Oleh Ibnu Purna
Dalam berbagai kesempatan sebelum ditetapkan sebagai Presiden, Jokowi menyatakan kemungkinan ada kementerian yang digabung atau ada kementerian baru. Di Media Massa, misalnya disebut ada Kementerian Maritim, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dll. Dengan demikian, diperkirakan dalam kabinet Jokowi-JK akan ada perubahan nomenklatur kabinet. Pertanyaannya, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekarang ini, apakah seorang Presiden bisa merubah nomenklatur kementerian begitu saja tanpa memperhatikan pertimbangan DPR. Ternyata tidak.
Dalam penyusunan kabinet, ada ketentuan peraturan perundangan yang harus dipatuhi, yaitu Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Ketentuan tersebut, antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. Pertama, dalam Pasal 15 disebutkan bahwa jumlah keseluruhan kementerian paling banyak berjumlah 34 (tigapuluh empat). Kalau kurang dari itu, tentu saja diperbolehkan. Kedua, Pasal 13 dan 18 menyebutkan bahwa Presiden membentuk Kementerian dan dapat diubah oleh Presiden, kecuali yang tidak dapat dirubah adalah Kementerian Luar Negeri, dalam negeri dan pertahanan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Presiden dapat mengubah nomenklatur sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian, namun harus dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1). Selanjutnya dalam ayat berikutnya, ayat (2), ditegaskan bahwa pertimbangan tersebut diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat Presiden diterima. Apabila dalam waktu 7 hari kerja DPR belum menyampaikan pertimbangannya, DPR dianggap sudah memberikan pertimbangan.
Sebenarnya dalam Undang-undang No 39 Tahun 2008 ini Presiden masih diberikan keleluasaan dalam menentukan pengubahan nomenklatur kabinet, karena DPR hanya memberikan pertimbangan, bukan persetujuan. Artinya pertimbangan tersebut, bisa dituruti dan bisa juga tidak dituruti. Jadi kalau Presiden mengusulkan pengubahan nomenklatur suatu Kementerian, namun DPR memberikan pertimbangan untuk tidak perlu dirubah. Dalam hal ini Presiden bisa saja tetap pada rencananya untuk mengubah nomenklatur tersebut (tanpa mengikuti pertimbangan DPR).
Pada saat ini ada yang berpendapat bahwa Presiden Jokowi dinilai tidak perlu meminta pertimbangan DPR jika ingin mengubah nomenklatur seperti yang disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. Sementara itu Wakil Ketua Dewan Taufik Kurniawa menilai Presiden perlu berkonsultasi dengan DPR jika akan mengubah nomenklatur kabinet (Koran Tempo, 22 Oktober 2014, hal. 5). Dalam hal ini, saya berpendapat sebaiknya Presiden meminta pertimbangan DPR untuk mengubah nomenklatur kabinet karena perintah dalam UU No. 39 Tahun 2008 tersebut cukup jelas.
Apabila Presiden tidak meminta pertimbangan DPR, dikhawatirkan masalah ini akan menjadi batu sandungan di awal pemerintahan Jokowi-JK. Akan muncul persoalan politik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, akibat terganggunya hubungan eksekutif-legislatif. Mudah-mudahan masukan ini akan menjadi pencerahan bagi kita semua. Semoga. (Twitter @ibnupurna)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H