Disatu sisi penangkapan dan perdagangan ikan hiu bisa membawa dampak ekonomi bagi para nelayan, pengepul, pariwisata, restoran, maupun eksportir, disisi lain pula menurunnya atau bahkan punahnya ikan hiu bisa berdampak kepada ekosistem laut.Â
Ketika ekosistem laut tidak seimbang maka akan berakibat pada munculnya penyakit baru di laut, yang disebabkan oleh ikan-ikan kecil yang mati dan membawa virus atau bakteri di laut.Â
Bila hal itu terjadi maka kesehatan manusia nantinya akan terganggu dan bisa menimbulkan suatu masalah baru bagi umat manusia. Masalah baru tentang kesehatan nantinya akan menghambat pencapaian target dari tujuan SDGs No. 3, yaitu kesehatan yang baik dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan penangkapan dan perdagangan ikan hiu di Indonesia, pemerintah kemudian mengambil suatu kebijakan untuk meregulasi perlindungan hiu.Â
Dilansir melalui Tirto (2017), Indonesia melakukan ratifikasi CITES melalui Keppres No. 45/1978 yang tujuannya adalah untuk melindungi satwa langka terancam punah dan memastikan bahwa hasil laut Indonesia bisa diterima di pasar global.
 Lebih lanjut Effendi dalam Made dan Reni (2021: 143) menjelaskan bahwa, penetapan Peraturan Menteri KP Nomor 4 Tahun 2010 menjadikan perdagangan ikan hiu perlu memiliki SAJI-LN (Surat Angkut Jenis Ikan Luar Negeri) bagi importir, izin SAJI-DN (Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri) bagi eksportir, dan Izin Penangkapan Ikan Hiu bagi nelayan.Â
Kemudian, Zaka dan Sholahuddin (2017: 229) menjelaskan bahwa, regulasi hiu telah diterapkan di tingkat daerah, yaitu di Kabupaten Raja Ampat dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat No. 9 tahun 2012 tentang Pelarangan Penangkapan Hiu, Pari Manta, dan jenis-jenis ikan tertentu di perairan laut Raja Ampat.Â
Dari regulasi-regulasi di atas dapat dikatakan bahwa, sebelum adanya tujuan SDGs No. 14, pemerintah telah memiliki komitmen untuk menjaga ekosistem laut Indonesia, namun ketika SDGs itu hadir pemerintah kemudian berupaya untuk mengkonservasi laut guna untuk mencapai tujuan SDGs No. 14, yaitu pada tahun 2020 Indonesia bertujuan untuk mengkonservasi setidaknya 10% dari area pesisir laut dan konsisten dengan hukum nasional maupun internasional.Â
Ditjen PRL dalam Loka Pengelolaan SD Pesisir & Laut Sorong (2020) menerangkan bahwa, pada tahun 2019 konservasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil telah mencapai 7,2%, artinya perairan kelautan Indonesia telah menuju keberlanjutan. Dengan demikian, maka Indonesia bisa memanfaatkan hasil laut bukan hanya dari komoditas ikan hiu saja, melainkan bisa dari hasil laut lainnya, seperti penangkapan ikan-ikan kecil, pariwisata, tambak udang, tambak garam, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pemaparan dari paragraf-paragraf sebelumnya bisa disimpulkan bahwa, permasalahan perdagangan ikan hiu yang juga memiliki keterkaitan dengan penangkapan ikan hiu secara besar-besaran, bisa berakibat pada ketidakseimbangan ekosistem laut. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan SDGs No. 14, yaitu menjaga ekosistem laut yang berkelanjutan.Â
Ketidakberlanjutan ekosistem laut akibat perdagangan ikan hiu bisa berdampak kepada manusia pula, seperti menurunnya hasil ekonomi masyarakat (terutama nelayan) dan penyebaran jenis penyakit baru akibat ikan-ikan kecil yang terkena penyakit.Â