Apresiasi vs Reparasi di Cybersastra
Oleh: Ibnu Din Assingkiri
"Kata-kata terbaik dalam susunan yang terbaik," merupakan definisi sajak yang cukup populer.Ini adalah tanggapan Samuel Taylor Coleridge. Untuk mencapai tahap ini tentulah memerlukan latihan praktikal dan pembelajaran berterusan dalam kerja penulisan. Cybersastra telah menjadi platform terbaik untuk penulis berkarya di situs, blog peribadi atau grup cybersastra dan mendapat maklumbalas cepat (untuk tujuan pembaikan tentunya) melalui masukan, apresiasi, kritikan dan saran terhadap karya tulis. Platform ini juga telah menemukan penulis dengan pola dan keragaman bahasa dari berbagai daerah di Nusantara Raya.
Kritik sastra adalah suatu elemen yang penting dalam menambah ilmu kepada penulis. Hakikatnya, karya tulis adalah produk dan mempunyai pelanggan (customer) iaitu khalayak audiens yang terdiri dari pembaca, penikmat dan pemerhati karya sastra. Adalah menjadi kewajiban penulis untuk mendengar kritikan dan mengambil tindakan pembetulan wajar demi mencapai kemajuan yang berterusan di dalam bidang penulisan. Karya sastra juga merupakan media komunikasi di antara penulis dan aundiens. Demi melengkapkan kitaran komunikasi, harus diadakan sesi maklumbalas melalui komunikasi antara penikmat dan pengkarya. Ini telahpun berjalan dengan lancar di grup-grup cybersastra melalui komentar yang menjadi saluran komunikasi....
Ramai penggiat cybersastra memilih kritik sastra yang dikembangkan H.B. Jassin yang umumnya bersifat edukatif dan apresiatif, serta lebih mementingkan “kepekaan dan perasaan” daripada teori ilmiah sastra. Stail kritikan begini bukan sahaja membina generasi penulis yang produktif, malah menyuburkan budaya sastra dalam kehidupan para penulis cybersastra yang rata-rata mempunyai latar-belakang pendidikan non-sastra atau juga sebagai penulis pemula. Namun begitu, ada juga yang giat mereparasi karya orang lain, dan ada pula yang memaksa orang memohon reparasi karya..., aduhai!
Kecenderungan mereparasi karya orang lain terhasil dari rasa ‘unggul’ yakni dari segi pengalaman atau taraf pengetahuan dalam bidang kesusastraan. Seseorang itu merasakan beliau lebih tinggi ilmu dan pengalaman dari orang lain, maka beliau berhak mereparasi karya yang dibacanya. Sesungguhnya niat murni boleh disalahtafsirkan dan mengundang perkara yang tak diingini. Kadangkala seseorang yang terbiasa mengajar (mungkin beliau seorang guru atau pengajar) akan bertindak mengkritik dengan cara menggurui. Akhirnya kritikan itu menjadi sebuah reparasi karya. Di sini telah terjadi ketidakwajaran, karena kritikan itu hanya didasari teori dan konvensi, sedangkan telah wujud sejak sekian lama apa yang dipanggil “kesusastraan sebagai pengalaman” seperti yang ditegaskan oleh D.H Lawrence. Ia bersifat individu, yang banyak mementingkan perasaan pengkarya ketika menulisnya. Seseorang pengkritik itu seharusnya beremosi dalam setiap watak dan kisah yang ingin dihayati. Kerja mengkritik tidak semudah menyanggah pelanggaran teori dan konvensi. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Roger Webster (1996), “...aktiviti dan amalan kritikan sastra dan teori sastra itu berpotensi menimbulkan kekeliruan.”
Inilah yang dikatakan niat murni untuk ‘mendidik’ dan ‘menggurui’ penulis pemula (atau yang dianggap pemula) akhirnya menjadi satu setback di pihak pengkritik yang akan dianggap tidak mampu menghayati “kesusastraan sebagai pengalaman” dan kritikannya tersasar karena hanya mengkaji teks sastra berdasarkan teori dan konvensi sedia ada. Bila keadaan ini terjadi, hubungan antara pengkarya dan pengkritik menjadi tegang dan mungkin juga menghasilkan polemik yang berlarutan.
Menurut opini pribadi saya, jika karya tulis diukur dan disukat terlalu ketat dengan hukum-hukum penulisan, ia bukan saja berat sebelah, malah akan menyekat perkembangan sastra itu sendiri. Ilmu dan skil kepenyairan yang dititipkan di setiap kritik dan saran haruslah dicermati agar tidak membunuh semangat menulis. Jika pengkritik itu mengambil pendekatan apresiasi, meminta ‘kejanggalan’ penulisan dicerahkan oleh penulis, mungkin juga proses menikmati puisi jadi lebih enak. Mungkin juga akhirnya pengkiritik juga bertambah peka terhadap tanggapan penulis tentang kehidupan yang dilakarnya di kanvas puisi. Mungkin juga akhirnya pengkritik tahu tentang mengapa warna bahasanya sedemikian rupa dan berlainan dari kebiasaan. Inilah kecanggihan cybersastra yang begitu interaktif dan memudahkan komunikasi.
Kemampuan berdaya saing seiring dengan piawai kesastraan, teori-teori dan konvensi-konvensi yang dikehendaki oleh arus perdana adalah sebuah pilihan. Jika penulis tidak mau bersaing dan hanya ingin kekal indie dan berada di dunia cybersastra sahaja, bagaimana pula? Bagaimana pula jika penulis ingin mengambil masa berproses dan mengenali jati kepenyairannya melalui multi-expression dan bermain dengan kewenangan licentia poetica yang diperbolehkan? Sebagai manusia berjiwa halus, penulis juga berhak berekspresi sesuka hatinya. Bukankah penulis cybersastra berhak sepenuhnya membentuk pola komunikasi puitik yang diinginkannya. Bukankah mereka juga merupakan editor karya mereka sendiri? Bukankah mereka berhak memilih untuk merdeka? Merdeka untuk menulis sebebasnya atau apapun namanya selagi tidak melanggar batas-batas susila dan syariat. Tentu saja boleh bukan?
Para penulis dan penggiat cybersastra bukanlah kelompok yang sombong dan tidak boleh ditegur. Namun tentu saja ada perbedaan pendapat di antara orang lama yang terbiasa dengan teori dan konvensi arus perdana dengan penulis cybersastra yang terdiri dari pemikir-pemikir baru (dan juga lama) yang berkarya dan mengapresiasi karya dengan cara yang agak berlainan dan mungkin menimbulkan percanggahan pendapat. Adalah lebih baik jikalau para pengkritik tidak terus bertindak mereparasi karya sebelum didasarkan kepada ‘kesusastraan sebagai pengalaman” sebagai penanda aras (“benchmark”) yang baru. Hubungan penulis-pengkritik tidak mungkin dapat dipisahkan laksana aur dengan tebing, saling melengkap kewujudan masing-masing...Sastra itu sangat indah. Marilah sama-sama menikmati keindahan cybersastra, sastra untuk semua, tanpa kasta, tanpa sempadan georafi, masa depan sastra kita semua.
Referensi:
Roger Webster (1996). Studying Literary Theory: An Introduction Second Edition. Great Britain: Arnold
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H