Mohon tunggu...
Ibnu Aghniya
Ibnu Aghniya Mohon Tunggu... Sejarawan - Penikmat Sejarah

Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Pendiri Komunitas Suluh Sejarah (pengkajian dan penulisan sejarah)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Goresan Pena Para Idealis

24 Februari 2019   20:00 Diperbarui: 24 Februari 2019   21:25 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

M.C. Ricklefs di dalam bukunya berjudul Sejarah Indonesia Modern, mengidentifikasi bahwa terdapat 3 arus utama pemikiran yang melandasi semangat pergerakan nasional. 

Nasionalisme, Komunisme, dan Islam adalah ketiga pemikiran arus utama tersebut. Dalam lembaran sejarah, ketiga ideologi tersebut pernah menunjukkan hubungan pasang-surut yang ditandai oleh berbagai peristiwa.

Komunisme dan Islam pertama-tama muncul dalam arena pergerakan nasional dengan prahara didalam Sarekat Islam (SI) yang menjadi ajang rivalitas keduanya. Kemunculan Sarekat Rakyat dan Perserikatan Komunis di Hindia tak dapat dilepaskan dari perpecahan didalam tubuh SI.

Tan Malaka, Semaoen, Alimin, dan kawan-kawan "lahir" dari situasi yang demikian. Mereka jadi pribumi yang mula-mula menyalakan suluh Komunisme di Indonesia. Sedangkan Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, dan lain sebagainya, merupakan produk murni ideologi Islam pra-kemerdekaan.

Adapun Nasionalisme baru secara terang-terangan menampakkan sepak terjangnya kala Sukarno bersama PNI-nya vokal mempropagandakan gagasan "ibu pertiwi Indonesia". Ditambah kiprah Hatta, Sjahrir, dan kawan-kawan Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda yang juga berfaham Nasionalisme, semakin mempopulerkan gagasan Indonesia sebagai kesatuan bangsa.

Tentu orang-orang besar yang mewakili ketiga ideologi utama semasa pergerakan tersebut bukan lalu begitu saja dalam guratan sejarah. Mereka meninggalkan pusaka berupa karya-karya yang ditujukan untuk memengaruhi massa sekaligus menyerang praktik kolonialisme.

Nasionalisme patut berbangga sebab memiliki kader hebat sekaliber Sukarno dan Hatta yang kelak menjadi Proklamator negeri ini. Risalah Mencapai Indonesia Merdeka, Surat-surat dari Ende, dan beberapa lainnya, adalah warisan Sukarno semasa pergerakan yang menarik untuk dianalisis. Sebagai seorang nasionalis tulen, Sukarno didalam karya-karyanya selalu mengangkat tema utama berkenaan dengan gagasan kebangsaan, tanah air, dan kesatuan nasional.

Ditambah dengan racikan ideologi Marhaenisme ciptaannya, membuat tulisan-tulisannya kian berwarna. Pendapat Wawan Tunggul Alam di dalam bukunya Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno vs Hatta yang menyatakan bahwa keunggulan Sukarno adalah kemampuannya dalam menerjemahkan gagasan-gagasan rumit ke dalam bahasa sederhana dan mudah dipahami banyak orang, nampaknya memang benar adanya. 

Sulit sekali mencari tulisan-tulisan Sukarno yang tak dibumbui metafor-metafor. Bahkan, tak jarang sisipan-sisipan jenaka kerap pula dijumpai. Berkat keunggulannya tersebut, tak heran bila sosok yang satu ini berhasil menjadi tokoh terpopuler di negeri ini sekaligus pula mengangkat paham yang diusungnya menjadi yang terdepan diantara 2 ideologi lain.

Lain Sukarno, lain pula Hatta. Meski sama-sama berideologikan paham Nasionalisme, keduanya memiliki corak dan kekhasan tulisan yang berbeda. 3 jilid memoarnya yang diberi judul Untuk Negeriku, brosur Demokrasi Kita yang terbit pada masa Demokrasi Terpimpin, dan karya-karya lain, menyiratkan bahwa putra kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini adalah orang yang serius sekaligus kaku. 

Gaya bahasanya yang lugas dan to the point boleh jadi dipengaruhi sikap dan pendidikan Barat yang lugas. Selain memang Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang zakelijk dan amat disiplin (terbukti dengan banyaknya keterangan tanggal, bulan, tahun, bahkan jam untuk menunjukkan suatu peristiwa), turut membentuk corak tulisannya.

Berbeda dengan kawan-kawan seperjuangannya yang mengusung Nasionalisme sebagai paham pergerakan, kader-kader kiri di Indonesia tentu mempunyai corak dan gaya tulisan yang berbeda pula. Meskipun barangkali tidak seproduktif para kader Nasionalisme dalam menulis karena lebih sibuk terjun ke lapangan menggelar massa aksi, tapi bukan berarti tokoh-tokoh Komunis kekurangan keandalan dalam menyusun ide-ide.

Adalah Tan Malaka yang bisa diajukan sebagai perwakilan golongan Komunis dalam urusan tulis-menulis. Meski hampir menghabiskan separuh hidupnya untuk bersembunyi dalam pelarian, Tan adalah seorang penulis produktif. 

Buku-buku maupun artikel-artikelnya bertebaran dimana-mana. Naar De Republiek Indonesia (1925), Massa Actie (1926), Manifesto Jakarta (1945), dan lain-lain bisa menjadi bukti sahih akan tesis tersebut. Tapi seperti layaknya kader-kader Komunis dengan gaya revolusioner dan radikal, maka tulisan-tulisan Tan pun tak luput dari corak tersebut. Pertentangan Kelas dan membongkar tatanan masyrakat lama adalah tema yang diulang-ulang oleh tokoh yang wafat ditembak pada tahun 1947 ini.

Sedangkan tokoh kiri lain seperti Semaoen meninggalkan karya yang cukup menarik untuk dikaji tentu adalah Hikayat Kadiroen yang terbit tahun 1920. Karya fiksi ala Semaoen ini menyuguhkan potret kehidupan sehari-hari rakyat kecil dengan tetap menjunjung idelisme paham yang dianutnya.

Berbeda dengan dua ideologi netral agama diatas (Nasionalisme dan Komunisme), ideologi Islam yang diperjuangkan tokoh-tokoh semacam Haji Agus Salim, A.Hassan, dan Mohammad Natsir, menampilkan corak dan kekhasan tersendiri. 

Dari tokoh-tokoh pengusung ideologi Islam di negeri ini barangkali sosok Mohammad Natsir adalah orang yang tepat untuk dijadikan "perwakilan". Kumpulan tulisannya di beberapa surat kabar dihimpun dan diterbitkan kembali untuk kemudian diberi judul Capita Selecta yang ada 2 jilid. 

Tema yang diangkat anak kelahiran Alahan Panjang tahun 1909 ini sangat beragam. Mulai dari pendidikan, agama, filsafat, ketatanegaraan, dan tentu saja soal-soal politik. Tapi meski beragam, satu yang menyatukan tema-tema tersebut adalah gagasan "impelementasi hukum-hukum Tuhan kedalam setiap aspek kehidupan". 

Hukum-hukum Tuhan yang dimaksud tentu saja adalah gagasan Hukum Islam. Natsir berulang kali menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dan politik (sekularisme). Ia mengajukan dalil-dalil normatif, historis, maupun empiris, untuk memperkuat argumentasinya. Maka tak heran, Perdana Menteri asal Partai Masyumi ini pada periode 1930-an hingga awal 1940-an berpolemik hebat dengan Sukarno soal Islam dan Negara.

Walhasil, perbedaan corak dan kekhasan tulisan-tulisan para tokoh lintas-ideologi itu pada hakikatnya memberikan kepada generasi penerus khazanah intelektual yang amat besar nilainya. Pengetahuan tersebut menjadi stok bagi anak negeri untuk menemukan ramuan yang tepat dalam meracik kemajuan Indonesia pada masa kini dan nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun