tidak terduga sebelumnya dapat diraih, adalah sebuah kehormatan. Bahkan putaran akhir Piala Dunia 1990 menyajikan kebanggaan rakyat Mesir akan prestasi tim nasional mereka, yang mampu menahan Belanda dengan angka seri 0-0.
Padahal waktu itu ada trio top Marco van Basten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Tak heran bila Presiden Husni Mubarak langsung mengumumkan hari esoknya sebagai hari libur nasional. Orang Mesir berhak saja untuk merasakan hasil imbang itu sebagai prestasi luar biasa.
Kalau para penyerang Mesir tidak dapat menembus benteng pertahanan Belanda Adrie van Teglen, Ronald Kumann dan Woutres, bukanlah berita besar. Hanya Italia dan Jerman Barat saja yang dapat menggedor pertahanan tim Oranye waktu itu.
Tetapi bahwa trio penyerang Belanda di atas tidak dapat menembus pertahanan Mesir, itu adalah berita yang luar biasa bagi rakyat negeri lembah Sungai Nil itu.
[...]
Sungguh tipis batas antara kekecewaan dan kebanggaan dalam hal ini. Kekecewaan akibat kekalahan yang tidak seharusnya diderita, dan kebanggaan dapat membuktikan faliditas strategi permainan yang dianut tim.
Dari hal-hal seperti ini, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia, oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepak bola? sepak bola merupakan bagian kehidupan, atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan sebuah unsur penunjang sepak bola?
---
Wajar, salah seorang wartawan olah raga senior, Sindhunata, menyebut Gus Dur sebagai pengamat sepak bola andal.
"Ia (Gus Dur) kiai, negarawan, politikus, intelektual dan budayawan. Jangan lupa juga, ia masih memiliki predikat lain, sebagai pengamat sepak bola. Sebelum terganggu penglihatannya, Gus Dur adalah pengamat sepak bola andal," kata Sindhunata dalam artikel berjudul "Kesebelasan Gus Dur", seperti penulis kutip dari Merdeka.com.