Mohon tunggu...
Yanuar Arifin
Yanuar Arifin Mohon Tunggu... Editor - Penulis

Penulis dan editor buku-buku religi, motivasi, dan pengembangan diri, serta penikmat rawon sejak lama. Kini, juga menjadi pendiri dan owner Penerbit Teduh Pustaka, salah satu penerbitan indie di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rekonstruksi Makna Idul Qurban: Menyembelih Ego dan Nafsu dalam Pengabdian

21 Juni 2024   14:00 Diperbarui: 21 Juni 2024   14:07 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://upload.wikimedia.org

Rekonstruksi Makna Idul Qurban: Menyembelih Ego dan Nafsu dalam Pengabdian

Oleh: Yanuar Arifin

Ketika Ibrahim menerima wahyu Tuhan yang memerintahkan untuk mengorbankan putranya, Ismail, usianya sudah tidak muda lagi. Sebagai seorang nabi yang ketaatannya telah teruji dan seorang ayah yang sangat menyayangi putranya, perintah ini tentu menjadi ujian yang sangat berat. 

Ismail adalah buah cinta dari pernikahannya dengan Siti Hajar setelah penantian panjang, karena Ibrahim belum dikaruniai anak dari istri pertamanya, Sarah, selama bertahun-tahun. Kehadiran Ismail bagaikan sumber mata air di tengah gurun pasir yang gersang.

Di saat Ibrahim sedang berbahagia dengan kehadiran putranya, perintah Tuhan untuk mengorbankan Ismail datang seperti petir di siang bolong, merampas kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ini adalah ujian terberat yang dihadapinya sebagai nabi dan ayah. Ibrahim menghadapi dilema besar: sebagai nabi, ia harus melaksanakan perintah Tuhan, namun sebagai ayah, ia ingin melindungi anaknya.

Iblis pun datang untuk menggoda Ibrahim, membisikkan keraguan dan mencoba mematahkan semangatnya. Namun, kebesaran iman Ibrahim tidak tergoyahkan. Jika perintah itu untuk dirinya sendiri, mungkin Ibrahim tidak akan berpikir panjang untuk melaksanakannya. Namun, pengorbanan ini melibatkan putranya yang sangat dicintainya, yang menambah berat ujian tersebut.

Ketika dihadapkan pada perintah ini, Ibrahim tidak bertindak secara otoriter. Ia dengan lembut bertanya kepada Ismail mengenai wahyu yang diterimanya. Sikap demokratis dan penuh kasih sayang ini menunjukkan bahwa Ibrahim menghormati putranya, bahkan dalam menghadapi perintah yang sangat berat.

Tanpa diduga, Ismail meyakinkan ayahnya untuk melaksanakan perintah Tuhan. Tanggapan Ismail adalah bentuk keikhlasan seorang hamba yang sepenuhnya pasrah kepada kehendak Tuhan dan tunduk pada orang tuanya. Ini menegaskan bahwa keikhlasan dan kepatuhan kepada Tuhan tidak mengenal usia atau kondisi.

Kisah ini memberikan gambaran tentang sosok manusia ideal, seorang pemimpin bernama Ibrahim. Ia adalah pemimpin keluarga yang demokratis dan seorang hamba Tuhan yang taat. Sosok seperti Ibrahim sangatlah langka ditemukan pada zaman sekarang, namun sangat dirindukan oleh banyak orang.

Momen Idul Adha: Lebih dari Sekadar Ritual

Ketika Idul Adha tiba, kita dihadapkan pada kesempatan untuk meneladani sosok Ibrahim. Momen Idul Adha seharusnya tidak hanya menjadi ritual penyembelihan hewan, tetapi juga momen refleksi dan pembelajaran. Qurban dalam konteks ini berarti membunuh nafsu kebinatangan dalam diri kita, seperti nafsu korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai nafsu negatif lainnya.

Keteladanan Ibrahim tidak hanya relevan bagi individu, tetapi juga bagi para pemimpin bangsa. Pemimpin harus berani menyembelih ego dan kepentingan pribadinya demi kepentingan rakyat. Ibrahim adalah contoh bahwa pengorbanan terbesar adalah memprioritaskan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.

Dalam bukunya Politik Panjat Pinang (Kompas, 2006), Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa perintah untuk menyembelih Ismail adalah peringatan agar orang tua berhati-hati terhadap godaan anak yang menjadi simbol kecintaan dunia. Pemimpin yang tidak hati-hati bisa jatuh karena kecintaan berlebihan kepada anak atau keluarga, yang mengalahkan cintanya kepada Tuhan dan rakyat.

Pemimpin yang berhasil menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi akan mendapati bangsa yang dipimpinnya menjadi lebih produktif dan makmur. Sebaliknya, jika cinta kepada keluarga dan kepentingan pribadi lebih diutamakan, negara akan cepat menemui kehancuran. Keteladanan Ibrahim seharusnya menjadi cermin bagi para pemimpin bangsa ini.

Bangsa kita membutuhkan pemimpin yang rela berkorban demi kesejahteraan rakyat. Qurban dalam arti yang lebih luas adalah langkah pasti untuk melenyapkan kemiskinan dan kebodohan. Momentum Idul Adha seharusnya mengingatkan kita pada pentingnya pengorbanan demi kebaikan bersama.

Meneladani Ibrahim di Era Modern

Selama krisis multi-dimensi masih melilit bangsa Indonesia, momen untuk berkorban selalu ada. Pelaksanaan risalah kenabian Ibrahim yang terjaga melalui risalah kenabian Muhammad harus tetap menjadi panduan kita. Bekas-bekas keagungan Idul Adha harus terus terjaga dan termanifestasi dalam tindakan nyata kita sehari-hari.

Meneladani Ibrahim berarti berani mengambil langkah sulit demi kebenaran dan keadilan. Ini adalah pengorbanan yang tidak hanya dilakukan pada momen Idul Adha, tetapi sepanjang kehidupan kita. Ibrahim adalah guru yang mengajarkan kita untuk mencapai derajat “Khalilullah” atau sahabat terdekat Allah melalui ketaatan, kesabaran, dan pengorbanan yang tulus.

Idul Adha mengingatkan kita bahwa qurban adalah simbol pengorbanan diri, bukan hanya dalam bentuk materi tetapi juga dalam bentuk spiritual. Pengorbanan ini melibatkan pengendalian diri, menahan ego, dan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Qurban adalah tentang melatih diri untuk bersikap adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang, sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibrahim.

Di era modern, tantangan yang dihadapi mungkin berbeda, tetapi prinsip pengorbanan yang diajarkan Ibrahim tetap relevan. Pemimpin modern harus berani menghadapi godaan kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran dengan integritas dan komitmen kepada nilai-nilai kemanusiaan. Mereka harus mampu menyembelih nafsu serakah dan egois demi kesejahteraan bersama.

Momen Idul Adha adalah pengingat bahwa pengorbanan adalah bagian dari kehidupan yang harus dilakukan dengan ikhlas. Dengan meneladani Ibrahim, kita diajak untuk menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat luas.

Rekonstruksi makna Idul Qurban mengajak kita untuk tidak hanya merayakan dengan menyembelih hewan, tetapi juga untuk merenungkan makna pengorbanan dalam kehidupan kita. Dengan meneladani keteladanan Ibrahim, kita dapat menjadi individu yang lebih baik, pemimpin yang lebih bijaksana, dan umat yang lebih taat kepada Tuhan.

Sebagai penutup, mari kita jadikan setiap Idul Adha sebagai momen introspeksi dan pengingat untuk selalu menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dengan begitu, kita tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga menjadikannya sebagai jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia dan bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun