Mohon tunggu...
Hudriansyah Rahman
Hudriansyah Rahman Mohon Tunggu... Dosen - Menulislah maka engkau abadi

“When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace.” [Jimi Hendrix]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggugat "Budaya Damai"

12 Februari 2011   02:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:41 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kita disuguhi pemandangan miris tentang aksi kekerasan atas nama agama yang ramai diberitakan media. Insiden Cikeusik [minggu, 06/02/2011] disusul kerusuhan di sidang kasus penodaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung [selasa, 08/02/2011] yang berakhir dengan pembakaran dan perusakan tiga gereja semakin menambah deretan panjang luka-luka kemanusian di negeri ini. Fenomena kekerasan agama atau yang berlabel agama sebenarnya bukanlah perkara baru di negeri ini. Bahkan sejak 29 tahun silam, Koentjaraningat telah mewanti-wanti akan bahaya laten konflik tersebut yang jika dibiarkan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Dalam kacamata Koentjaraningat, setidaknya ada empat masalah pokok yang harus diselesaikan negara jika menginginkan negeri ini damai; (a) mempersatukan aneka-warna sukubangsa; (b) hubungan antarumat beragama; (c) hubungan mayoritas-minoritas, dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya (kini Papua) dengan kebudayaan Indonesia (1982:345-346). Namun, 29 tahun berlalu masalah tersebut sepertinya tak juga menemui titik terang. Negara sepertinya mengabaikan pesan-pesan itu sejak lama. Bahkan negara yang seharusnya memberikan jaminan hidup dan rasa aman bagi setiap warganya seperti dikebiri dan kehilangan power. Maka tidak heran jika banyak kalangan yang merasa terkhianati dan kehilangan kepercayaan kepada negara bahkan agama itu sendiri.

Mempertanyakan Posisi Agama

Di tengah maraknya aksi kekerasan antarumat beragama, antar kaum mayoritas-minoritas, posisi agama patut kembali dipertanyakan. Apakah agama masih bisa menjadi sumber perdamaian atau justru agama telah menjadi alat politisasi yang mematikan di negeri ini. Sejak lama, isu agama sebagai sumber konflik telah menjadi salah satu perdebatan panjang di kalangan akademisi dalam bidang kajian agama. Agama bahkan seringkali dituduh sebagai salah satu faktor pemicu timbulnya konflik. Tidak mengherankan jika kemudian ada yang meminta agar agama diletakkan di ruang private, disembunyikan dari ruang publik agar terhindar dari politisasi agama. Namun, pandangan-pandangan yang dianggap masih dalam perdebatan itu turut memicu reaksi dari berbagai kalangan. Orang-orang yang cenderung menyalahkan agama didebat untuk memberikan pemahaman lebih spesifik tentang arti agama di ruang private dan agama di ruang publik, karena penjelasan tentang itu akan memperjelas dimana seharusnya agama diposisikan.

Tindakan-tindakan anarkis berbau agama seperti yang terjadi dalam insiden Cikeusik dan Temanggung juga membuat banyak orang kembali bertanya apakah agama itu baik atau jahat. Charles Kimball (2002) dalam bukunya When Religion Becomes Evil menegaskan bahwa jawaban atas pertanyaan itu bisa TIDAK tetapi bisa juga YA. Kimball menegaskan dengan logika sederhana bahwa "guns don't kill people; people kill people" – bahwa bukan senjata yang membunuh manusia, tetapi manusialah yang memegang dan menarik pelatuk senjata itu. Di sini Kimbal ingin menunjukan bahwa agama pada dasarnya baik dan tidak bisa dipersalahkan. Jika kemudian terjadi clash antar-agama, menguatnya prasangka negatif antar kelompok, hingga munculnya tindak kekerasan akibat relasi yang buruk pertama-tama dan terutama adalah persoalan para penganut agama-agama, dan lebih khusus bagi, persoalan para 'pemegang' atau 'pengendali' agama-agama, yaitu para pemimpin agama-agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa di tangan para pemimpin agama, sebuah agama bisa menjadi oase iman yang menyejukan. Namun, di sisi lain agama juga berpotensi menjadi sarana pembibitan kekerasan dan radikalisme, menjadi sumber malapetaka bagi siapa saja. Di situlah kemudian citra agama menjadi buruk.

Dari sini kita bisa melihat bahwa budaya radikalisme dan benih-benih kekerasan menjadi salah satu pemicu terpuruknya citra agama di negeri ini. Juga, lemahnya perangkat hukum yang mengatur hubungan antar agama serta perlindungan negara terhadap kaum minoritas atas mayoritas turut mengaburkan upaya-upaya damai yang diusung oleh agama. Sudah seharusnya agama diposisikan sebagai pemicu lahirnya perdamaian bukan sebaliknya.

Menumbuhkan Budaya Damai

Sepertinya culture of peace di kalangan para pelaku agama, antar kaum mayoritas-minortas belum begitu populer. Padahal jika kita menelusuri tradisi-tradisi agama dunia, ajaran-ajaran tentang perdamaian begitu melimpah. Bahkan di setiap budaya, peradaban dan komunitas memiliki warisan perdamaian yang maha kaya. Namun, di sisi lain, jika kita telusuri catatan panjang sejarah, tersirat bahwa budaya peranglah yang membentuk masyarakat pejuang dan juga masyarakat perang. Dalam sejarah perang, mereka dibentuk oleh cerita kekalahan dan kemenangan, menaklukan dan ditaklukan. Perbedaan antar individu atau kelompok, seperti kata Elisa Boulding dalam Cultures of Peace and Communities of Faith-nya, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial, karena tidak ada dua manusia yang benar-benar sama. Maka ketika terjadi perbedaan, jalan tebaik adalah negosiasi bukan pertumpahan darah.

Terlepas dari semua isu di atas, sebagai negara yang terkenal dengan budaya santun dan damainya, sudah saatnya kita berbenah diri dan membangun kembali bangunan-bangunan budaya damai kita yang telah lama terkubur. Tugas kita saat ini adalah bagaimana memunculkan dan mensosialisasikan kembali budaya damai itu di tengah-tengah komunitas kita sebagai satu entitas yang beragam tanpa harus diseragamkan. Salah satu alternatifnya adalah dengan meminimalisir praktik-praktik pemberitaan media yang cenderung menampilkan wajah kekerasan daripada resolusi konflik yang damai. Media seharusnya bertindak sebagai salah satu agent of peace dalam menciptakan integritas berbangsa dan bernegara di negeri ini.

Yang kedua, kita perlu membenahi catatan sejarah perang kita yang banyak mengabaikan catatan tentang upaya-upaya damai yang diusahakan antar negara-negara dan agama-agama. Ini setidaknya akan menunjukan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada tidak selamanya harus diselesaikan dengan kekerasan.

Yang ketiga, kita perlu menciptakan budaya dialog yang berimbang. Selama ini, dialog lintas agama kita lebih banyak dinikmati kalangan akademisi dan para tokoh agama. Sudah saatnya kalangan grassrott turut mencicipi arti penting keragamaan dalam keberagamaan lewat dialog. Negara dan tokoh agama seharusnya bisa menfasilitasi dan membuka jalan lebar itu agar sikap toleransi dan saling menghargai setiap perbedaan bisa tumbuh subur di tengah-tengah komunitas yang majemuk. Sudah saatnya kita membuka diri, melepas sekat-sekat pembatas antar kaum mayoritas dan minoritas, serta menciptakan integrasi nasional antar pemeluk agama dan sukubangsa. Semoga..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun