Nama Usman Admadjaja belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Mantan pemilik Bank Danamon itu menjadi salah satu obligor pencuri dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1997 silam. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut dari total Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan, terdapat Rp 84,84 triliun (58,7%) yang diselewengkan para pemilik Bank. Usman adalah konglomerat hitam yang ikut membawa kabur uang rakyat triliunan rupiah tersebut.
Majalah Tempo (19 Maret 2000) melansir nilai utang Usman mencapai Rp 12,32 triliun. Meski Bank Danamon saat ini sudah settlement, tetapi nilai aset yang dimilikinya belum mampu menutup besaran nilai utang tersebut.Â
Kini, desakan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kembali mengusut tuntas keterlibatan Usman menguat. Tidak hanya memenjarakan, tapi juga memburu aset-aset lain yang dimiliki Usman untuk melunasi utangnya kepada masyarakat Indonesia.
Digunakan Untuk Apa?
Menurut Rusdi Mathari (dalam Memo-Memo Rahasia Soal BLBI) Usman menggunakan kucuran dana BLBI untuk kepentingan pribadi dan kelompok jejaringnya. Sebagai pemilik Danamon, Usman dengan beberapa direksi telah menyimpangkan dana BLBI untuk rekayasa pemberian fasilitas kredit. Total kredit yang diberikan kepada pihak terafiliasinya mencapai Rp 8,25 triliun. Diakui oleh Danamon, penggunaan dana bank ini melambung jauh dari batas-batas ketentuan undang-undang perbankan.
Kredit tersebut, ungkap Rusdi, antara lain digunakan untuk memborong saham PT Astra Internasional (19 perusahaan) sebesar Rp 4, 18 triliun, pembelian dan pengembangan kapling di Jalan Sudirman, Jakarta (53 perusahaan) sebesar Rp 2,07 triliun, dan pembelian Extention Kuningan (5 perusahaan) sebesar Rp 618,9 miliar. Sementara, jumlah kredit yang dikucurkan untuk debitur grup dan debitur non-grup mencapai Rp 7,59 triliun lebih.
Celakanya, banyak kredit yang mengucur kepada kelompok para pemilik bank yang juga bermasalah dalam kasus BLBI. Di antara kepada PT Kiani Kertas milik Bob Hasan sebesar Rp 766,73 miliar, Grup BDNI milik Sjamsul Nursalim sebesar Rp 285, 95 miliar dan dana terbesar mengalir kepada PT Chandra Asri (Grup Bank Andromeda) milik Bambang Trihatmojo, Prajogo Pangestu dan Peter F. Gontha, yakni sebesar Rp 2,91 triliun. Informasi lain bahwa sebagian besar perusahaan pemegang saham grup BDNI ternyata juga dimiliki oleh grup Danamon sendiri.
Dukung KPK
Temuan -- temuan ini sebenarnya bisa dengan mudah ditelusuri oleh pemerintah, dalam hal ini KPK, jika memang berniat dan mau bertindak serius untuk mengusut tuntas dana penyaluran BLBI.Â
Sebab, menurut Ekonomi UI, Telisa A Falianty (Koran Jakarta, 2017) sebagian besar atau sekitar 75 persen utang pemerintah yang kini hampir mencapai Rp 4.000 triliun berasal dari akumulasi beban bunga di atas bunga penerbitan obligasi rekapitulasi perbankan eks BLBI selama 19 (saat ini 21) tahun terakhir.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa setiap tahun negara harus membayar bunga utang BLBI sebesar Rp. 125 triliun atau sekitar 6 persen dari APBN. Maka tidak ada cara lain bagi masyarakat Indonesia untuk mendukung kinerja KPK.Â
Dalam kasus BLBI pidana koorporasi penting. Penerapan pidana koorporasi bisa memaksimalkan pengembalian aset-aset (asset recovery) negara yang dikuasi obligor hitam penyeleweng dana BLBI. Sebab, beban utang yang membengkak memiskinkan negara. KPK tidak boleh membiarkan. Pembiaran adalah bagian dari kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H