Dengan demikian, hukum pelaksanaan salat dan puasa tidak selalu berpatok pada perpindahan matahari. Salat dan puasa ditentukan oleh waktu.
Pergantian siang dan malam itu nisbi, sedangkan waktu itu terus berganti. Seandainya kita tinggal di Venus dan mengeklaim bahwa sehari di sana setara dengan 243 hari di bumi, waktu tetap berjalan. Kita tetap wajib melaksanakan salat dalam waktu yang sudah ditentukan sejak Nabi diperintahkan salat.
Beberapa alternatif bisa dilakukan ketika berada di negara sub tropis atau negara yang mendekati kutub (di luar Indonesia):
1. Â Mengikuti hukum fikih secara hakikat, berarti ibadah kita menyesuaikan pergantian siang dan malam. Namun kelemahannya, hal ini malah memberatkan kaum Islam mualaf wilayah Eropa dan berdampak buruk pada kita yang memerintahkan mereka mengikuti hukum yang seperti ini.
2. Â Mengiktui hukum fikih secara majas, berarti ibadah kita menyesuaikan pergantian jam pada negara-negara tropis seperti Indonesia ataupun Arab. Hal ini banyak kelebihannya, terutama bagi seseorang yang bingung untuk menentukan waktu di negara-negara yang kehilangan masa malamnya. Atau lebih parahnya lagi, berada di luar angkasa.
Apalah arti dari waktu, jika kita tidak beribadah dengan khusyu menghadap Allah SWT. Sebagaimana puisi Sapardi yang berjudul "Yang Fana adalah Waktu", beliau menyiratkan pesan bahwasannya waktu itu sangat penting bagi manusia. Oleh karena itu, sebagai makhluk sempurna kita harus memanfaatkan waktu dengan baik.
Dan sebagai penganut ajaran Islam, kita juga tidak boleh memaksa seseorang untuk melakukan hal yang memberatkan.Â
Bukankah Allah sudah memberi kita nikmat yang sangat banyak, dan berapa banyak pula nikmat yang kita dustakan? (Ar-Rahman/13)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H