Namun, Gary Speed adalah pengecualian. Berbeda halnya yang dialami Per Mertesacker, salah satu penggawa tim nasional Jerman pada Piala Dunia 2006.
Di usia semuda Per Mertesacker (21) ikut andil di Piala Dunia 2006 bersama skuat Tim Nasional Jerman adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Terlebih, pesta sepak bola sejagat itu digelar di tanah kelahirannya sendiri.
Mertesacker ketika itu adalah bagian dalam generasi Sommermaerchen, atau sekumpulan pemain muda Jerman yang pertama kali merumput di pesta pesat olah raga nan megah tersebut--kemudian istilah Sommermaerchen difilmkan dengan judul Deutschland: Ein Sommermaerchen (Jerman: Sebuah Dongeng Musim Panas) yang menceritakan berceritakan perjalanan Timnas Jerman dan suka cita masyarakat Jerman menyambut Piala Dunia.
Hanya saja, kebahagiaan Mertesacker, juga masyarakat Jerman, berujung tanpa klimaks. Kita tahu, kiprah Die Mannschaft, pada ajang itu, hanya mampu sampai babak semi final.
Anak asuh Juergen Klinsmann itu harus tersungkur di tangan Italia--yang kemudian menjadi kampiun Piala Dunia 2006 usai mengalahkan Prancis di final.
Wartawan olah raga senior yang meliput pertandingan tersebut pernah mengisahkan kepada penulis suasana di stadion kala itu. Menurutnya, suasana Westfalenstadion bak pemakaman: hanya ada sepi, hening, dan air mata.
Namun suasana dan apa yang dirasakan para penonton rupanya berbeda dengan perasaan Mertesacker. Selepas gol Alessandro del Piero pada menit 120--sekaligus memastikan kekalahan Jerman--pemain kelahiran Hanover itu justru merasa lega.
"Selesai. Sudah selesai. Akhirnya selesai juga," pikirnya.
"Aku memang kecewa (dengan hasil pertandingan). Namun rasa lega lebih mendominasi dari kekecawaanku itu," katanya, dalam wawancara dengan Der Spiegel seperti dilansir Deutsche Welle.
Mertesacker punya alasan tersendiri. Ia mengaku merasa tertekan dalam dunia sepak bola. Sebab, sepak bola profesional begitu brutal terhadap para pemain. Begitu besar tekanannya; dimulai dari latihan pertandingan, pertandingan itu sendiri secara simultan, hingga kritik juga cacian.
Akibat itu, Mertesacker merasa tak lagi dipandang sebagai manusia, namun sekadar pemain sepakbola. Maka lebih dari itu pemain sepak bola, menurut Mertesacker, adalah aset.