Mohon tunggu...
Ibnu Arsib
Ibnu Arsib Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga Melati yang Melawan

1 Agustus 2022   14:55 Diperbarui: 1 Agustus 2022   15:08 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah Arini mulai memerah. Matanya berkaca-kaca. Ia coba menutupinya dengan beranjak ke dapur entah mengambil apa. Kemudian ia duduk kembali.

"Sebagai orang tua, kami khawatir kamu tak bahagia nantinya." Sang Ibu menatapnya serius.

"Ibu, Ayah," kata Arini sambil menatap keduanya dengan penuh optimisme. 

"Bukan hendak mengajari Ibu, sama Ayah, pengabdian itu keberhasilannya bukan perkataan atau puji-pujian dari orang. Pengabdian itu biarlah Tuhan sendiri yang membalasnya. Dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur hidup seadanya, itu sudah cukup bagi Arini," tatapannya lembut, pembawaannya tenang dan cahaya sungging senyumnya tidak pernah padam.

"Lihat itu si Tika, anaknya Bu Ayu. Selesai kuliah ia bekerja di kota. Gajinya besar dan kalau pulang sudah membawa mobil. Masyarakat di sini pun sangat menghormati mereka," Sang Ibu membandingkan.

"Setiap orang berbeda pilihannya, Bu. Arini, tidak ingin bekerja di kota atau mengajar di kota, karena di desaku sendiri masih sangat tertinggal pendidikannya."

"Di kampung ini, kamu bisa buat apa Paling-paling kamu bisanya ngajar aja," ketus ayahnya.

"Seperti yang Arini katakan tadi, Ayah. Arini juga 'kan buat les gratis," lagi-lagi ia tersenyum tipis rasa manis.

"Udah gaji sedikit, malah buat les gratis," kata Ibunya agak sinis. "Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayai les gratismu itu? Itukan membutuhkan uang juga?" tanya ibunya menambahi.

"Membutuhkan biaya, tapi tidak banyak, Bu." Sebenarnya orang tua Arini malu kepada masyarakat karena Arini sudah sarjana, pilihannya malah tinggal di kampung. Di desa Arini, masyarakatnya masih berpikiran terbelakang. Mereka menganggap kalau sudah sarjana jangan tinggal lagi di kampung, tapi menetap lah di kota.

Kedua orang tuanya juga khawatir jika putri mereka itu tinggal di desa, siapa yang menjadi suaminya. Sebagai perempuan yang sudah mendapat gelar sarjana, seharusnya ia juga mendapatkan suami seorang sarjana juga. Bagaimana nanti mereka menjawab pertanyaan masyarakat terbelakang itu; sarjana kok suaminya tidak sarjana? Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau masih tinggal di desa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun