[LOMBAPK]
Tanpa disengaja mesin waktu berhenti pada sebuah desa yang mayoritas penduduknya bercocok tanam dan berternak hewan. Melihat kondisi alam yang masih hijau menunjukan saya berada dikisaran tahun 1970an. Udara sejuk disini benar-benar membersihkan gumpalan asap kotor hasil era industri yang mengendap diparu-paru.
Mataku hampir terpejam menikmati keindahan alam didesa ini sebelum dikagetkan oleh tangis seekor anak sapi yang terikat diatas sebuah kereta beroda dua. Agaknya dia akan dibawa oleh pemiliknya ketempat penggilingan daging.
Sungguh aneh melihat anak sapi itu. Dengan mata berduka, dia memandang burung-burung yang terbang diatasnya sambil menggumam, Tuhan...
Sepintas rasa iba terlintas dalam benakku sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan. Andai aku bisa menyelamatkan si anak sapi itu.
Sekelebat kemudian, terdengar tawa yang cukup jelas berhembus bersama angin. Tawa yang mencibir tangisan si anak sapi “hahaha mau jadi apa kau tanpa mesin penggiling daging?” Kata-kata ini membuatku mengernyitkan dahi.
“Sudahlah, jangan banyak protes, siapa suruh kau jadi anak sapi!” kata si petani. “Mengapa tak kau punyai sayap saja seperti burung supaya bisa terbang bebas mengudara?”
Kasihan anak sapi itu, begitu mudahnya dia dilenyapkan tanpa pernah tahu untuk apa. Ah bodoh, dia tidak akan pernah sadar akan kelemahanya. Berangan-angan untuk berusaha merubah keadaanya pun mustahil.
Terlalu setia menerima nasib buruk, atau mungkin dia sudah menganggapnya sebagai jalan hidup? Akupun mulai gemas dengan rengekan si anak sapi.
Seekor burungpun mempertaruhkan nyawa disaat pertama kali belajar menggunakan sayapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H