Jika yang dimaksud sebagai sepeda bagus adalah sepeda yang mahal, gigi empuk, rem yang pakem, ditemani oleh segala perlengkapannya, rutin berjalan-jalan dengan komunitas sepeda, dsb, maka sepeda saya tidak termasuk dalam jajaran sepeda seperti itu. Namun, sepeda itu tetap sepeda terbagus yang pernah saya miliki. Manuk adalah sepeda gunung yang dibelikan oleh Ayah saya ketika saya berulang tahun pada tahun 2006 silam. Sepeda ini menjadi semakin bermakna bagi saya setelah ayah saya wafat pada tahun 2011, sebagai salah satu peninggalan orang tua yang memiliki kenangan tak tergantikan.
Sejujurnya, selama 9 tahun ini, Manuk tidak selalu saya gunakan. Terutama sejak bannya bocor pada tahun 2008 dan saat itu saya tidak memiliki uang untuk memperbaikinya. Apalagi saya tahun 2008-2011 bersekolah di sebuah sekolah berasrama dan tahun 2011-sekarang berkuliah di Universitas Indonesia. Sepeda itu menjadi kurang terurus hingga berkarat di sekujur tubuhnya. Baru pada awal 2014 saya gunakan kembali untuk berangkat ke kampus dari asrama mahasiswa tempat saya tinggal. Dari sinilah cerita bersepeda ini bermula.
Januari 2014, ketika libur semester, saya pulang ke rumah orangtua saya di daerah Ciledug, Kota Tangerang. Saya meminta Ibu saya untuk membelikan saya motor karena perjalanan dari asrama ke kampus saya di FISIP UI cukup memakan waktu sehingga membutuhkan kendaraan agar perjanalannya menjadi lebih mudah. Sudah bisa ditebak, orang tua tidak mengiyakan karena tidak ada biaya untuk membeli sepeda motor yang baru. Pun sepeda motor yang ada di rumah tidak bisa saya gunakan karena dibutuhkan oleh orang tua dalam memperlancar usahanya. Akhirnya mata saya tertuju pada Si Manuk, sepeda yang sudah berkarat yang tiap hari ditaruh begitu saja di depan rumah nenek. Â
Saat itu saya baru saya mendapatkan beasiswa uang jajan dari salah satu perusahaan ternama, hingga saya memutuskan untuk memperbaiki Si Manuk, karena sudah 6 tahun tidak digunakan dengan kondisi rusak. Ternyata pemilik bengkel sepeda di dekat rumah yang sudah belasan tahun berdiri dengan mudahnya memperbaiki Manuk. Bannya diganti, ditambahi kunci sepeda, klakson berbentuk kubah mas, remnya diperbaiki, semua bagian dibasahi dengan oli.
Masalah baru timbul ketika saya harus membawa sepeda itu dari rumah orang tua di Ciledug menuju kampus UI di Depok. Dengan jarak 26 kilometer dari rumah menuju ke kampus, tidak ada ide lain saat itu selain mengayuhnya sedikit demi sedikit hingga sampai di Depok. Padahal, bisa saja saya menggunakan mobil pick-up atau jasa pengiriman barang. Namun bayang-bayang biaya yang harus dikeluarkan mengurungkan niat saya untuk menggunakannya. Akhirnya saya putuskan untuk mengayuhnya sampai Depok. Berbekal pengalaman saya menelusuri jalan-jalan ‘kampung’ antara Ciledug-Depok, saya tidak terlalu khawatir untuk menggunakan sepeda saya dengan rute tersebut.
Perjalanan saya lakukan setelah sholat shubuh sekitar pukul 5 pagi. Dengan segala ketidaktahuan saya, saya menggunakan perlengkapan yang sama sekali tidak biasa dan tidak cocok digunakan untuk bersepeda. Yakni sarung tangan motor, masker, jaket motor yang tebal, tas berisi leptop, pakaian, dsb. Perjalanan saya awali dengan sangat semangat karena tidak sabar untuk mendapatkan pengalaman yang sama sekali baru. Namun, baru sampai Kompleks Perumahan Japos, Bintaro, saya sudah sangat kelelahan. Barang-barang yang berat memberi saya pelajaran bahwa itu semua bukan teman perjalanan jauh dengan bersepeda. Terbayang di kepala saya para anggota komunitas sepeda yang menggunakan helm sepeda, dengan pakaian serba ketat dan tipis yang ringan untuk digunakan, kacamata agar tidak terganggu oleh debu, botol minum agar tidak kehausan di perjalanan, dsb. Sayangnya, itu semua tidak saya gunakan. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi dan saya baru menempuh seperempat perjalanan.
Kelelahan tidak membuat saya menghentikan perjalanan, karena menurut saya menempuh jalan kembali ke rumah juga bukan solusi yang tepat. Sesekali saya berhenti sejenak di warung-warung pinggir jalan untuk membeli air minum kemasan karena rasa haus yang menyengat. Kondisi diperburuk karena rem Si Manuk blong, rute Ciledug-Depok yang memiliki tanjakan dan turunan yang curam menjadi penyebabnya. Wal hasil, saya mesti sering mengunakan sepatu saya untuk mengerem. Hingga sepatu saya botak habis tergerus jalanan.
Pukul 7 pagi, saya sudah melewati kampus UIN Jakarta terus bergerak menuju lapangan terbang pondok cabe. Rush hour orang-orang berangkat ke kantor tidak dapat dihindari. Jalanan dipenuhi sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang ke tujuan masing-masing. Agak ngeri karena beberapa kali saya mesti mengerem mendadak ketika turunan tajam, atau mesti mengayuh sekencang-kencangnya mengikuti kecepatan sepeda motor agar tidak ditabrak dari belakang. Meskipun lebih banyak hanya klakson-klakson berdering dari sepeda motor itu ketika di jalanan yang macet saya berada satu jalur dengan mereka di pinggir jalan, dengan kecepatan berbeda.
Melewati lapangan terbang Pondok Cabe, kecepatan jauh melambat. Saya lebih sering turun dari sepeda dan menuntunnya sambil berjalan kaki karena kelelahan yang sangat mendera. Setibanya di daerah kukusan, semangat saya muncul kembali. Karena kampus UI sudah tidak berapa jauh lagi dari sana. Sayangnya, semangat itu perlahan mengendur karena perjalanannya tidak sedekat yang saya bayangkan. Maklum, saya terbiasa lewat jalan itu menggunakan kendaraan bermotor.
Pukul sepuluh, saya tiba di kampus UI. Ada perasaan lega muncul dari dalam dada. Meski saya harus menempuh beberapa meter lagi agar bisa memarkirkan sepeda saya di parkir FISIP UI. Kebetulan hari itu ada kunjungan dari organisasi di Untirta Banten ke Organisasi tempat saya menjadi pengurus intinya, sehingga saya mesti segera merapihkan diri setibanya di parkiran FISIP UI.
...
Sudah setahun ini si Manuk saya gunakan berkeliling UI. Kadang-kadang, saya membawanya ke bengkel sepeda UI yang ternyata mau membetulkan sepeda saya dengan gratis. Padahal bengkel sepeda UI biasanya hanya membetulkan sepeda kuning yang merupakan aset milik Universitas. Mungkin ini bentuk dukungan dari Universitas terhadap anak-anak yang memilih menggunakan sepeda sendiri daripada kendaraan bermotor. Satu hal yang saya yakini, ketika saya bersepeda ke kampus, saya bisa berjalan lebih cepat daripada ketika saya berjalan kaki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H