Mohon tunggu...
Yanuar Arifin
Yanuar Arifin Mohon Tunggu... Editor - Penulis

Penulis dan editor buku-buku religi, motivasi, dan pengembangan diri, serta penikmat rawon sejak lama. Kini, juga menjadi pendiri dan owner Penerbit Teduh Pustaka, salah satu penerbitan indie di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Karbala: Kisah Pengorbanan Sayyidina Husain

16 Juli 2024   10:57 Diperbarui: 16 Juli 2024   10:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://beingzab.wordpress.com

Tragedi Karbala: Kisah Pengorbanan Sayyidina Husain

Oleh: Yanuar Arifin

Matahari pagi itu menyinari Kota Makkah dengan lembut, seolah menyembunyikan kegetiran yang tengah bergelayut di hati para penghuni rumah Sayyidina Husain bin Ali. Di dalam rumah, suara tangis dan doa-doa lirih terdengar, menyelimuti suasana yang dipenuhi oleh kepergian yang penuh makna. Sayyidina Husain, cucu tercinta Rasulullah SAW, tengah bersiap untuk perjalanan yang akan menentukan nasib umat Islam.

Kabar tentang kezhaliman Yazid bin Mu'awiyah telah menyebar luas, membuat hati Husain terbakar oleh semangat untuk menegakkan kebenaran. Yazid, yang baru saja naik tahta, tidak segan-segan menggunakan kekuasaannya untuk menindas dan menzhalimi rakyatnya. Husain tidak bisa berdiam diri melihat ketidakadilan ini. Sebagai penerus Rasulullah, ia merasa bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan memperjuangkan hak-hak umat.

Di tengah persiapannya, Husain menerima surat dari penduduk Kufah. Mereka memohon agar Husain datang dan memimpin mereka melawan Yazid. Lebih dari seratus ribu orang menyatakan kesetiaan mereka dan siap membaiat Husain sebagai pemimpin. Harapan penduduk Kufah menjadi pendorong semangat bagi Husain. Meski demikian, banyak yang meragukan kesetiaan penduduk Kufah, mengingat pengkhianatan yang pernah terjadi sebelumnya.

Sahabat dan keluarga Husain mencoba menasihatinya agar tetap tinggal di Makkah. Abdullah bin Abbas, salah satu sahabat terdekatnya, berkata dengan penuh kekhawatiran, "Wahai Husain, aku khawatir mereka akan membohongimu dan meninggalkanmu menghadapi musuh seorang diri. Janganlah engkau pergi, karena aku takut akan keselamatanmu dan keluargamu."

Akan tetapi, dengan penuh keyakinan, Husain menjawab, "Aku tidak mencari kekuasaan atau harta benda, tetapi aku ingin menegakkan agama kakekku, Rasulullah SAW, dan menegakkan keadilan. Aku tidak bisa berdiam diri melihat kezhaliman ini."

Husain mempersiapkan keberangkatannya dengan penuh harap dan doa. Bersama keluarganya, termasuk putranya yang masih kecil, Ali Zainal Abidin, serta sekelompok kecil pengikut setia, mereka meninggalkan Makkah menuju Kufah. Perjalanan ini tidak hanya membawa bekal fisik, tetapi juga membawa harapan dari umat yang percaya pada kepemimpinan Husain.

Di tengah perjalanan, Husain menerima kabar yang mengejutkan. Muslim bin Aqil, kerabat dan utusannya yang dikirim ke Kufah untuk memastikan kesetiaan penduduknya, telah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah yang kejam. Kabar ini membuat Husain merenung sejenak, tetapi tekadnya tidak pernah goyah. Ia berkata kepada pengikutnya, "Tidak ada kebaikan dalam hidup di bawah tirani dan ketidakadilan. Mari kita lanjutkan perjalanan ini dengan keimanan yang teguh."

Akhirnya, pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, rombongan Husain tiba di Padang Karbala, sebuah tempat yang kelak akan menjadi saksi bisu dari tragedi besar. Di Karbala, mereka mendirikan tenda-tenda dan bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Husain tahu bahwa jumlah mereka sedikit, tetapi ia juga tahu bahwa keimanan mereka lebih kuat dari apa pun.

Karbala adalah sebuah padang pasir yang luas, tandus, dan sunyi. Ketika rombongan Husain tiba, mereka disambut dengan dingin oleh penduduk Kufah yang konon lebih dari 100.000 orang menyatakan janji setianya kepada Husain. Namun, kekhawatiran keluarga dan sahabat Husain yang menasihatinya agar tidak berangkat ke Kufah ternyata benar. Janji setia itu hilang begitu saja, digantikan oleh ketakutan dan pengkhianatan.

Rombongan Husain terdiri dari 72 orang; sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Hanya ada 32 prajurit berkuda dan 40 pejalan kaki yang siap bertempur. Namun, di hadapan mereka berdiri 4.000 pasukan berkuda dengan persenjataan lengkap yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash.

Pada 10 Muharram 61 Hijriah, tepatnya 10 Oktober 680 Masehi, terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Pasukan Husain bertempur dengan gagah berani, menantang hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas satu per satu, mempersembahkan nyawa mereka demi keyakinan dan keadilan. Di bawah terik matahari Karbala, Husain berdiri sebagai sosok terakhir yang masih tegak, menantang takdir dengan mata yang penuh keteguhan. Namun, akhirnya, Husain pun dibunuh dengan kejam, dan darahnya mengalir di pasir Karbala.

Sebelum syahid, di tengah deru pertempuran yang tiada henti, Husain berdiri tegak, meski tubuhnya telah penuh luka. Darah mengalir dari luka-luka yang tak terhitung jumlahnya, tetapi semangatnya tetap menyala. Ia adalah cucu Rasulullah, pembawa panji kebenaran yang tak gentar menghadapi kezhaliman. Di sekelilingnya, saudara-saudaranya, sahabat-sahabatnya, satu per satu gugur. Mereka berjuang sampai napas terakhir, memegang teguh keyakinan mereka.

Husain memandang sekelilingnya, melihat anak-anak dan perempuan yang ketakutan. Ia tahu, ini adalah akhir dari sebuah perjuangan yang suci. Dengan langkah yang mantap, ia mendekati perkemahan mereka. "Jangan takut," bisiknya lembut, "Allah bersama kita."

Sejenak ia memejamkan mata, mengingat wajah-wajah yang dicintainya. Ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang telah mengajarinya tentang keberanian dan keadilan. Ibunya, Fatimah az-Zahra, yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan. Kakeknya, Rasulullah, yang menjadi panutannya sepanjang hidup. Semua kenangan itu memberinya kekuatan untuk melangkah ke medan perang, menghadapi musuh yang jauh lebih banyak.

Dengan sisa tenaga yang ada, Husain mengayunkan pedangnya, melawan pasukan yang terus merangsek maju. Tubuhnya terhuyung, tetapi ia tetap berdiri. Dalam hati, ia berdoa, memohon ampunan dan kekuatan dari Allah. Tiba-tiba, sebuah lembing meluncur cepat, menembus dadanya. Husain terjatuh, tetapi tangannya masih menggenggam pedang dengan erat. Matanya menatap langit yang cerah, seolah mencari tanda-tanda dari Allah.

Saat-saat terakhirnya dipenuhi dengan kesakitan yang luar biasa, tetapi hatinya tenang. Ia tahu, pengorbanannya tidak sia-sia. Darahnya yang tertumpah akan menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan untuk kebenaran. Dalam hembusan napas terakhirnya, ia memanggil nama Allah, menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Sang Pencipta.

Darah Husain mengalir di pasir Karbala, membasahi tanah yang sunyi. Di tempat itu, sebuah tragedi besar terjadi, meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Islam. Perang Karbala bukan sekadar peristiwa sejarah; ia adalah simbol keberanian dan pengorbanan demi kebenaran. Kejadian ini menunjukkan betapa mendalamnya perselisihan dan permusuhan di kalangan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Tragedi Karbala mengukir kisah pilu yang tak pernah pudar dari ingatan, membawa pesan tentang betapa mahalnya harga sebuah keadilan dan kebenaran.

Setelah kematian Husain, tubuhnya yang tak bernyawa terbaring di pasir Karbala, dikelilingi oleh anggota keluarganya yang tersisa. Kesunyian menyelimuti medan perang yang sebelumnya dipenuhi oleh suara dentingan senjata dan jeritan perjuangan. Wanita-wanita dan anak-anak yang selamat meratap dalam kesedihan yang mendalam, menyaksikan kepergian orang-orang terkasih mereka.

Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash lantas memerintahkan pasukannya untuk memenggal kepala Husain dan membawa kepalanya ke istana. Kepala Husain dibawa dalam keadaan berdarah, sebagai tanda kemenangan yang keliru bagi mereka yang haus akan kekuasaan. Namun, di hati banyak orang, kepala yang terpenggal itu adalah simbol keberanian dan pengorbanan yang suci.

Para tawanan dari keluarga Husain, termasuk adik perempuannya, Zainab, dibawa ke istana dengan tangan terikat. Zainab, yang sebelumnya dikenal sebagai wanita yang kuat dan berani, kini berdiri di hadapan Yazid dengan kepala terangkat tinggi. Dengan penuh keberanian, ia berbicara, menantang kezhaliman yang dilakukan oleh Yazid dan pengikutnya. Kata-katanya menggema, menembus hati siapa saja yang mendengarnya.

"Engkau mungkin menganggap dirimu menang, tetapi kemenangan sejati ada pada mereka yang berdiri di sisi kebenaran," kata Zainab dengan tegas. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Yazid, menyampaikan pesan yang kuat. "Darah Husain akan menjadi saksi abadi atas kezhalimanmu, dan Allah akan membalas setiap tetes darah yang tertumpah."

Kata-kata Zainab mengguncang hati banyak orang, membangkitkan semangat perlawanan terhadap tirani. Kisah keberanian Husain dan keteguhan Zainab menyebar dari mulut ke mulut, menginspirasi generasi berikutnya untuk selalu berdiri di sisi kebenaran, meskipun harus menghadapi bahaya dan pengorbanan besar.

Kematian Husain dan tragedi Karbala menjadi titik balik yang mendalam dalam sejarah Islam. Perpecahan antara Sunni dan Syi'ah semakin meruncing, dipicu oleh perbedaan pandangan tentang kepemimpinan dan keyakinan. Namun, di balik perpecahan itu, cinta terhadap keluarga Rasulullah tetap menyatukan hati umat Islam di seluruh dunia.

Sejak saat itu, setiap tahun pada bulan Muharram, umat Islam memperingati tragedi Karbala dengan penuh kesedihan dan penghormatan. Tangisan dan doa mengalir, mengenang pengorbanan Husain dan para sahabatnya. Perayaan ini bukan hanya tentang duka, tetapi juga tentang keberanian, keteguhan, dan semangat untuk memperjuangkan keadilan.

Di kota Karbala yang sunyi, makam Husain berdiri megah, menjadi tempat ziarah bagi jutaan orang. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, membawa harapan dan doa. Di sana, mereka mengenang sosok yang tak pernah menyerah, yang mengajarkan bahwa kebenaran harus diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan nyawa.

Husain dan pengorbanannya adalah cermin bagi setiap insan yang mencari kebenaran. Dalam setiap langkah perjuangan, nama Husain terukir sebagai simbol keberanian dan keteguhan. Kisahnya mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi ketidakadilan, kita harus tetap teguh, berani, dan percaya bahwa kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.

Tragedi Karbala bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga pelajaran hidup yang tak ternilai. Ia mengajarkan kita bahwa meskipun dunia penuh dengan cobaan dan tantangan, semangat untuk memperjuangkan keadilan harus tetap menyala. Sebagaimana Husain yang tetap teguh hingga napas terakhirnya, kita pun harus berani melangkah di jalan kebenaran, dengan keyakinan bahwa Allah selalu bersama mereka yang berjuang demi kebenaran dan keadilan.

Demikianlah, tragedi Karbala menjadi kenangan pahit yang selalu membekas di hati umat Islam. Sebuah kisah tentang keberanian dan pengorbanan yang menginspirasi, mengajarkan bahwa kebenaran selalu layak diperjuangkan, apa pun harganya. Semoga kisah ini terus hidup dalam setiap jiwa, mengingatkan kita akan pentingnya keadilan dan keberanian dalam menjalani kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun