Problematika perdagangan ikan hiu bisa ditinjau dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (SDGs). Hal itu dikarenakan perdagangan ikan hiu bukanlah masalah yang menyangkut internal negara saja, melainkan telah menjadi permasalahan global, yang mana setiap negara di seluruh dunia wajib bekerjasama untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dilihat dari 17 tujuan yang ingin dicapai dari SDGs, perdagangan ikan hiu tidak sesuai dengan tujuan SDGs No. 14, yaitu menjaga ekosistem laut.Â
Dikatakan demikian, lantaran perdagangan ikan hiu sangat erat kaitannya dengan penangkapan ikan yang berlebihan (over exploitation), yang mana ikan hiu nantinya akan semakin banyak berkurang dan tidak menutup kemungkinan ikan hiu akan punah. Apabila ikan hiu punah maka kesimbangan ekosistem laut akan terganggu lantaran ikan hiu adalah predator teratas dalam rantai makanan.Â
Bila hal itu terjadi, maka ekosistem perairan laut akan didominasi oleh ikan-ikan besar yang nantinya menyebabkan ikan-ikan kecil ikut mengalami kepunahan. Tidak hanya itu, punahnya ikan hiu bisa mengakibatkan kondisi perairan laut menjadi tidak sehat, lantaran ikan-ikan kecil yang telah lanjut usia, sakit, dan lemah yang seharusnya di makan oleh ikan hiu menjadi penyebar penyakit di lautan.Â
Sehingga secara tidak langsung kepunahan ikan hiu akan mempengaruhi kehidupan manusia, terutama bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya dari penangkapan ikan dan pariwisata ikan hiu.
Perdagangan ikan hiu yang dipicu oleh permintaan pasar yang tinggi, tentunya akan menghambat target pencapaian ekosistem laut berkelanjutan, yakni menghentikan penangkapan ikan secara ilegal dan berlebihan serta mengelola dan melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan.Â
Akan tetapi, ironisnya adalah Indonesia salah satu kontributor produksi ikan hiu terbesar di dunia, yaitu sebanyak 12,31% atau 88.790 ton/tahun (Dondi, 2021). Namun disisi lain, perdangan ikan hiu membawa keuntungan yang besar bagi seluruh pihak yang terlibat, seperti nelayan, pengepul pembeli domestik, ataupun eksportir.Â
Dari hal tersebut bisa dipahami secara seksama bahwasannya, penyebab utama dari meningkatnya penangkapan ikan hiu untuk di perjualbelikan adalah para nelayan tidak memiliki pemahaman yang baik tentang ikan hiu.Â
Namun disisi lain, perlindungan ikan hiu yang termasuk kedalam kategori satwa liar dilindungi, masih belum mendapatkan perhatian hukum yang tegas dan optimal dari pemerintah Indonesia. Tentu saja regulasi perlindungan ikan hiu sangatlah penting dilakukan, mengingat populasi ikan hiu semakin menurun.
Menurunnya populasi ikan hiu bisa mengakibatkan aktivitas pariwisata yang berhubungan dengan ikan hiu kian menurun. Padahal ikan hiu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung. Ketika minat pengunjung berkurang, secara tidak langsung akan mengalami penurunan pendapatan, baik dari tempat wisatanya, restoran yang ada di dalamnya, maupun para nelayan yang menangkap ikan hiu untuk diolah oleh restoran.Â
Tentu saja hal tersebut berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang padahal penangkapan dan perdagangan ikan hiu adalah hal yang dilarang.Â
Disatu sisi penangkapan dan perdagangan ikan hiu bisa membawa dampak ekonomi bagi para nelayan, pengepul, pariwisata, restoran, maupun eksportir, disisi lain pula menurunnya atau bahkan punahnya ikan hiu bisa berdampak kepada ekosistem laut.Â
Ketika ekosistem laut tidak seimbang maka akan berakibat pada munculnya penyakit baru di laut, yang disebabkan oleh ikan-ikan kecil yang mati dan membawa virus atau bakteri di laut.Â
Bila hal itu terjadi maka kesehatan manusia nantinya akan terganggu dan bisa menimbulkan suatu masalah baru bagi umat manusia. Masalah baru tentang kesehatan nantinya akan menghambat pencapaian target dari tujuan SDGs No. 3, yaitu kesehatan yang baik dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan penangkapan dan perdagangan ikan hiu di Indonesia, pemerintah kemudian mengambil suatu kebijakan untuk meregulasi perlindungan hiu.Â
Dilansir melalui Tirto (2017), Indonesia melakukan ratifikasi CITES melalui Keppres No. 45/1978 yang tujuannya adalah untuk melindungi satwa langka terancam punah dan memastikan bahwa hasil laut Indonesia bisa diterima di pasar global.
