Ada sesuatu yang hilang tradisi research di Indonesia hari ini. Tanpa memandang latar belakang institusi keilmuan yang dia ikuti, sepertinya ada satu hal yang urgen dalam research tetapi eksistensinya samar di researchers Indonesia.
Hal tersebut bukanlah wawasan, pengetahuan, data, atau kemampuan menulis. Bukan juga kemampuan indexing jurnal karena Indonesia dikenal sebagai center untuk joki dan hamba scopus.
Hal yang hilang tersebut adalah apa yang dikenal sebagai central Argument. Saya memang baru menyadari hal ini belakangan setelah Dr. Ibrahim Kaln memberi feedback kepada tugas paper saya. Walaupun dahulu Dr. Joseph Lumbard, Dr. Mu'taz Al Khatib, Dr. Dheen Muhammad, Dr. Anto Muhsin dan Dr. Asna Husin selalu menekankan sebelum menulis paper riset, pastikan central argument sudah dimiliki.
Namun apa itu central argument?
Secara simple saya cuma bisa menjelaskan: argument yang mengarahkan bagaimana riset itu berjalan, dan tulisan ratusan halaman dalam paper/ thesis itu tujuannya untuk meyakinkan orang tentang argumen tadi.
Sulit memang untuk dijelaskan lebih detail, tapi dalam satu kesempatan Dr. Wael Hallaq memberikan analogi bahwa seorang peneliti itu ibarat pemburu. Pemburu yang hebat adalah mereka yang siap dengan peralatan terbaik, dan punya target yang spesifik.Â
Contohnya si A menyiapkan senapannya dengan peluru, dan yang dia targetkan adalah rusa bertanduk besar dengan berat 100 kg berwarna merah. Jikapun pada akhirnya si pemburu itu gagal mendapat rusa tersebut dan justru mendapat rusa lainnya, setidaknya dia punya target jelas sehingga dia tidak menghabiskan pelurunya untuk menembak babi atau burung.Â
Lain ceritanya jika si pemburu itu tidak punya target jelas, sekalipun senapannya sangat canggih perburuannya pasti gagal dan senapannya tidak berguna sama sekali.
Target yang spesifik ibarat central argument dalam riset. Lalu kita mencoba melihat kembali apakah tradisi riset di Indonesia mengetahui hal ini.
Saya tidak berani mengatakan tidak karena itu juga perlu penelitian. Tetapi ada baiknya kita buat checklist ringan soal analogi tadi. Saya rasa ada ribuan orang yang punya skill bahasa mumpuni dan kemudahan akses terhadap sumber-sumber untuk penelitian.Â
Kemampuan mereka menulis juga tidak dipandang remeh apalagi kebiasaannya riset dikerjakan secara kooperatif. Pendanaan juga tercukupi terutama untuk bidang sains. Dan ketika ditanyakan apa isi risetnya, dia menyebutkan berbagai data, temuan, pendapat, nama tokoh, judul buku, nomor jurnal, bahkan hal-hal yang jarang diketahui banyak orang. Tapi begitu ditanyakan lalu data-data tadi itu dipaparkan untuk menjelaskan apa? Dan apa fungsi pendapat dari tokoh A atau B atau C dalam studi ini? Langsung saja zonk dan tidak tahu mau jawab apa, jikapun bisa menjawab maka dia menyebutkan puluhan hal yang ingin diangkat dalam riset ini.
Saya bukan mau menghakimi orang indonesia ketinggalan jauh dari the Western Academia dalam hal riset dan metodologi (walaupun kenyataannya demikian). Tapi harus diakui, tidak punya argumen sentral dalam sebuah riset, atau merasa risetnya akan menjawab banyak hal, keduanya adalah sebuah kecacatan riset. Dan saya bisa pastikan 100 persen, thesisnya akan diserang habis-habisan sebelum halaman ke sepuluh dari thesisnya dibuka.
Perlu diingat, seorang peneliti tidak ditugaskan untuk menjawab berbagai masalah dalam satu penelitian. Juga seorang peneliti tidak ditugaskan untuk menuliskan kembali pendapat-pendapat yang sudah ada, atau menyebut kembali fakta-fakta yang orang awampun tau. Ibarat analogi tadi, jika seorang pemburu berhasil menembak seekor kambing, maka orang akan menjawab "saya juga mampu bahkan tidak perlu senjata".Â
Peneliti punya tugas yang lebih dari sekedar menukil hadith-hadith ahkam, atau ayat-ayat pendidikan. Pekerjaan yang ini tidak perlu penelitian serius. Peneliti tugasnya mencari mungkinnya metodologi pengajaran berdasarkan satu ayat saja. Atau efek perubahan wajh istidlal terhadap satu kasus hukum. Bahkan jika sudah mampu ditahap sintesis, maka seorang peneliti mampu menjabarkan masalah yang belum terbahas sama sekali.
Namun, jika central argument saja tidak jelas saat memulai penelitian, sintesis itu cuma omong kosong yang tidak akan pernah tercapai, justru yang tercapai rasa muak melihat buku yang bertumpuk, opini yang kontradiktif, dan tulisan yang tak kunjung selesai.
Revolusi yang paling mungkin untuk memperbaiki tradisi riset di Indonesia sebenarnya simple: cobalah untuk memastikan central argument sebelum memulai risetnya.
Banda Aceh, 8 July 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H