Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Juventus Terbuai Atmosfer yang Landai di Serie A

23 April 2019   21:44 Diperbarui: 24 April 2019   01:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Juventus FC merayakan Scudetto ke-8 secara berturut-turut. (Sumber: juventus.com)

Gelar juara liga domestik atau Scudetto yang diraih Juventus kedelapan kalinya bukanlah hasil luar biasa. Liga Italia bagi Juventus tak lebih ajang uji coba pra-musim, yang panjang tentunya. Liga sesungguhnya, untuk tim sebesar Juventus adalah Liga Champions. Maaf, Juventini. Saya harus bilang seperti itu.

Faktanya memang demikian. Terakhir kali Si Nyonya Tua merengkuh trofi Kuping Lebar adalah lebih dari dua dekade lalu. Tepatnya 23 tahun lalu.

Kala itu Juventus berhasil menekuk (mantan) raksasa Belanda, Ajax Amsterdam, lewat babak adu jotos dengan skor 2-4. Dari empat algojo Ajax yang menjadi eksekutor hanya dua yang berhasil. Sementara keempat penendang Juventus sukses semua.

Gelar juara itu merupakan gelar kedua Juventus di Tanah Eropa. Sebelumnya, Juve pernah meraih hal serupa pada satu dekade sebelumnya, atau pada musim 1984/85 dengan mengalahkan Liverpool melalui gol semata wayang Michel Platini. Di momen itu juga kita ingat terjadi Tragedi Heysel.

Dalam industri sepakbola, klub semacam Juventus adalah salah satu kriterianya. Mereka bertansformasi dari sebuah klub konservatif menuju klub modern, sebagai mana industri itu sendiri bekerja. Ia sudah memiliki stadion sendiri yang dikelola secara mandiri. Berbeda dengan kebanyakan klub-klub Serie A lainnya yang masih harus membayar sewa untuk melakona jadwal pertandingan yang panjang semusim penuh.

Transformasi Juventus tak juga tak bisa dipungkiri oleh "berkah" calciopoli 2006 lalu. Tim kebanggaan warga Turin ini--selain Torino--pesakitan atas terungkapnya skandal pengaturan penunjukan wasit pertandingan penyelidikan jaksa pada sebuah agensi sepak bola terkenal di Italia, GEA World.

GEA World menadapati percakapan Luciano Moggi yang ketika itu masih menjabat sebagai Direktur Umum Juventus melakukan percakapan dengan beberapa pejabat sepakbola Italia guna memengaruhi penunjukan wasit kala Juventus bertanding.

Bersama AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina, terkena akibatnya. Dan Juventus paling menanggung berat hukumannya. Terdegradasi dari Serie B, pengurangan poin dan dicabutnya dua gelar terakhir mereka dari lemari trofi Juventus.

Jauh sebelum skandal calciopoli, praktik semacam ini juga pernah dilakukan oleh dedengkot keluarga Agnelli, Giovanni Agnelli atau lebih dikenal sebagai Gianni Agnelli pada medio 40-50an.

Kala itu, dirinya merayakan pesta kecil di rumahnya sebagai perayaan hari ulang tahunnya. Ia mengundang rekan sejawat hingga kolega bisnisnya. Seperti diketahui, Gianni adalah pebisnis profesional ternama di Italia. Perusahaan ternama miliknya antara lain adalah Fiat dan Ferrari.

Tetapi, ada yang berbeda di pestanya waktu itu. Selain rekan dan kolega bisnisnya, ia turut mengundang seluruh wasit di Serie A waktu itu, termasuk Ketua Komisi Wasit.

Dan tahukah Anda apa yang mereka dapat sepulang dari pesta itu? Jam Rolex. Juventus pun mengantongi satu scudetto.

Kembali ke Juventus. Pasca-calciopoli mereka memang sudah banyak berbenah. Selain soal stadion, mereka juga mulai memikirkan filosofi permainan. Yang jelas terlihat paling jelas adalah mereka meninggalkan tabiat khas Italia. Bermain bertahan dan menunggu. Lalu serangan balik dan tendang ke gawang. Kalau sudah, kembali ke pertahanan. Begitu seterusnya.