 Lebih lanjut Effendi dalam Made dan Reni (2021: 143) menjelaskan bahwa, penetapan Peraturan Menteri KP Nomor 4 Tahun 2010 menjadikan perdagangan ikan hiu perlu memiliki SAJI-LN (Surat Angkut Jenis Ikan Luar Negeri) bagi importir, izin SAJI-DN (Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri) bagi eksportir, dan Izin Penangkapan Ikan Hiu bagi nelayan.Â
Kemudian, Zaka dan Sholahuddin (2017: 229) menjelaskan bahwa, regulasi hiu telah diterapkan di tingkat daerah, yaitu di Kabupaten Raja Ampat dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat No. 9 tahun 2012 tentang Pelarangan Penangkapan Hiu, Pari Manta, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat.Â
Dari regulasi-regulasi di atas dapat dikatakan bahwa, sebelum adanya tujuan SDGs No. 14, pemerintah telah memiliki komitmen untuk menjaga ekosistem laut Indonesia, namun ketika SDGs itu hadir pemerintah kemudian berupaya untuk mengkonservasi laut guna untuk mencapai tujuan SDGs No. 14, yaitu pada tahun 2020 Indonesia bertujuan untuk mengkonservasi setidaknya 10% dari area pesisir laut dan konsisten dengan hukum nasional maupun internasional.Â
Ditjen PRL dalam Loka Pengelolaan SD Pesisir & Laut Sorong (2020) menerangkan bahwa, pada tahun 2019 konservasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil telah mencapai 7,2%, artinya perairan kelautan Indonesia telah menuju keberlanjutan. Dengan demikian, maka Indonesia bisa memanfaatkan hasil laut bukan hanya dari komoditas ikan hiu saja, melainkan bisa dari hasil laut lainnya, seperti penangkapan ikan-ikan kecil, pariwisata, tambak udang, tambak garam, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemaparan dari paragraf-paragraf sebelumnya bisa disimpulkan bahwa, permasalahan perdagangan ikan hiu yang juga memiliki keterkaitan dengan penangkapan ikan hiu secara besar-besaran, bisa berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem laut. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan SDGs No. 14, yaitu menjaga ekosistem laut yang berkelanjutan.Â
Ketidakberlanjutan ekosistem laut akibat perdagangan ikan hiu bisa berdampak kepada manusia pula, seperti menurunnya hasil ekonomi masyarakat (terutama nelayan) dan penyebaran jenis penyakit baru akibat ikan-ikan kecil yang terkena penyakit.Â
Sebelum adanya SDGs, pemerintah telah berupaya untuk mengatasi perdagangan dan penangkapan hiu yang merusak kelestarian ekosistem laut, dengan meratifikasi CITES melalui Keppres No. 45/1978, penetapan Peraturan Menteri KP Nomor 4 Tahun 2010, dan Perda Kabupaten Raja Ampat No. 9 tahun 2012 tentang Pelarangan Pari Manta, Penangkapan Ikan Hiu, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat.Â
Namun, dengan adanya SDGs pemerintah telah melakukan konservasi perairan laut Indonesia dan di tahun 2019, Indonesia telah mengkonservasi sebanyak 7,2% dari 10% target atau tujuan yang ingin dicapai di tahun 2020.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Z. F., & Al-Fatih, S. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Ikan Hiu Dan Ikan Pari Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem Laut Indonesia. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 24(2). Diambil dari ejournal.umm.ac.id
Anonim. (2020). Dukungan Pemerintah Provinsi Papua Barat Dalam Bidang Konservasi Untuk Mencapai Tujuan Sdgs Ke 14 Menjaga Ekosistem Laut. Loka Pengelolaan SD Pesisir & Laut Sorong. Diambil dari kkp.go.id
Aulia, M. A. A., & Windiani, R. (2021). Peran Pemerintah dalam Perlindungan Hiu di Indonesia. Journal of International Relations, 7(3). Diambil dari ejournal3.undip.ac.id
Dondi. (2021). KKP Kelola Biodiversity Hiu dan Pari di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Diambil dari kkp.go.id
Irfan, M. F. R. (2017). Upaya Melindungi Hiu demi Lestari Ekosistem Laut. Tirto.id. Diambil daritirto.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H