Tidak terbantahkan lagi bahwa diskusi (jawa: rembukan) menjadi jalan yang terus menghiasi langkah peradaban, bahkan menjadi penyokongnya. Hampir setiap perubahan besar ditopang oleh awalan adanya diskusi.
Diskusi menjadi sebuah jalan dalam mengambil sebuah keputusan besar. Dibalik proklamasi Kemerdekaan RI misalnya, tentu ada diskusi intens sebelumnya, dan masih banyak lagi yang dapat kita saksikan tentang keberhasilan diskusi dalam memecahkan masalah.
Di era digital yang terus berkembang hari ini, banyak dari kita yang secara perlahan mengubah gaya hidup. Mulai dari cara berkomunikasi, berdandan hingga cara berbicara. Demikian itu, tak lain adalah untuk terus mengimbangi perkembangan zaman (bukan mengikuti).
Lebih khusus, tentang teknologi, kita dapati hari ini dunia belahan barat bisa menyatu dengan dunia belahan timur. Kita yang tidak tahu wujud orangnya, tapi setiap harinya bisa saling sapa dan saling tegur lewat media massa.
Kemudian bagaimana hubungan diskusi dengan media masa? Jika kita sepakat bahwa media massa telah membentuk sebuah dunia tersendiri (dunia maya), maka konsekuensinya adalah munculnya lingkungan media massa. Jika lingkungan dalam media massa tersebut telah menjadi bagian dari hidup (part of life) kita, maka diskusi dalam media massa juga menjadi keniscayaan.
Dari itu, disini kami bermaksud sedikit berbagi dengan hasil diskusi yang telah kami lakukan empat hari terakhir. Diskusi yang tergolong remeh, diselingi canda serta gombalan, tapi sangat bermanfaat bagi orang yang benar-benar serius menjalaninya.
Diskusi ini kami lakukan dalam  paltform group media massa, sebuah group yang menyatukan kami karena pernah dalam satu almamater sekolah yang sama. Selain untuk berbagi, tulisan ini juga bermaksud sebagai semacam kesimpulan tertulis, sebab banyak diskusi online yang dijalankan sebuah komunitas namun hanya berakhir dan membusuk di chat group mereka.
Selama kurang lebih 4 hari ini (dengan jadwal diskusi yang tidak pasti, maklum lagi liburan) ada beberapa topik yang kami bahas:
1. Karakter introvert dan ekstrovert
Dua karakter di atas mungkin banyak kita jumpai, bahkan mungkin kita adalah orang dengan karakter di atas. Karakter yang saling berlawanan, antara orang yang pendiam dan suka menjalani kehidupannya dengan sendiri dengan orang yang suka berbicara dan bergaul (jawa: srawung).
Yang menjadi permasalahan adalah: apakah introvert harus mengubah karakternya, dengan alasan manusia adalah makhluk sosial (human being)?
Tentu dalam perhelatan diskusi terdapat jawaban yang berbeda, dan itu memang yang menjadi ciri khas sebuah diskusi. Ada yang menjawab bahwa introvert harus merubah karakternya, ada pula yang berpendapat bahwa introvert tidak perlu merubah karakternya, sebab bagaimanapun, itu adalah haknya, dan seorang introvert juga merasa nyaman dengan karakternya, bahkan bisa lebih produktif dalam menjalani hidup dibanding orang yang ekstrovert.
Selain itu definisi umum yang diberikan terhadap pribadi introvert juga terkesan sempit. Introvert bukanlah orang yang sama sekali tidak berinterkasi dengan orang lain, introvert hanya lebih nyaman dan tenang jika menyendiri.
Dalam hal membaca buku misalnya, orang yang berkepribadian introvert akan mudah menyerap materi buku jika ia menyendiri di kamar tanpa ada seorang pun yang menemani.
Jadi, karakter keduanya dapat beriringan, meski berbeda. Jangan mengucilkan seorang introvert, jangan pula terlalu ekstrovert, hingga melupakan tugas pribadi karena terlalu banyak meladeni pergaulan dengan teman.
2. Gender equality
Pembahasan yang satu ini memang selalu menarik, tidak hanya dalam lingkungan pendidikan ataupun sosial, dalam agama dan tafsir al-Qur'an pun gender menjadi diskursus yang berkepanjangan.
Berbagai teori pun bermunculan, mulai dari feminis eksistensialisme, feminis liberal, feminis sosialis/marxis hingga teologi feminis. Kesemuanya menuntut adanya keadilan antara perempuan dan laki-laki.
Dari pengalaman berbagai diskusi yang penulis ikuti, semuanya berakhir menggantung tanpa kesepakatan diantara peserta, dan ini memang wajar. Sebab, gender bukan lagi antara hitam-putih, gender sangat luas. Bahkan gender menjadi sebuah wacana yang kompleks dalam tataran sosial, agama, hak dan sebagainya.
Mungkin yang harus didudukkan adalah porsi keadilan yang dituntut dari perempuan, belum ada kesepakatan dalam masalah tersebut. Terkadang tuntutan keadilan yang diminta sangat frontal dengan yang dipahami laki-laki. Mereka menuntut hal yang menjadi hak laki-laki. Begitupun laki-laki terkadang tidak memahami posisi perempuan, seolah menindas, bahkan memang menindas.
Secara pribadi penulis sedikit terpuaskan dengan jawaban yang mengatakan bahwa "keadilan tidak harus sama". Keadilan hanya menuntut kesamaan tingkat atau derajat, bukan nilai.
Jika laki-laki punya 2 nilai dan perempuan punya 1 nilai, maka keadilan adalah mengangkat nilai 1 tersebut sederajat dengan nilai 2, bukan dengan menambahkan sehingga sama-sama bernilai 2. Sebab, dibawa ke teori manapun antara laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang berbeda.
3. Dimana umat islam dan muslim?
Pembahasan ini berawal dari jargon terkenal dari tokoh pembaharu Islam, Muhammad Abduh : "aku pergi ke negara Barat, kudapati Islam disana, tapi tidak kulihat muslim disana. Sebaliknya, aku pergi ke negara Timur, disana kudapati muslim tapi tidak kulihat agama Islam".
Jargon tersebut menjadi semacam pukulan dan titik kesadaran akan ketertinggalan kita dari barat. Dari segi pendidikan, teknologi dan tentunya kebersihan. Negara Barat punya semuanya tapi Timur hanya sebatas konsumen mereka.
Kenapa hal ini terjadi? Tentu tak mudah menjawabnya, harus kita kembalikan kemasing-masing pribadi, seberapa mereka telah memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam.
Sebab dalam Islam tidak melulu tentang urusan dunia. Mungkin kita hari ini tertinggal dari Barat, tapi apakah kita lebih rendah kedudukannya saat di alam akhirat nanti?
Bukankah sebuah kenikmatan tersendiri saat setiap harinya kita bisa melihat orang yang sujud dan menghamba kepada penciptanya, daripada melihat budaya kebebasan sex di Barat?!
Demikian adalah kesimpulan terbatas diskusi yang kami lakukan, semoga dapat memberikan manfaat. Dan banyak terimakasih penulis ucapakan kepada IKADHAÂ Rembang, yang selalu aktif dalam melestarikan tradisi yang baik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H