Mohon tunggu...
Ibnu Aghniya
Ibnu Aghniya Mohon Tunggu... Sejarawan - Penikmat Sejarah

Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Pendiri Komunitas Suluh Sejarah (pengkajian dan penulisan sejarah)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaoem Moeda, Anda Ditunggu!

30 Maret 2020   19:13 Diperbarui: 30 Maret 2020   19:07 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang lintasan sejarah dunia, hampir seluruh perubahan besar yang terjadi dipelopori oleh kaum muda berikut semangat militannya. Berbekal dengan tenaga yang masih segar dan semangat menggebu, kaum muda memiliki modal besar untuk mengadakan perubahan yang disasar.

Tak perlu jauh-jauh, di Indonesia hampir setiap terjadinya pergolakan politik pun pasti dimotori oleh para pemuda. Revolusi 1945, Peristiwa 1965-1966, dan Reformasi 1998, aktor di belakangnya didominasi oleh kaum muda. Ini dapat dipastikan.

Jika diamati lebih lanjut, perubahan besar biasanya merupakan perpaduan pas antara kondisi yang memprihatinkan dengan kaum muda yang progresif, baik dalam hal semangat maupun pemikiran.

Pada era penjajahan dulu kita disuguhi oleh kisah betapa revolusionernya pemuda Semaoen yang berumur belasan tahun namun mampu memimpin pemogokan ribuan buruh. 

Kemudian sosok lain yang tak kalah membanggakannya adalah pemuda Hatta yang baru berusia dua puluhan ketika berhasil mempermalukan jurist-jurist berpengalaman di pengadilan  Den Haag, tepat di jantung kolonialisme Belanda berada.

Dua teladan tadi merupakan sosok muda progresif yang ideal, segar dalam semangat, matang dalam pemikiran. Tapi menurut pandangan kami, modal ke-progresif-an tadi belumlah cukup. Masih ada satu prasyarat yang dibutuhkan untuk menciptakan perubahan besar, yaitu: permasalahan.

Permasalahan di sini jangan dipandang sebagai potongan-potongan kesusahan masyarakat yang minta diselesaikan lewat cara-cara parsial. Tapi permasalahan itu haruslah ditilik sebagai suatu konsekuensi dari penerapan sistem jahat yang merusak. 

Kenaikan harga-harga bahan pokok, pencabutan subsidi bahan bakar, pelemahan lembaga anti-korupsi, hingga ketiadaan jaminan kesehatan, harus dilihat dari frame yang luas.

Tidak bisa ia dilihat dari; mahalnya harga bahan pokok sendiri, mahalnya biaya pendidikan sendiri, dan mahalnya ongkos kesehatan sendiri. Tidak bisa! 

Kemelaratan yang terjadi secara merata di seluruh sektor kehidupan ditambah berlangsung terus-menerus, bukanlah permasalahan parsial, tapi itu adalah hasil dari penerapan sistem yang jahat!

Hari ini, menurut pengamatan kami kaum muda sebagai pelopor alamiah dari perubahan (seperti yang telah dijelaskan semula), terpecah dalam tiga kelompok besar. 

Pertama, kaum muda yang memang tak tahu-menahu dan tidak mau tahu dengan keadaan. Golongan ini yang biasa dikenal sebagai kaum muda apatis. Kedua, kaum muda yang tergerak oleh keadaan kemudian berusaha mengadakan perubahan, namun masih sebatas perjuangan parsial. 

Dan ketiga, kaum muda yang memang memahami bahwa keadaan susah di tengah rakyat ini merupakan hasil dari penerapan sistem yang jahat, maka perubahan pun harus dilakukan secara radikal. Kelompok ini bolehlah kita namai kaum muda ideologis.

Sayangnya, seperti telah kita ketahui bersama bahwa dari ketiga kelompok kaum muda tadi, prosentase jumlah terbesar masih berada pada kelompok pertama, pada anak-anak muda yang hidupnya hanya mau mengikut arus dan mengalir bagai air. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga, jumlahnya masih kecil sekali, ditambah mereka masih bersifat sangat elitis.

Kelompok-kelompok ini masih terbuai dengan "gaya kampus" yang teoritis dan senang sekali tenggelam dalam diskusi-diskusi berbahasa akademik. Padahal mitra perubahan mereka, yakni rakyat kecil yang jumlahnya berjubel itu, tidak "secerdas" mereka-mereka itu. 

Sudah semestinyalah kaum muda yang progresif tadi mampu menerjemahkan gagasan-gagasan besar yang terbungkus dalam teori akademik tadi, ke dalam bahasa sederhana yang bisa dipahami orang banyak. 

Dalam hal ini tengoklah betapa cerdasnya Sukarno muda yang mampu mengartikulasikan gagasan-gagasan berat dari filsuf Barat ke dalam bahasa wong cilik, baik lewat orasi maupun tulisan.

Jadi, jika memang kita setuju bahwa keadaan hari ini sedang tidak baik-baik saja, PR terbesar bagi kaum muda sekarang adalah membangun barisan yang solid dan militan, untuk kemudian terjun langsung bersama masyarakat, bergandeng tangan dengan rakyat kecil, tak risih berjuang bersama si miskin. Kalau PR tadi bisa dirampungkan, sungguh teman, sistem jahat yang berlindung dibalik otoritas kekuasaan itu pasti akan gemetar!

Sekianlah Pembaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun