Penulis :
1. Ibnu Khafidz Arrozaq (Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
2. Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M. H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)
Opini – Tulisan ini saya awali dengan beberapa fakta mengenai pekerja di Indonesia. Di tahun 2021, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mencatat 72.983 pekerja dari 4.156 perusahaan di Indonesia diputus hubungan kerjanya. Ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaannya, sedangkan jutaan orang lainnya menunggu kapan mereka akan mendapatkan pekerjaan. Angka-angka di atas belum seberapa, Kemenaker merilis ada 29,4 juta pekerja yang terdampak pandemi, mulai dari mereka yang kehilangan pekerjaan, upahnya dikurangi, jam kerja mereka dibatasi, atau bentuk lainnya yang tentu merugikan banyak pekerja di Indonesia. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, sebab hampir semua negara juga mengalaminya. Namun jauh sebelum pandemi terjadi, hak-hak pekerja di Indonesia memang merupakan hal yang sulit untuk dipenuhi. Bisa kita lihat, masih banyak pekerja yang tidak mendapatkan haknya, baik itu karena keengganan perusahaan untuk memenuhi ataupun kelalaian pemerintah dalam mengawasi.
Hak-hak pekerja secara umum terdiri atas : pemenuhan upah, kondisi kerja yang aman dan sehat, penghidupan yang layak, adanya jaminan hak sosial, memperjuangkan hak pekerja melalui serikat pekerja, menuntut haknya jika dilanggar tanpa kekerasan, serta serangkaian hak-hak lainnya yang wajib dipenuhi perusahaan dan pemerintah. Namun, di Indonesia sendiri masih banyak perusahaan yang tidak terlalu memperhatikan hak para pekerjanya, sehingga seringkali hak-hak pekerja di atas tidak dipenuhi secara maksimal.
Salah satu contoh hak pekerja yang kerap kali tidak dipenuhi oleh perusahaan ialah upah kerja. Beberapa perusahaan ataupun jenis badan usaha lainnya seringkali kedapatan tidak membayar upah pekerjanya sesuai aturan. Kebutuhan hidup yang besar di suatu kota tentu juga harus diimbangi dengan pendapatan yang layak guna pemenuhan kebutuhan hidup. Namun yang terjadi ialah pemenuhan hak akan gaji dan upah bagi pekerja masih banyak yang tidak maksimal. Masih berkaitan dengan upah, pesangon bagi karyawan yang diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan juga seringkali tidak dibayarkan. Berkaca dari kondisi saat pandemi Covid-19 dimana banyak perusahaan serentak mem-PHK ratusan karyawannya karena kondisi finansial mereka yang tidak stabil, namun perusahaan tersebut cukup lama dalam memproses pencairan pesangon, bahkan banyak diantaranya yang tidak memberikan pesangon. Padahal pesangon merupakan salah satu beban perusahaan yang harus dibayarkan kepada karyawan yang di-PHK oleh mereka. Hal ini diatur dalam Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal ini disebutkan “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Tidak hanya berhenti pada permasalahan upah saja, perjanjian kerja juga kerap menjadi permasalahan bagi pekerja dan perusahaan. Perjanjian kerja pada dasarnya dibuat sebagai acuan mengenai setiap hak dan kewajiban dari pekerja dan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pada pelaksanaannya, perjanjian kerja ini seringkali menimbulkan masalah. Pekerja merupakan subjek yang rentan dilanggar haknya.
Dalam Perjanjian Kerja misalnya, sering timbul masalah antara pemberi kerja dengan para pekerja terkait dengan isi kontrak yang diperjanjikan. Beberapa masalah tersebut antara lain :
1. Permasalahan Gaji yang Rendah
Beberapa pemberi pekerjaan terkadang memberi upah kepada pekerja dengan jumlah yang tidak wajar yaitu nominal upah yang terlalu kecil. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, selain itu juga bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Padahal sudah jelas bahwa dalam Pasal 88 Ayat 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.