Perkembangan teknologi dan informasi memaksa manusia di abad ini membongkar kehusyukan dalam menjalankan aktivitas sosial yang menitikberatkan pada perjumpaan, saling menyapa dan berjabat tangan satu sama lain. Kebiasaan-kebiasaan interaksi yang penulis sebut sebagai interaksi tradisional telah mengalami pola-pola baru di era ini. Setiap individu kini akrab dengan pelbagai piranti teknologi digital. Nyaris setiap orang kini telah memiliki ponsel (telepon seluler) yang terhubung ke dunia imajinasi sebagai Cyberspace (ruang maya). Dahulu ponsel hanya digunakan untuk alat komunikasi secara jarak jauh kini telah bertranformasi sebagai penyedia informasi , pengetahuan sekaligus hiburan.
Salah satu media yang banyak digandrungi oleh manusia abad ini adalah media sosial, era informasi sejalan dengan perkembangan New Media yang menawarkan pengalaman dan imaji-imaji baru untuk berselancar dan berinteraksi satu sama lain. Pengguna media sosial di Indonesia merupakan salah satu yang terbanyak di dunia, dari jutaan penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-empat sebagai pengguna media sosial terbanyak di dunia.Â
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh APJII ( Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ) dan We Are Social bulan januari 2019 , pengguna aktif internet di Indonesia telah mencapai 150 juta atau sama dengan angka 56% total populasi penduduk Indonesia. Angka tersebut menegaskan bahwa kecenderungan kita sebagai manusia di era ini telah dibentuk oleh revolusi teknologi digital yang penulis sebut sebagai homodigitalis.Â
Media sosial telah membuat sebahagian manusia menjadi manusia homodigitalis yang apatis, argumentasi ini berangkat dari hilangnya ruang-ruang interaksi yang dahulu dapat menjanjikan semangat solidaritas kini harus terbatas.Â
Misalnya saja, pertemuan-pertemuan diwarung kopi telah menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, narasi tersebut sejalan dengan aktivitas kita, ketika bertemu orang dan berkumpul bersama nampaknya memegang ponsel dan ketawa terbahak-bahak tanpa melibatkan orang disekitar lebih mengasyikkan, nongkrong ditongkrongan kampus, sekolah bahkan sekretariat organisasi sudah tak menawarkan kehangatan persekongkolan diskursus kemanusiaan, justru kaku dan beku seraya menatap handphone dengan teriakan-teriakan tanpa henti ( main game ) , ritual yang dahulu dilakukan di rumah ibadah kini telah bergeser ke ruang virtual, membeli sayur keliling yang dahulu dapat menghangatkan interaksi disudut perumahan kini telah menjelma diruang online, mengucap selamat kepada seseorang tidak lagi secara langsung namun terwakilkan oleh video call dan message, dahulu nomor handphone hanya bisa diakses oleh keluarga, kini semua orang dapat mengakses bahkan memanfaatkan untuk hal-hal negatif, dahulu ketika bersilaturahmi kerumah teman selalu berjabat tangan dahulu, kini story dulu.Â
Dahulu ketika bangun tidur disibukkan dengan doa dan aktivitas olahraga serta mempersiapkan diri untuk bekerja , kini sebatas mengecek notif diponsel, dahulu ketika sebelum makan dan ketempat wisata berdoa terlebih dahulu, kini foto dulu,buat caption dan upload dulu.Â
Dahulu ketika ingin belajar agama harus ke ustadz dan ulama untuk belajar kitab-kitab klasik, kini hanya berbaring dikamar sambil menatap layar. Memang benar bahwa media sosial dan kemajuan teknologi telah membawa pengaruh besar terutama pada pola interaksi manusia dalam berkomunikasi lebih mudah, namun menurut Slouka untuk memadukan keseriusan moral dengan rasa humor yang menyenangkan, Slouka menantang para pecandu media sosial dan manusia digital (homodigitalis) yang menginginkan Cyberspace menggantikan komunitas kehidupan manusia.
Banyak para sarjana yang optimis dalam melihat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti penelitian terbaru yang dilakukan oleh Collins dan Wellman, menunjukkan argumentasi kuat bahwa perkembangan teknologi komunikasi, terutama penemuan media sosial, tidak serta merta menggantikan atau menghilangkan pola interaksi tradisional berbasis tatap muka secara fisik (direct communication) justru semakin melengkapi pola interaksi yang sudah ada. Namun, argumentasi itu telah menafikkan realitas di kehidupan manusia di era ini, sebagaimana yang telah dipaparkan beberapa kasus diatas, bahwa banyak kebiasaan-kebiasaan kita yang begitu radikal memaksa kehusyukan dalam berinteraksi justru menjadikan kita sebagai manusia yang individualistik dan apatis terhadap situasi disekitar kita. Sebut saja rasa empaty kita kepada manusia lain kini, hanya tersimpan rapi dikolom-kolom komentar media sosial, kehangatan pelukan orang tua sebatas dinding layar video call. Pendapat ini sejalan dengan apa yang kemudian dikemukakan oleh Baudrillard bahwa era ini penuh ketidakpastian, kita memang tidak bisa menolaknya namun kita bisa membatasinya. Jagat raya Cyberspace telah membawa masyarakat ke dalam pelbagai sisi realitas baru kehidupan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya yang penuh dengan harapan, kesenangan , kemudahan, pengembaraan seperti Teleshopping, Teleconference, Teledildonic, Virtual Cafe, Virtual Architecture, Cybersex sampai Cyberparty.
Hal yang perlu kita renungi bersama, apakah manusia mampu mengontrol perkembangan teknologi ? ataukah justru sekadar menjadi budak dari teknologi digital itu sendiri ? Pada akhirnya, kita semua menyadari bahwa kehadiran media sosial telah membuat sebahagian manusia menjadi anti sosial, era ini telah menyebabkan manusia kehilangan realitas masa lalu beserta kearifan yang tersimpan dibaliknya yang justru lebih baik dan berharga bagi perkembangan diri kita sebagai manusia. Seperti kedalaman, rasa kebersamaan, semangat spiritualitas, ikatan moralitas, semangat komunitas, dan semangat solidaritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H