Kini Bianconeri ingin bermain menyerang. Lebih atraktif juga taktis. Dari kaki ke kaki. Mengusai bola selama mungkin dengan sabar. Dengan sedikit nilai leluhur mereka, grendel. Juventus menatap ke depan. Agnelli punya mimpi. Meski muskil diraih.

Urusan filosofi sebenarnya hanya persoalan tafsir, keperluan, kebutuhan, dan sudut pandang. Ada yang lebih mesti Juventus sadari sebagai lawan mereka sesungguhnya, yakni kompetisi Serie A sendiri.

Pandit sepakbola lokal memandang Serie A tidak begitu kompetitif, terutama bagi Juventus. Serie A tak lepas hanya sebagai liga inagurasi untuk Juventus, begitu sindir para pandit.

Klub-klub semacam duo Milan plus tim ibu kota AS Roma--mungkin juga Lazio-- yang diharapkan mampu menggoyahkan kedigdayaan Juventus justru tampak alot. Inkonsistensi, tepatnya. Justru Napoli yang mampu cukup memberikan perlawanan. Bahkan dua musim beruturut-turut. Ini berdampak pada penampilan mereka di Eropa.

Ini tidak berlebihan. Kita lihat saja perjalanan Juventus di Liga Champions musim ini. Pada fase grup Juventus memang memuncaki klasemen dengan menghasilkan 12 poin dari empat kemenangan dan dua kali kalah. Dua kekalahan terjadi saat menghadapi Manchester United dan Young Boys. Di atas kertas dua tim itu bak langit dan bumi.

Saya menafsirkan bahwa Juventus tak mampu menang melawan tim yang sepadan atau setingkat di atas mereka dan tak mampu menang dengan tim yang jauh di bawah mereka adalah akibat minimnya kompetitif di Serie A.

Saya tidak dulu berbicara bagiamana semenjananya penampilan mereka kala menghadapi Atletico Madrid dan amat sangat mediokernya Juventus saat ditekuk Ajax, tapi dua pertandingan atas MU dan Young Boys cukup untuk saya menilai kalau Juventus itu sebenarnya biasa saja.

Akan tetapi Juventus bukan tidak punya cara yang bisa ditempuh untuk menggapai cita-citanya. Juventus bisa membawa pelatih-pelatih Eropa yang memiliki DNA Liga Champions. Terus terang, Allegri adalah pelatih domestik. Ia tak punya rekam jejak oke di panggung Eropa.

Mulanya saya berharap Agnelli memboyong Zinedine Zidane ke Turin. Modal tiga gelar juara Eropa adalah hal lumayan. Zidane juga tentu tahu betul bagaimana memaksimalkan peran Ronaldo. Dan tak kalah penting adalah nostalgia dirinya selama masih menjadi pemain Juventus.

Selain pelatih, Juventus juga perlu membawa pemain-pemain bermental Liga Champions. Di Juventus meski diisi nama-nama beken namun kurang memiliki mental juara. Bahkan sebeken Dybala pun. Sejauh ini hanya nama semacam Giorgio Chiellini, Blaise Matuidi, dan tentunya Cristiano Ronaldo.

Cara terakhir yang bisa dilakukan Juventus adalah memaksa PSSI Italia alias FIGC untuk berbenah guna kompetisi Serie A yuang kompetitif. Membagi rata hak siar kepada seluruh tim, misalnya, guna menyehatkan keuangan tm-tim di Italia yang nantinya bisa membuat mereka saling bersaing dengan kompetitif.

Bila Serie A tak segera berbenah maka jangan harap Serie A akan memiliki kompetisi kompetitif, sehingga jangan harap pula Juventus lawan sepadan. Sehingga, secara sederhana, bisa dikatakan Juventus akan terus terbuai oleh atmosfer yang landai selama satu musim di Serie A. Padahal hal semacam itu wajib dihindari. Terutama tim sebesar Juventus bila ia ingin menjadi penguasa Eropa.

O ya, Juventus juga tak sendiri. Lihat saja Paris Saint Germain di Prancis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun