Di Negeri yang baik senyum-senyum sendiri kepada layar handphone harus dibagi menjadi senyum buat orang-orang sekitarnya. Itulah, sesungguhnya, wujud keadilan sosial paling nyata. Hanya dengan begitu maka kehidupan menjadi sesegar hijau selada air, secerah rona merah bunga corong sanggalangit, seelatis namun kokoh bagai sarang laba-laba dan cangkang udang. O ya, belakangan ini aku dengar  para ilmuan mengembangkan fibroprotein dari sarang laba-laba dan chitin dari cangkang udang sebagai kombinasi ideal untuk membuat bioplastik.
Betapa asyiknya alam jika kelak tak punya momok lagi terhadap sampah plastik. Betapa asyinkya alam jika kelak sampah-sampah plastiknya, karena terbuat dari bioplastik, telah mudah diurai buyar melebur kembali mengalam. kita akan tersenyum membayangkan itu. Tentu boleh senyum-senyum sendiri bila informasi tersebut Sampeyan baca dari monitor HP, sebagai intermezo disela-sela pesan bahagia dari kekasih maupun teman.Â
Memang dunia berkembang. Bukan saja pelan-pelan berkembang. Perubahan itu sangat lekas. Maka penyair Afrizal Malna sampai menyebutnya " Abad yang Berlari ". Aku sependapat. Rasanya baru kemarin senyum-senyum sendiri dianggap sinting, hari ini senyum-senyum sendiri telah dianggap normal.Â
Sampeyan naik sepeda motor lawan arah denganku? Sampeyan senyum-senyum dan komat-kamit sendirian? Saya tak akan ngeri  karena menganggap Sampeyan orang agak miring yang nekat ikuta-ikutan kami bernormal-normal di jalan raya. Saya yakin di dekat kancing baju Sampeyan ada mik. Saya yakin, andai tak  pakai mik yang diklip di pakain, pasti ada handphone terselip di dalam helm. Iya kan? Senyum-senyum sendiri dijalanan masih mending. Di jalanan, cermin budaya suatu bangsa, setiap orang repot memikirkan kesibukannnya sendiri. Setidaknya kesibukannya mengemudi kalau ia nyetir sendiri.Â
Lha kalau di ruang tunggu?
Entah itu ruang tunggu di peron stasiun kereta api, terminal bus, maupun lounge di bandar udara, kita biasanya tak sanggup berkosebtrasi penuh terhadap apa pun. Termasuk di ruang tunggu pengobatan. Bukan karena ruangnnya, tapi rasa menunggu memang  membikin kosentrasi kita tentang apa  pun tak pernah tuntas. Sekelebat bertanya-tanya, mengapa di Kalimantan khasiat ranting babi bisa demikian? Dengan menggigit ranting itu, babi yang tak becus berenang seketika mampu berenang dengan puluhan babi yang mengekor sambung-menyambung. Tak tuntas. Sekelebat lagi bertanya-tanya , jika tanpa Marco Polo mungkinkah orang0orang lain para zaman abad 12-an itu tahu bahwa istana kerajaan Kublia Khan ada di Peking, yaitu Beijing sekarang?
Tak tuntas lagi. Melintas-lintas pertanyaan lain, kenapa sama-sama dari Afrika, maka kopi yang masuk dalam perjalanan sejarah memlalui Eropa menjadi kopi Robusta sedang yang masuk via Yaman dan ASia menjelma Kopi Arabika? Masih tak tuntas juga dan ujung-ujungnya balik ke pertanyaan soal mitos ranting babi: Dari mana babi tahu bahwa ranting itu punya khasiat? Dan kenapa manusia yang mengenggam ranting babi diyakini bisa kebal?
Segala kecamuk pemikiran tak pernah tuntas di penantian. Ngobrol dengan kenalan baru di perjalanan? Aduh, mau ngobrol enak bagaimana kalau situasi kejiwaan  kita sedang menunggu ketidakpastian. Menunggu yang sudah jelas-jelas kapannya, tentu masih mending. Andai penerbangan Garuda. Lion dan lain-lain selalu tepat waktu, penantian kita masih mungkin menghasilkan sesuatu yang produktif. Pemikiran kita tentang apa pun bisa relatif tuntas.  Tak Sekedar berupa lintasan-lintasan dan perca-perca perenungan yang kemudian kita lanjutkan dengan bengong dan tolah-toleh.
Nah, pas menoleh itu kita pandang seseorang dengan penampilan menarik namun sayangnya cuma senyum-senyum sendiri ke layar HP-nya, tanpa membagi senyumnya kepada kita... Adakah yang lebih menyiksa dari hal ini? Apalagi jika kita tersentak bahwa ruang tunggu bukan cuma lounge bandara... Seluruh alam semesta di dalam kehidupan ini pada dasarnya cuma waiting room.
maka masih tak akan kau bagi-bagikah senyum manismu?
Â