"Siapa bilang, penulis hebat kerjaannya cuma nulis, rugi dong?"
Dari semenjak saya masih spermatozoa sampai 18 tahun usia, saya seringkali mendengar cibiran-cibiran orang seperti, "Jadi penulis itu gak enak." Atau, "Gak takut, kalau tulisannya gak dibaca orang?" Dan bla, bla, bla....
Barangkali mereka gak kenal sama JK. Rowling. Eh, kejauhan. Kalau di Indonesia ya, Tere Liye. Barangkali mereka memang gak sering membaca. Orang-orang seperti mereka malah jadi penyumbang data sebagai masyarakat dengan minat literasi terendah di Indonesia. Ups, malah kesulut emosi, saya nih.
Emang sih, menulis itu bisa dapat uang, bisa dilakukan tanpa menguras keringat, gak perlu capek-capek, gak butuh banyak biaya. Eits ... tak sesimpel itu ya, Fergusso (entah ini meme zaman kapan).
Coba buka KBBI, menulis itu punya definisi "melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan." Jadi, plagiarisme harusnya tidak dianggap sebagai menulis, apalagi yang tulisannya udah plek-jiplek persis dengan orang lain. Cuma gara-gara jangkauan pembacanya lebih luas, eh, malah ngaku-ngaku tulisannya sendiri. Ini mah udah ngelunjak namanya.
Selain mengolah ide, menulis juga butuh pengalaman. Penulis yang baik adalah penulis yang menuliskan pengalamannya semasa hidup untuk dibaca orang lain. Kalau ini mah, udah banyak ya....
Ada lagi yang lebih keren. Penulis yang hebat adalah penulis yang mencari pengalaman baru untuk diceritakan ke orang lain. Kerasa 'kan, bedanya?
Dari sekian banyak penulis buku di Indonesia, saya sangat menggemari karya-karya fiksi Dee Lestari. Selain karena gaya bahasanya yang cukup memikat hati, Dee juga pernah bercerita dalam suatu podcast-nya, bahwasannya dia harus pergi ke banyak kota dan bertemu dengan banyak teman dan budaya-budaya eksentrik untuk bisa merampungkan serial Supernova.
Jadi, menulis saja tidak cukup. Meskipun mulainya gampang, jadi penulis juga butuh komitmen yang kuat. Harus bisa istikamah dan tidak berharap benefit apa-apa selain sekadar berbagi wawasan dan pengalaman ke banyak orang.
Wah, kok kayak ada yang kurang ya. (Ssst ... biar panjang!)
Saya sebenarnya sempat iri sama teman-teman saya di pondok pesantren. Kalau yang fasih baca kitab kuning udah banyak. Ada yang pintar meracik kopi hingga bisa membedakan kualitas biji kopinya hanya dengan satu endusan, ada yang hafal sejarah dunia hingga peradaban Yunani sampai sejarah-sejarah tuhan, pandai enterpreuner dan workshop, pernah ke luar negeri, dan masih banyak lagi.
Sayangnya, pengalaman mereka hanya sebatas ungkapan lisan yang hanya dikagumi segelintir orang, termasuk saya. Andaikan mereka menulis, mungkin bakal menginspirasi banyak orang nih.
Tapi tak apa, itu tandanya, sekarang adalah waktuku untuk mulai mencari pengalaman tersebut. Soalnya, aku sudah terjerumus sebagai penulis sejak dua tahun lalu di komunitas menulis di pondokku. Terlebih, sekarang aku sudah menjabat sebagai ketua komunitas tersebut (curhat dikit gak ngaruh lah, ya?)
Ada yang mau berbagi pengalaman?Â
(fitur tanggapi dengan artikel itu bisa dipakai, 'kan?)Â
#seriusnanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H